Ingatan Kepenuhan
EVOLUSI tidak menganugerahi manusia kemampuan bermain sepak bola. Memang evolusi menghasilkan kaki untuk menendang, siku untuk menyikut, dan mulut untuk bersumpah-serapah, namun yang bisa kita lakukan dengan semua itu saja barangkali hanyalah berlatih tendangan penalti sendirian. Agar bisa ikut bermain sepak bola bersama orang-orang tak dikenal yang kita temui di lapangan sekolah pada suatu siang, kita bukan hanya harus bekerja sama dengan sepuluh sekan setim yang kita tak pernah jumpai sebelumnya; kita juga harus tahu bahwa kesebelas pemain di tim lawan juga mengikuti aturan-aturan yang sama. Hewan lain yang menghadapi pihak asing dalam agresi teritualisasi melakukannya terutama dengan naluri—anak anjing di seluruh dunia memiliki aturan bermain gelut dalam gen-gen mereka. Namun remaja manusia tidak punya gen untuk sepak bola. Mereka tetap saja bisa bermain sepak bola bersama orang-orang yang sepenuhnya tidak mereka kenal sebab mereka semua telah mempelajari seperangkat gagasan identik mengenai sepak bola. Gagasan-gagasan itu sepenuhnya khayalan, namun apabila semua orang menganutnya, kita semua pu! bisa bermain sepak bola.
Hal yang sama berlaku, dalam skala yang lebih besar, di kerajaan, gerejas dan jejaring perdagangan, dengan satu perbedaan penting. Aturan-aturan sepak bola relatif sederhana dan ringkas, mirip sekali dengan aturan-aturan yang dibutuhkan untuk kerja sama dalam kawanan pemburu-pengumpul atau desa kecil. Setiap pemain bisa dengan mudah menyimpan aturan-aturan itu dalam otaknya dan masih tetap punya ruang untuk lagu, gambar, dan daftar belanjaan. Namun sistem-sistem kerja sama besar yang melibatkan bukan dua puluh dua melainkan ribuan atau bahkan jutaan orang membutuhkan penanganan dan penyimpanan informasi dalam jumlah besar sekali, jauh lebih besar daripada yang bisa ditampung dan diolah otak manusia mana pun.
Masyarakat besar yang ditemukan di sejumlah spesies lain, misalnya semut dan lebah, bersifat stabil dan tahan guncangan karena sebagian besar informasi yang dibutuhkan untuk mempertahankan masyarakat sebesar itu tertanam dalam genom. Larva lebah madu betina, misalnya, bisa tumbuh menjadi ratu atau pekerja, tergantung makanan apa yang diberikan kepadanya. DNA-nya memprogram perilaku-perilaku yang dibutuhkan bagi kedua peran itu—baik itu etiket bangsawan maupun kepatuhan jelata. Sarang lebah bisa merupakan struktur sosial yang sangat kompleks, berisi banyak jenis pekerja—pemanen, perawat, dan pembersih, misalnya. Namun sejauh ini para peneliti gagal menemukan lebah pengacara. Lebah tidak membutuhkan pengacara, karena tidak ada risiko lebah mungkin berupaya mengakali konstitusi sarang lebah dengan menolak memberikan hak-hak akan kehidupan, kemerdekaan, dan pencarian kebahagiaan kepada para lebah pembersih.
