SYAHADAT: KENIKMATAN TUNGGAL
Seorang menjadi muslim melalui pernyataan keimanan yang dikenal dengan syahadat. Syahadat adalah pintu pertama kita masuk ke lautan Ilahi dalam Islam. Ia membuat sebuah kerangka untuk memperdalam proses penyerahan diri pada Ilahi, baik secara lahir maupun batin. Syahadat dimulai dengan niat untuk mengosongkan hati dari Semua Tuhan palsu, mungkin itu adalah keterikatan kita, keinginan, atau kepercayaan, sebelum menegaskan keberadaan satu-satunya Tuhan Yang Maha Tinggi. Kalimat kedua dalam syahadat adalah bersaksi akan kenabian Nabi Muhammad; intinya, berniat untuk mengikuti jejakhya. Saat seseorang menyatakan dari hati dalam bahasa Arab, asyhadu an laa ilaaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan rasuulullah – yang artinya “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah” —mereka dianggap Seorang muslim.
Penting untuk menunjukkan bahwa keimanan bukanlah sesuatu yang harus kita raih atau dapatkan, tapi ia merupakan sebuah perjalanan membuka apa yang sudah diberikan oleh Allah. Jika ketidakpercayaan mengarah kepada menutup diri dengan ilusi dan mispersepsi berdasarkan renungan ego, keimanan adalah perjalanan membuka dan menemukan diri yang lebih tinggi. Kata ketidakpercayaan yang sering digunakan dengan bahasa Arab adalah kafir, yang secara harfiah berarti orang yang menutup kebenaran. Faktanya, saat seorang petani menanam benih di bumi dan menutupnya dengan tanah, dalam bahasa Arab akan dikatakan bahwa ia sedang melakukan perilaku kufr. Dalam konteks spiritual, orang kafir adalah dia yang menutup permata keimanan tak ternilai dalam hatinya sendiri. Dalam Al-Qur’an, kata kufr digunakan sebagai lawan kata syukr atau syukur, karena menutup kebenaran adalah perilaku terbesar dari ketidakbersyukuran. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, “Dan sesungguhnya telah kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu: ‘Bersyukurlah kepada Allah. Dan Barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah) maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang tidak bersyukur maka sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji” (QS. 31: 12). Bagi orang muslim, orang kafir yang sebenarnya bukanlah ia yang sungguh-sungguh mencari kebenaran, tapi orang kafir ialah orang yang sadar akan keberadaan-Nya, tapi karena kesombongan dan ketidakbersyukurannya ia menolak untuk menaati Allah. Dengan kata lain, menjadi kafir dapat dipahami sebagai sebuah kondisi penolakan keadaan alami atas apa artinya menjadi manusia.
Namun, penting juga untuk diketahui bahwa Anda tidak pernah bisa memaksa seseorang untuk memeluk atau menerima ajaran Islam. Pahala dan nilai keimanan datang dari kebebasan seorang manusia untuk memilih apakah ia akan menerima atau menolak apa yang telah Allah berikan padanya. Inilah mengapa Al-Qur’an dengan jelas menyatakan, “Tidak ada paksaan dalam beragama: (QS. 2: 256). Setiap orang di bumi sudah membawa benih keimanan dalam diri mereka; bagaimana benih-benih itu tumbuh bergantung pada apa yang telah Allah takdirkan untuk mereka dan sejauh mana mereka berjuang secara spiritual.
“Barangsiapa beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.”
(QS. 64: 11)
Jika Allah menakdirkan untuk manusia memusnahkan gulma kepalsuan dan penghalang salah persepsi (laa ilaaha), benih keimanan [lahi akan secara alamni berbunga di tempat cahaya-Nya (illallaah). Ada sebuah kisah menyenangkan dan mendalam dari Mullah Nasruddin yang jenaka yang menggambarkan dengan indah pendapat bahwa kita manusia adalah harta karun dan permata keimanan yang ada dalam diri kita, bukan di luar diri kita.
Pada suatu malam, Nasruddin sedang merangkak dengan kedua tangan dan lututnya di bawah lampu jalan di luar rurnahnya saat beberapa tetangganya datang dan menanyakan apa yang sedang ia lakukan. Mullah menjawab, “Aku kehilangan kunciku dan sedang mencoba mencarinya!” Para tetangganya memutuskan untuk membantu Mullah mencari kuncinya. Setelah 20 menit berlalu, salah satu tetangganya bertanya, “Wahai Mullah, apakah kamu ingat waktu terakhir kali kamu memegang kuncimu?” Mullah menjawab dengan percaya diri, “Ya! Aku sedang berada di dalam rumahku.” Para tetangga saling bertatapan kebingungan, akhirnya salah satu dari mereka bertanya, “Lalu kenapa kamu mencarinya di jalan?”
Mullah menjawab dengan tenang, “Karena cahaya lebih terang di sini. Rumahku gelap saat malam hari.” Mullah kemudian berdiri, melihat tetangganya kebingungan dan kemudian berkata, “Seberapa sering kalian mencari di dunia untuk kunci yang kalian bawa dalam diri kalian? Jangan mengelilingi dunia untuk mencari jawaban yang sudah ada dalam harta karun hatimu. Pertanyaan dan jawabnnya datang dari tempat yang sama. Beranikanlah dirimu untuk menyelam ke dalam, ada banyak kunci dan mutiara yang menunggu untuk ditemukan.”
Apa yang kita cari ada di dalam diri kita, ia tidak dapat ditemukan di dunia luar. Sebagaimana Rumi berkata, “Kenapa Anda mengetuk Setiap pintu? Pergilah, ketuk pintu hatimu sendiri””
Syahadat, Bagian 1: “Aku Bersaksi Bahwa Tiada Tuhan Selain Allah”
Tugas kita di dunia bukan untuk menemukan Allah di dunia ini, tap; untuk melihat ke dalam dan mengingat sudah seberapa dekat kita dengan-Nya. Faktanya, kata syahadat bukan hanya berarti bersaksi, tapi juga merujuk pada sesuatu yang dapat terlihat. Kesaksian yang terlihat yang syahadat representasikan adalah kesaksian jiwa atas ketuhanan dan keesaan Allah saat terjadinya perjanjian dengan Allah. Saat kita menyaksikan keesaan Allah pada masa sekarang, kita sedang menegaskan kembali kesaksian kita akan Allah dalam dunia yang halus di luar konsepsi kita tentang ruang dan waktu. Saat kita mengucapkan laa ilaaha illallaah, kita tidak hanya mengatakan, “Tidak ada Tuhan selain Allah, tapi juga bahwa tidak ada yang nyata dalam yang ada selain Allah karena Dia adalah asal dari semua yang ada dan juga satu-satunya tujuan untuk kembali.
Seperti angka apa pun yang dibagi dengan tak hingga mencapai nol—relative terhadap sifat abadi Allah yang tak terbatas, setiap sesuatu yang terbatas akan menuju ketiadaan.
“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Zat yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.”
(QS. 55: 26-27)
Berinvestasi dalam sasaran apa pun, hasil, atau tujuan selain Allab jbarat menginvestasikan es krim di padang pasir; seiring berjalannya waktu Anda pasti akan rugi. Jika kita menjadikan keinginan kita sebagal Tuhan kita, kita menunda diri kita dalam kondisi tetap khawatir dan tidak stabil, karena emosi-emosi kita selalu berubah dan turun naik. Saat kita mengambil banyak hal menjadi Tuhan kita, kita merasakan sebuah kondisi kekacauan yang tetap karena di mana ada banyak keinginan dj sana ada gesekan yang menimbulkan kekurangan harmoni (QS. 21: 22), Di mana ada perpecahan, di sana ada perbedaan pendapat yang menyebabkan konflik dan penolakan. Inilah mengapa Al-Qur’an mengatakan, “Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja). Adakah kedua budak itu sama halnya?” (QS. 39: 29). Jika Anda menjadikan dunia ini sebagai Tuhan Anda, maka Anda menjadi hamba segala yang diciptakan, tapi jika Anda menjadikan Allah sebagai satusatunya Tuhan Anda, maka semua yang ada di bumi ini akan melayani Anda dalam misi menyebarkan cinta dan karunia Iahi.