Namun manusia senantiasa melakukan hal-hal semacam itu. Karena tatanan sosial Sapiens bersifat khayali, manusia tidak bisa melestarikan informasi teramat penting untuk menjalankannya hanya dengan membuat salinan DNA-nya untuk diwariskan kepada keturunan. Harus dilakukan upaya sadar untuk mempertahankan hukum, adat-istiadat, prosedur, adab, kalau tidak tatanan sosial akan tuntuh dengan cepat. Misalnya, Raja Hammurabi memaklumatkan bahwa manusia dibagi-bagi menjadi kelas atas, rakyat jelata, dan budak. Ini bukan pembagian alami—tidak ada buktinya dalam genom manusia. Bila orang-orang Babilon tidak bisa menjaga “kebenaran” itu dalam akalbudi, masyarakat mereka akan berhenti berfungsi. Sama saja, ketika Hammurabi mewariskan DNA-nya kepada anak-anaknya, DNA tersebut tidak mengandung aturan yang dia buat bahwa laki-laki kela, atas yang membunuh perempuan jelata harus membayar tiga puluh syikal perak. Hammurabi harus secara sengaja mengajarkan hukum. hukum imperiumnya kepada putra-putranya, dan putra-putra serta cucu-cucunya harus melakukan hal yang sama.
Imperium menghasilkan informasi dalam jumlah yang sangat besar. Selain hukum, imperium harus mencatat transaksi dan pajak, inventarisasi perbekalan militer dan kapal niaga, serta kalender perayaan dan kemenangan. Selama jutaan tahun manusia menyimpan informasj di satu tempat saja—otak. Sayangnya, otak manusia bukanlah alat penyimpan yang baik untuk kumpulan data seukuran imperium, karena tiga alasan utama.
Pertama, kapasitasnya terbatas. Memang betul, ada orang-orang yang memiliki ingatan luar biasa, dan dahulu ada juru ingat profesional yang bisa menghapal topografi satu provinsi dan kitab hukum negara. Terlepas dari itu, ada batas yang tidak bisa dilampaui oleh jagoan penghapal sekalipun. Seorang pengacara mungkin hapal mati keseluruhan kitab hukum Persemakmuran Massachusetts, dia tidak mungkin ingat rincian semua proses hukum yang berlangsung di Massachusetts sejak pengadilan penyihir Salem.
Yang kedua, ketika manusia meninggal, otaknya ikut meninggal. Informasi apa pun yang tersimpan dalam otak saja akan terhapus dalam waktu tak sampai satu abad. Tentu saja ingatan bisa disebarkan dari satu otak ke otak lain, namun setelah beberapa kali pindah, informasi itu cenderung menyimpang atau hilang.
Ketiga dan yang paling penting, otak manusia telah teradaptasi untuk menyimpan dan mengolah hanya jenis-jenis informasi tertentu. Agar bertahan hidup, pemburu-pengumpul purba harus mengingat bentuk, sifat, dan pola perilaku ribuan spesies tumbuhan dan hewah. Mereka harus mengingat bahwa sejenis jamur kuning keriput yang gumbuh di bawah sebatang pohon elm kala musim gugur kemungkinan pesar beracun, sementara jamur berwujud serupa yang tumbuh di pawah pohon ek kala musim dingin adalah obat yang mujarab untuk sakit perut. Pemburu-pengumpul juga harus mengingat pendapat dan hubungan beberapa lusin anggota kawanan. Bila Lucy perlu bantuan anggota kawanan untuk menghentikan gangguan John kepadanya, penting baginya untuk mengingat bahwa John minggu sebelumnya juga ribut dengan Mary, yang karena itu mungkin berminat untuk bersatu melawan John. Akibatnya, tekanan evolusi telah menyesuaikan otak manusia untuk menyimpan informasi botani, zoologi, topografi, dan sosial dalam jumlah sangat besar.
Namun ketika masyarakat-masyarakat teramat kompleks mulai bermunculan setelah Revolusi Pertanian, satu jenis informasi baru menjadi vital—angka-angka. Pemburu-pengumpul tidak pernah harus menangani data matematika dalam jumlah besar. Tidak ada pemburu-pengumpul yang perlu ingat, misalnya, jumlah buah di setiap pohon di hutan. Maka otak manusia tidak beradaptasi untuk menyimpan dan mengolah angka-angka. Namun untuk mempertahankan kerajaan yang besar, data matematika itu vital. Menyusun hukum dan menuturkan kisah-kisah tentang dewa-dewi penjaga saja tidak pernah cukup. Pajak juga harus ditarik. Untuk memajaki ratusan ribu orang, harus dikumpulkan data mengenai pendapatan dan harta milik mereka; data mengenai pembayaran yang dilakukan; data mengenai cicilan, utang, dan denda; data mengenai potongan dan pengecualian pajak. Jumlah data ini mencapai jutaan, yang harus disimpan dan diolah. Tanpa kemampuan itu, negara tidak akan pernah tahu sumber daya apa yang Sudah dimilikinya dan sumber daya apa lagi yang bisa dimanfaatkan. Ketika menghadapi kebutuhan untuk menghapal, mengingat kembali, dan menangani banyak angka, kebanyakan otak manusia kelebihan beban atau jatuh tertidur.
Batasan mental itu sangat mengekang ukuran dan kompleksitas kumpulan manusia. Apabila jumlah orang dan harta dalam masyarakat tertentu. melewati ambang batas kritis, timbul kebutuhan untuk menyimpan dan mengolah data matematis yang banyak sekali. Karen, otak manusia tidak bisa melakukannya, sistem tersebut pun runtuh, Selama ribuan tahun setelah Revolusi Pertanian, jejaring sosial manusia tetap relatif kecil dan sederhana.
Orang-orang pertama yang berhasil mengatasi masalah itu adalah bangsa Sumer kuno, yang hidup di Mesopotamia selatan. Di sana, Matahari terik menyinari dataran-dataran berlumpur yang subur, menghasilkan panen melimpah dan kota-kota makmur. Seiring semakin banyaknya penduduk, semakin banyak pula informasi yang dibutuhkan untuk mengoordinasi kegiatan mereka. Antara 3500 SM dan 3000 SM, sejumlah orang jenius Sumer menciptakan sistem untuk menyimpan dan mengolah informasi di luar otak, suatu sistem yang dirancang sedemikian rupa untuk mengurusi data matematis dalam jumlah besar. Orang-orang Sumer pun melepaskan tatanan sosial mereka dari keterbatasan otak manusia, membuka jalan bagi kemunculan kotakota, kerajaan-kerajaan, dan imperium-imperium. Sistem pengolahan data yang diciptakan oleh orang-orang Sumer disebut “tulisan”.
Tertanda, Kushim
TULISAN adalah cara untuk menyimpan informasi melalui tanda-tanda material. Sistem tulisan Sumer melakukannya dengan memadukan dua jenis tanda, yang dicap tekan di atas lempeng-lempeng lempung. Salah satu jenis tanda melambangkan angka-angka. Ada tanda-tanda untuk 1, 10, 60, 600, 3.600, dan 36.000. (Orang Sumer menggunakan sistem angka berbasis 6 dan berbasis 10. Sistem berbasis 6 mereka memberi kita sejumlah warisan penting, misalnya pembagian satu hari menjadi dua puluh empat jam dan satu lingkaran menjadi 360 derajat). Satu lagi jenis tanda melambangkan manusia, hewan, barang, wilayah, tanggal dan lain sebagainya. Dengan memadukan kedua jenis tanda itu, orang Sumer mampu melestarikan jauh lebih banyak data daripada yang bisa diingat otak manusia atau disandi rantai DNA.
Di tahap awal ini, tulisan terbatas pada fakta dan angka. Novel mahakarya Sumer, kalaupun ada, tidak pernah dituliskan di atas lempeng-lempeng lempung. Menulis itu butuh banyak waktu dan pembacanya sangat sedikit, sehingga tidak ada yang melihat alasan untuk menggunakan tulisan selain untuk pencatatan hal-hal yang paling penting. Bila kita mencari kata-kata bijak pertama yang mencapai kita dari leluhur kita, 5.000 tahun silam, kita bakal kecewa. Pesan-pesan tertua yang ditinggalkan leluhur kita berbunyi, misalnya, “29.086 takaran jelai 37 bulan Kushim”. Maksud kalimat itu yang paling mungkin adalah “Total 29.086 takaran jelai diterima selama 37 bulan. Tertanda, Kushim” Ah, naskah-naskah pertama dalam sejarah ternyata tak berisi wawasan filosofis, puisi, legenda, hukum, atau bahkan kemenangan raja-raja. Naskah-naskah itu adalah dokumen-dokumen ekonomi membosankan, catatan-catatan pembayaran pajak, penumpukan utang, dan kepemilikan harta.