Semua nabi Allah diturunkan dengan pesan yang sama untuk mengingatkan manusia akan keesaan dan keagungan Allah. Sebagaimana Al-Qur’an mengatakan, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah Thagut itu” (QS. 16: 36). Hanya jika kita menyerahkan keinginan kita pada keinginan Tuhan Yang Maha Esa, meleburkan segala perpecahan dalam pelukan I[lahi, maka hati kita akhirnya merasakan kedamaian surga yang sangat didambanya. Nabi Muhammad mengkonfirmasi hal ini dengan berkata, “Orang meninggal yang tahu bahwa tidak ada Tuhan selain Allah akan masuk surga.”
Untuk lebih memahami kekuatan laa ilaaha illallaah, dapat dibantu dengan membaginya ke dalam dua bagian: laa ilaaha atau tidak ada Tuhan dan illallaah atau selain Allah. Ketika kita membagi frase di atas Seperti ini, kita dapat melihat bahwa Allah tidak ingin kita untuk datang menyatakan keberadaan-Nya saja, tapi Dia ingin kita memulai dengan menyatakan ketiadaan sesuatu yang lain dalam ciptaan. Saat kita berada dalam masa kesendirian atau tidak memiliki harapan, bertanya kenapa orang harus selalu pergi, kenapa tidak ada yang abadi, kenapa Segala sesuatu di sekitar kita terasa seperti ilusi, kita sedang berada dalam kondisi laa ilaaha, yang merupakan sebuah bagian suci dari proses, sangat lama sampai kita terus berjalan menuju illallaah. Perasaan seperti dunia yang fana ini akan menjatuhkan kita adalah hal yang tidak bisa dihindari, tapi jika kita tetap menyangkalnya, kita akan dihalangi dari menyaksikan cinta dan perhatian Allah.
Jangan menempatkan sebuah masa di mana Allah menempatkan koma, karena rencana-Nya membentang di luar waktu-waktu keraguan dan ketakutan Anda.
Jika Anda dapat melihat emosi-emosi Anda sebagai pemberhentian kereta yang sedang Anda naiki—daripada sebagai tujuan akhir Anda—maka perasaan Anda tidak akan melawan keimanan Anda, tapi akan membantu keimanan Anda berkembang. Kita harus belajar untuk memberi segalanya pada Allah dan percaya bahwa Dia dapat menanganinya. Perasaan kita akan kesendirian, kesedihan, dan keterasingan semuanya adalah awal yang sempurna untuk keimanan, sangat panjang selama kita tetap berjalan di jalan Allah.
Hal terburuk yang dapat kita lakukan adalah berpikir bahwa sesuatu yang kita rasakan terasa begitu salah dan buruk sehingga kita mengasingkan diri kita dari Allah, berpikir bahwa kita tidak layak menjadi hamba-Nya. Kita harus ingat bahwa Allah tidak berharap kita untuk menjadi sempurna; lagipula, perasaan kita akan kelayakan diri tidak bergantung pada kita, tapi bergantung pada Allah. Saat kita membawa kemiskinan, kebutuhan, dan ketiadaan kita pada Allah, Allah menemui kita dengan karunia-Nya (Al-Kariim), kemampuan-Nya untuk memenuhi segala kebutuhan (Ash-Shamad), dan kekayaan-Nya (Al-Ghaniy). Seperti jika Anda ingin cahaya di kamar Anda, Anda harus membuka gorden, jika Anda ingin bayangan dan tempat yang gelap dalam diri Anda menghilang, Anda harus membuka hati Anda pada cahaya Allah. Intinya, segala yang ada hanyalah sebuah refleksi dari cahaya rahmat Allah yang terwujud dalam berbagai bentuk.
“There is only One Light and ‘you’ and ‘T are holes in the lamp shade.”
MAHMAD SHABISTARI, PENYAIR PERSIA ABAD KE-14
Perpisahan yang kita rasakan dari Allah hanyalah sebuah ilusi, kare’ na Dia bersama kita di mana pun kita berada. Jarak antara kita dengan Allah dibuat dari kekhilafan kita. Inilah mengapa saat kita menemukan diri kita dalam situasi tidak pasti, ragu, atau terpisah dari Allah, akan membantu jika duduk mengingat dan mengulangi laa ilaaha illallaah. Praktik mengingat ini menyinari cahaya Allah melalui penghalang kekhilafan kita yang mengingatkan akan kedekatan kita dengan Mahi. Sangat membantu untuk diingat bahwa saat kita mengucapkan kalimat suci ini, semangat yang menginspirasi kita untuk mencari Allah adalah sebuah bunga yang bermekaran dari benih keimanan yang telah Allah tanam di dalam jiwa kita. Sebagaimana Rumi berkata, “Kita semua mengetuk dari dalam,’ merindukan apa yang telah kita miliki tapi kita belum membuka mata kepadanya.