Hanya satu jenis naskah lain yang lestari dari masa-masa silam itu, dan naskah jenis ini bahkan lebih tidak menarik lagi: daftar kata, disalin berulang-ulang oleh calon juru tulis yang sedang berlatih. Bahkan kalaupun seorang pelajar yang bosan ingin menuliskan puisi dan bukan salinan resi penjualan, dia tidak akan bisa melakukannya. Tulisan Sumer paling awal merupakan aksara parsial, bukan aksara penuh. Aksara penuh adalah sistem tanda material yang bisa melambangkan bahasa lisan secara kurang-lebih sempurna. Oleh karena itu aksara penuh dapat mengekspresikan segala sesuatu yang orang katakan, termasuk puisi. Sedangkan aksara parsial adalah sistem tanda material yang hanya dapat melambangkan jenis-jenis informasi tertentu, yang berasal dari bidang aktivitas terbatas. Aksara Latin, hieroglif Mesir Kuno, maupun Braille adalah aksara-aksara penuh. Anda bisa menggunakan aksara-aksara itu untuk menulis dokumen pajak, syair cinta, buku sejarah, resep makanan. maupun hukum bisnis. Sementara itu, aksara paling awal Sumer, sepert simbol matematika modern dan notasi musik, adalah aksara parsial. Kit bisa menggunakan aksara matematika untuk membuat hitung-hitunga namun tidak bisa menggunakannya untuk menulis syair cinta.
Orang-orang Sumer tak keberatan aksara mereka tidak cocok untuk menulis syair. Mereka tidak menciptakan aksara untuk menyalin bahasa lisan, melainkan untuk melakukan hal-hal yang tak bisa dilakukan bahasa lisan. Ada sejumlah budaya, misalnya budaya Andes pra-Kolombus, yang menggunakan hanya aksara parsial sepanjang sejarahnya, tak dibingungkan oleh batasan-batasan aksara itu dan tak merasa memerlukan aksara versi penuh, Aksara Andes sangat berbeda dari aksara Sumer. Bahkan, aksara Andes sedemikian berbeda sehingga banyak orang berargumen bahwa itu sama sekali bukan aksara. Aksara Andes tidak tertulis di lempeng batu atau lembaran kertas. Aksara Andes justru ditulis dengan mengikat simpul-simpul di tali berwarna-warni yang disebut quipu. Setiap quipu terdiri atas banyak tali berwarna berbeda, terbuat dari wol atau katun. Di setiap utas tali, beberapa simpul diikatkan di tempat yang berbeda-beda. Satu quipu dapat terdiri atas ratusan tali dan ribuan simpul. Dengan memadukan simpul berbeda-beda di tali berbeda-beda dengan warna berbeda-beda, kita bisa mencatat banyak sekali data matematis yang berkaitan dengan, misalnya, pengumpulan pajak dan kepemilikan harta.
Selama ratusan atau barangkali ribuan tahun, quipu sangat penting bagi urusan-urusan kota, kerajaan, dan imperium.’ Potensi penuh quipu tercapai di masa Imperium Inka, yang memerintah 10-12 juta orang dan meliputi Peru, Ekuador, dan Bolivia masa kini, juga potongan-potongay Chile, Argentina, dan Kolombia. Berkat quipu, orang-orang Inka bis, menyimpan dan mengolah data dalam jumlah besar. Tanpa data-data itu, mereka tidak akan bisa mempertahankan mekanisme administrag kompleks yang dibutuhkan imperium sebesar itu.
Bahkan, quipu sedemikian efektif dan akurat sehingga pada tahun, tahun awal setelah penaklukan Spanyol atas Amerika Selatan, orang, orang Spanyol menggunakan quipu dalam menggarap administrasi imperium baru mereka. Masalahnya orang-orang Spanyol sendiri tidak tahu bagaimana mencatat dan membaca menggunakan quipu, sehingga mereka bergantung kepada profesional setempat. Para penguasa bary benua Amerika menyadari bahwa itu menempatkan mereka dalam posisi rawan—para pakar asli quipu bisa dengan mudah menyesatkan dan mencurangi para penjajah. Sehingga begitu kekuasaan Spanyol telah lebih mantap, quipu disingkirkan perlahan-lahan dan catatan-catatan imperium baru itu pun sepenuhnya ditulis dengan aksara dan angka Latin. Sangat sedikit quipu yang lestari setelah penjajahan Spanyol, dan kebanyakan yang tersisa tidak bisa dibaca, sebab, sayangnya, seni membaca quipu telah punah.
Keajaiban Birokrasi
ORANG Mesopotamia akhirnya mulai ingin menuliskan hal-hal selai# data matematis yang monoton. Antara 3000 SM dan 2500 SM, semaki# banyak tanda yang ditambahkan ke sistem Sumer, perlahan-lahat mengubahnya menjadi aksara penuh yang kini kita sebut tulisan pak! (kuneiform). Pada 2500 SM, raja-raja menggunakan tulisan paku untuk mengeluarkan maklumat, pendeta-pendeta menggunakannya untuk mencatat ramalan, sementara warga negara tanpa kedudukan tingg menggunakannya untuk menulis surat-surat pribadi. Pada waktu yang kira-kira bersamaan, orang Mesir mengembangkan aksara penuh laif yang dikenal sebagai hieroglif. Aksara-aksara penuh lain dikembangkad Ai Tiongkok pada sekitar 1200 SM dan di Amerika Tengah pada sekita 1000-500 SM.
Dari pusat-pusat awal itu, aksara penuh menyebar ke mana-mana, perubah menjadi berbagai bentuk baru dan melaksanakan tugas-tugas paru. Orang mulai menulis syair, sejarah, romansa, drama, nubuat, dan buku resep. Namun tetap saja tugas terpenting tulisan adalah penyimpanan data matematis yang berjibun, dan tugas itu tetap menjadi pagiannya aksara parsial. Alkitab Ibrani, Ilias Yunani, Mahabharata Hindu, maupun Tripitaka Buddha berawal sebagai karya lisan. Selama pergenerasi-generasi karya-karya itu diteruskan secara lisan dan akan terus hadir meskipun tulisan tidak pernah ditemukan. Namun catatan pajak dan birokrasi kompleks terlahir bersama-sama aksara parsial, dan keduanya tetap terjalin erat hingga kini bagaikan kembar siamcoba pikirkan lema-lema kriptik dalam kumpulan data dan spreadsheet terkomputerisasi.
Seiring semakin banyaknya hal yang dituangkan dalam tulisan, dan terutama seiring semakin membesarnya arsip administrasi, muncullah masalah-masalah baru. Informasi yang disimpan dalam otak seseorang mudah untuk diingat kembali. Otak saya menyimpan miliaran potongan data, namun saya dapat dengan cepat, nyaris secara seketika, mengingat nama ibukota Italia, segera setelah mengingat lagi apa yang saya lakukan pada 11 September 2001, kemudian menyusun ulang rute yang mengarah dari rumah saya ke Universitas Ibrani Yerusalem. Bagaimana tepatnya otak melakukan itu masih merupakan misteri, namun kita semua tahu bahwa sistem pengingatan kembali otak luar biasa efisien, kecuali ketika Anda mencoba mengingat di mana Anda meletakkan kunci mobil.