Laa ilaaha illallaah adalah sebuah aksi melepaskan tabir ciptaan, hanya untuk menemukan bahwa di bawah segala sesuatu yang diciptakan adalah aroma Sang Pencipta yang tidak diciptakan. Ia melepas apa yang terbatas untuk melihat apa yang tak terbatas, melepas keberagaman untuk menemukan apa yang tunggal. Hati yang mengaktualisasikan laa ilaaha illallaah menjadi perumpamaan takhta Allah, karena saat kita mengosongkan hati-hati kita dari segala yang diciptakan, tidak ada yang tersisa kecuali cermin yang dipoles merefleksikan Sang Pencipta yang kekal. Sebagaimana Rumi berkata, “Anda harus membuka tangan Anda untuk digenggam.” Anda harus mengosongkan terlebih dahulu gelas Anda dari segala ilusi agar ia dapat dipenuhi dengan cahaya Allah. Anda harus melepas apa yang akan sirna agar dapat dipenuhi dengan apa yang kekal,
Apa pun yang kita bawa dalam hati-hati kita adalah apa yang secara sadar dan tidak sadar saksikan. Inilah mengapa syahadat dimulai de. igan menghapus semua pujaan yang secara sadar atau tidak sadar telah kita jadikan genggaman. Salah satu cara memahami nilai dari kekosongan hubungan dengan Jaa ilaaha illallaah adalah melalui huruf alif. Dalam bahasa Ibrani, alif sering digunakan sebagai huruf diam yang mengikat struktur sebuah kata. Dalam Kabbalah atau ajaran Yahudi, mereka mengatakan bahwa alif sesuatu yang bukan apa-apa yang mengikat segala yang ada.
Karena dalam kondisi kosong kita membuat ruang untuk segalanya, lawan dari laa ilaaha harus melebihi isi dari illallah. Saat kita berkata, “Tidak ada Tuhan selain Allah” kata Tuhan merujuk pada berbagaj pujaan palsu seperti kekayaan, manusia, keinginan kita, dan apa pun yang kita sembah selain Allah. Sama seperti ketika Anda mengunduh software baru maka Anda harus terlebih dahulu menghapus versi lamanya, sebelum kita menyatakan keesaan Allah kita harus meniadakan semua pujaan yang kita bawa dalam diri kita. Nilai spiritual dari negasj ini secara jenaka digambarkan melalui kisah berikut.
Seorang guru ulama bernama Radiyya pernah sangat bahagia dengan cinta Ilahi sampai beliau menyatakan dengan nyaring, “Ya Allah, aku bukanlah apa-apa, Aku bukanlah siapa-siapa, Aku tak lain hanya embun pagi yang menghilang dalam hadirnya cahaya-Mu!”
Salah satu murid Radiyya terinspirasi oleh kata-kata gurunya dan memutuskan untuk menyatakan ketiadaannya juga di hadapan Allah: Saat Radiyya mendengar pernyataan muridnya beliau berbalik dan berkata, “Anda pikir siapa Anda menyatakan bahwa Anda bukanlah apa-apa?”
Radiyya mengingatkan kita bahwa ketiadaan atau penghapusan dari keterikatan pada ego selain Allah adalah tingkatan yang tinggi. Lagipula, ketiadaan atau kekosongan (laa ilaaha) adalah awal dari wujud keimanan (illallaah).
Ketika kita menempatkan laa ilaaha illallaah di antara kita dan dunia, ia membuat ruang yang dibutuhkan agar dapat berinteraksi dengan dunia melalui cara yang sehat. Dalam konteks psikologis, menjadi seorang syaahid atau seorang saksi dari ego adalah sebuah pintu untuk kebebasan mental dan emosional, karena langkah pertame untuk berubah adalah membuat ruang agar menyadari kebutuhan akan perubahan. Saat kita terlalu terjebak dalam perasaan kita atau cobaan yang kita hadapi, ini seperti kita mencoba membaca koran dengan wajah kita menekan halamannya. Kontemplasi dan mediasi dengan laa jlaaha illallaah sebagai sebuah cara untuk lepas dari dunia dan ego kita membuat ruang untuk menyaksikan kejadian-kejadian dalam hidup kita, daripada dipicu dan diatur olehnya.