Tapi, bagaimana kita mencari dan menarik informasi yang disimpan dalam tali quipu atau lempeng lempung? Bila kita hanya punya sepuluh atau seratus lempeng lempung, itu bukan masalah. Namun bagaimana kalau kita telah mengumpulkan ribuan lempeng semacam itu, seperti yang dilakukan rekan sezaman Hammurabi, Raja Zimrilim dari Mari?
Bayangkan sejenak bahwa sekarang 1776 SM. Dua orang Mari berselisih memperebutkan kepemilikan sepetak ladang gandum, Yakub bersikeras bahwa dia membeli ladang itu dari Esau tiga puluh tahun silam. Esau membalas bahwa dia memang menyewakan ladang itu kepada Yakub untuk Masa tiga puluh tahun, dan bahwa sekarang karena masa penyewaan itu sudah habis, dia ingin mengambil, kembali ladang itu. Mereka saling hardik, adu mulut, dan mulai saling mendorong sebelum mereka menyadari bahwa mereka bisa menyelesaikan perselisihan dengan cara mendatangi arsip kerajaan tempat disimpannya perjanjian dan resi penjualan yang berlaku bagi semua lahan di kerajaan. Sewaktu tiba di arsip mereka dioper-oper dari satu pejabat ke pejabat lain. Mereka menunggu selama beberapa kali istirahat minum teh herbal, diberitahu untuk kembali esok harinya dan pada akhirnya dibawa oleh seorang kerani yang menggerutu untuk mencari lempeng lempung yang relevan. Sang kerani membuka pintu dan membimbing mereka memasuki ruang besar yang dipenuhi ribuan lempeng lempung dari lantai sampai langit-langit. Tidak heran muka si kerani masam. Bagaimana caranya dia menemukan surat perjanjian yang ditulis tiga puluh tahun silam mengenai ladang gandum yang diributkan? Bahkan kalau dia menemukannya, bagaimana caranya mengecek silang untuk memastikan bahwa dokumen dari tiga puluh tahun silam itu adalah dokumen terbaru mengenai ladang yang dimaksud? Bila dia tidak menemukannya, apakah itu membuktikan bahwa Esau tidak pernah menjual atau menyewakan ladang itu? Atau apakah dokumen itu sebenarnya hilang, atau berubah jadi benyek ketika ruang arsip bocor dan kena hujan?
Jelaslah, mencetak dokumen di lempung tidak cukup untuk menjamin pengolahan data yang efisien, akurat, dan mudah. Dibutuhkan metode organisasi seperti katalog, metode reproduksi seperti mesin fotokopi, metode penarikan kembali data dengan cepat dan aku seperti algoritma komputer, dan penjaga perpustakaan teliti (namun moga-moga ceria) yang tahu bagaimana menggunakan peralatan itu.
Menciptakan metode-metode semacam itu terbukti jauh lebih sulit daripada menciptakan tulisan. Banyak sistem tulisan dikembangkan secara mandiri oleh budaya-budaya yang terpisah tempat dan waktu dari satu sama lain. Setiap dasawarsa, para ahli arkeologi menemukan beberapa aksara terlupakan. Sebagian di antaranya mungkin terbukt lebih tua daripada goresan-goresan Sumer di atas lempung. Namun sebagian besar di antaranya akan tetap membuat penasaran karena siapa pun yang menciptakan mereka gagal menciptakan cara-cara efisien untuk menyusun dan menarik kembali data. Yang membedakan Sumer, juga Mesir zaman firaun, Tiongkok kuno, dan Imperium Inka, adalah bahwa kebudayaan-kebudayan ini mengembangkan teknik-teknik bagus pengarsipan, penyusunan, dan penarikan kembali catatan tertulis. Mereka juga berinvestasi menyelenggarakan sekolah untuk juru tulis, kerani, penjaga perpustakaan, dan akuntan.
Satu latihan menulis dari sekolah di Mesopotamia kuno yang ditemukan oleh ahli arkeologi modern memberi kita sekilas pandang ke dalam kehidupan siswa-siswa itu, sekitar 4.000 tahun silam:
Aku masuk dan duduk, dan guruku membaca lempengku. Dia berkata, “Ada yang kurang!”
Dia lalu memukulku dengan tongkat.
Salah satu pengawas berkata, “Mengapa kamu membuka mulut tanpa seizinku?”
Dia lalu memukulku dengan tongkat.
Pengawas aturan berkata, “Mengapa kamu berdiri tanpa seizinku?”
Dia lalu memukulku dengan tongkat. – .
Penjaga pintu berkata, “Mengapa kamu keluar tanpa seizinku?” Dia lalu memukulku dengan tongkat.
Penjaga kendi bir berkata, “Mengapa kamu minum tanpa seizinku?”
Dia lalu memukulku dengan tongkat.
Guru bahasa Sumer berkata, “Mengapa kamu berbicara bahasa Akkad?””
Dia lalu memukulku dengan tongkat. Guruku berkata, “Tulisan tanganmu jelek!” Dia lalu memukulku dengan tongkat.
Juru tulis kuno bukan hanya belajar membaca dan menulis, melainkan juga belajar menggunakan katalog, kamus, kalender, formulir, dan tabel. Mereka mempelajari dan menghayati teknik-teknik penyusunan, pencarian, dan pengolahan informasi yang sangat berbeda dengan yang digunakan oleh otak. Dalam otak, semua data diasosiasikan secara bebas. Ketika saya pergi bersama pasangan saya untuk menandatangani perjanjian kredit rumah baru kami, saya teringat akan tempat pertama kami tinggal bersama-sama, yang mengingatkan saya akan bulan madu kami di New Orleans, yang mengingatkan kami akan The Ring of the Nibelungen, dan mendadak, sebelum saya menyadarinya, saya mendendangkan musik pengiring Siegfried di hadapan seorang kerani bank yang kebingungan. Dalam birokrasi, hal-hal harus dijaga terpisah. Ada satu laci untuk surat kredit rumah, satu lagi untuk akte pernikahan, laci ketiga untuk surat pajak, dan laci keempat untuk gugatan hukum. Kalau tidak, bagaimana kita bisa menemukan apa yang dicari? Halhal yang bisa masuk ke lebih daripada satu laci, seperti drama musik Wagner (apakah saya menggolongkannya ke dalam “musik’, “teater”, atau barangkali membuat kategori yang sepenuhnya baru?), membuat sakit kepala. Maka kita terus-menerus menambahkan, menghapus, dan menata ulang laci-laci kita.
Agar berfungsi, orang-orang yang mengoperasikan sistem laci semacam itu harus diprogram ulang agar berhenti berpikir sebagai manusia dan mulai berpikir sebagai kerani dan akuntan. Seperti yang diketahui setiap orang dari zaman dahulu sampai sekarang, kerani dan akuntan berpikir dalam cara yang tidak manusiawi. Mereka berpikir seperti lemari arsip. Itu bukan salah mereka. Bila mereka tidak berpikir seperti demikian, laci-laci mereka akan tercampur-baur dan mereka tidak akan bisa menyediakan jasa yang dibutuhkan oleh pemerintahan, perusahaan, ataupun organisasi. Dampak paling penting aksara terhadap sejarah manusia tepatnya adalah ini: aksara telah secara bertahap mengubah cara manusia berpikir dan memandang dunia. Asosiasi bebas dan pemikiran holistik telah dipinggirkan demi pemilahan dan birokrasi.
Penasaran dengan kelanjutan teorinya? Tenang, Kamu bisa mendapatkannya di Jakarta Book Review Store. Untuk pembelian buku bisa klik di sini.
Jakarta Book Review memiliki banyak koleksi buku bermutu lain yang tentunya dengan harga terjangkau, penuh diskon, penuh promo, dan yang jelas ada hadiah menariknya. Tidak percaya? Buktikan saja.