Ketika kita sudah sepenuhnya mengaktualisasikan diri tentang makna laa ilaaha illallaah, kita menjadi sadar bahwa ke mana pun kita berbalik dari timur menuju barat, hanya ada wajah Allah. Tidak ada yang ada tanpa kasih sayang Allah dan tanpa Dia terus-menerus menopangnya. Inilah mengapa segala sesuatu merujuk kembali pada Allah, dengan sifat alami keberadaannya. Hal ini diilustrasikan secara mendalam melalui kisah berikut ini:
Suatu kali seorang ulama melihat seorang anak dengan lilin yang kecil dan terinspirasi untuk mengajarinya sebuah rahasia kehidupan. Ia menunjuk lilin itu dan bertanya, “Dari mana datangnya cahaya ini?” Sang anak menatap lilin itu dengan bingung, kemudian memandang sang ulama. Sang anak tiba-tiba meniup lilin itu dan berkata, “Tapi, ke mana ia pergi?” Sang ulama terdiam. Sang anak menyingkap sebuah kebenaran yang dalam: dari mana cahaya itu datang merupakan tempat yang sama ke mana ia akan kembali.
Kisah ini menyontohkan ayat Allah, inna lillaahi wa inna ilaihi raajiuun, “Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kepada Allah jugalah kami kembali” (QS. 2: 156). Dalam keesaan Allah, awal dan akhir, masa lalu dan masa depan, bentuk dan inti terintegrasi dan tergabung dalam cara yang memecah pikiran. Mengaktualisasikan dengan sungguh-sungguh laa ilaaha illallaah adalah memahami keber. gantungan total dan sepenuhnya Anda pada Allah. Di hadapan-Nya, Segala perpecahan sirna; tidak ada laki-laki, perempuan, bagian luar atau bagian dalam, karena dalam pelukan kasih sayang-Nya, sungai keberagaman bersatu di lautan keesaan-Nya.
Syahadat: Bagian 2: “Aku Bersaksi Bahwa Muhammad adalah Utusan Allah”
Ketika seorang pencari mengaktualisasikan pengetahuan bawaan jiwa tentang keberadaan Tuhan dan kebutuhan yang sangat mendesak akan perhatian Ilahi, pertanyaan yang sering muncul adalah apa yang dila. kukan dengan pengetahuan ini. Bagi orang muslim, Nabi Muhammad adalah jawaban untuk pertanyaan ini. Selama 23 tahun Al-Qur/an diturunkan, kalimat-kalimatnya tidak ditulis dalam sebuah format yang dapat diakses oleh banyak orang. Saat para pengikut Rasulullah memikirkan tentang Al-Qur’an, kebanyakan dari mereka memikirkan wajah Rasulullah dan suara beliau membaca Al-Qur’an. Intinya, pesan yang diutus oleh Allah dan Rasulullah tidak terpisahkan. Nabi Muhammad sangat penting bagi pernyataan keimanan karena beliau merepresentasikan seperti apa kepercayaan pada Allah yang Esa terwujud dalam perilaku. Beliau digambarkan sebagai “rahmat bagi seluruh alam” dan sebuah “lampu penerangan” atas bimbingan dan kearifan di jalan kembali menuju Allah (Q.S 21: 107, 33: 46).
Beliau bukan hanya seorang nabi, tapi juga perwujudan dari pesan—sebuah “Al-Qur’an berjalan,’ sebuah bulan sempurna yang mesefleksikan matahari keesaan Allah. Beliau adalah lambang dari makna mengaktualisasi takdir manusia untuk terus menjadi hamba Allah yang sendah hati dan wakil Allah yang terpilih di bumi. Dengan mengikuti teladannya kita dapat membedakan kebenaran dari ilusi.
Pentingnya mengikuti langkah Nabi Muhammad dapat dicontohkan dengan indah melalui sebuah kejadian dalam sebuah olahrags bersepeda yang dikenal dengan drafting. Saat pesepeda berkendara dajam sebuah kelompok, pemimpin kelompok memecah angin, membuat jalur, sehingga mereka yang mengikutinya dapat mengayuh lebih cepat dengan usaha lebih sedikit daripada bersepeda sendirian. Intinya, semua muslim berkendara di jalur Nabi Muhammad dalam jalan menuju Allah. Beliau memecah angin keraguan, putus asa, dan ketakutan melalui kepemimpinannya, memungkinkan kita untuk berkendara jalan cinta yang lurus dengan sedikit kendala.
Al-Qur’an menggambarkan Nabi Muhammad sebagai “penutup para nabi’’ (QS. 33: 40), tapi beliau bukanlah bagian terakhir dari kenabian, beliau adalah pengikat buku kenabian. Pesan yang diutus kepadanya meliputi semua inti wahyu yang datang sebelum beliau. Seperti fraktal yang membawa gambar yang sama dalam setiap bagian seperti pentuk utuhnya, wahyu sebenarnya yang telah diturunkan kepada semua nabi Allah adalah pesan keesaan Allah yang sama dengan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad. Al-Qur’an meminta orang muslim untuk berkata, “Kami tidak membeda-bedakan antara seorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasulnya” (QS. 2: 285). Jika setiap nabi Allah merepresentasikan sebuah bagian puzzle dalam gambar wahyu, Nabi Muhammad adalah bagian terakhirnya yang mengarah pada penyelesaian pesan Ilahi. Beliau tidak dilihat sebagai Tuhan atau malaikat, tapi dianggap sebagai seorang makhluk hidup yang tenggelam dalam kesucian Allah (QS. 18: 110). Dikatakan bahwa saat beliau salat dirinya sangat kosong sehingga hanya tersisa hanyalah mengingat Allah. Beliau puasa bukan hanya dari makanan dan minuman, tapi dari segala sesuatu di antara roh dan Tuhannya. Beliau tidak hanya membetikan harta dan waktunya bagi orang yang membutuhkan, tapi beliau menawarkan seluruh yang ada pada dirinya untuk Allah.
Nabi Muhammad mengaktualisasikan makna sesungguhnya dari kalimat laa ilaaha illallaah dengan meleburkan seluruh keinginannya ke dalam keinginan Allah. Karena itu, perilaku Nabi Muhammad adalah sebuah refleksi dari wujud Allah di muka bumi. Allah berfirman pada pemberhentian atas kenyataan ini saat Dia berkata:
“Aku adalah pendengarannya dengan apa yang dia dengar, penglihatannya dengan apa yang dia lihat, tangannya dengan apa yang dia sentuh, dan kakinya dengan ke mana dia berjalan. Saat dia meminta kepadaKu, aku pasti akan memberinya, dan saat dia meminta pertolongan, Aku pasti akan memberikan itu kepadanya.”
ALLAH
Nabi Muhammad bukan hanya kendaraan yang membuka peta petunjuk, tapi beliau sendiri adalah wujud dari peta itu. Inilah meng. apa dikatakan dalam Al-Qur’an, “Barangsiapa yang menaati Rasul sesungguhnya ia telah menaati Allah” (QS. 4: 80). Nabi Muhammad adalah cermin murni Ilahi, sebuah instrument atas kehendak Allah dalam melayani seluruh umat manusia. Allah mengirim Nabi Muhammad sebagaimana Dia mengirim nabi-nabi sebelum beliau_ sebagai “pembawa kabar gembira” atas rahmat dan ampunan Allah, seorang “pemberi peringatan” atas keadilan Allah, dan seorang penginga bahwa tindakan-tindakan kita memiliki konsekuensi (QS. 2: 119).
Nabi Muhammad bukan diutus untuk menjadi raja yang memerintah bumi ini, tapi beliau diutus untuk menjadi seperti bumi yang ramah—sebuah tempat yang aman untuk mereka yang ketakutan, sebuah petunjuk bagi mereka yang tersesat, melayani mereka yang miskin, dan sebuah inspirasi bagi mereka yang putus asa. Beliau tidak diutus untuk membuat baik orang yang buruk, tapi beliau diutus seperti musim semi, membawa benih mati keimanan kembali hidup melalui cahaya dan rahmat Ilahi.