Kata Ibu, arti namaku yaitu ‘perempuan yang ramah’. Aku dilahirkan di Rumah Sakit Umum Abdul Muluk, hari Rabu, 26 April 1990 pukul setengah dua pagi. Tentu saja aku masih mengingat semuanya, tanggal kelahiranku sengaja ditempel di sebuah dinding besar supaya Ibu terus mengingat hari ulang tahunku, hari yang selalu aku tunggu karena akan dapat hadiah sekaligus kue. Aku tinggal di sebuah kompleks gang bernama Gang Buntu, rumahku tepat & paling ujung, bercat putih dengan pohon mangga dan sawo di taman. Di rumah itu juga, Ibu membuka warung jajanan
Meskipun biasanya jajanannya banyak aku yang menghabiskan dan Ibu sering rugi. Aku suka membagikan mi lidi, cokelat payung, dan cokelat kacamata ke tetangga. Waktu kecil hobiku itu jajan, apa pun yang lewat di depan rumah pasti aku panggil. Kalau dulu, sering ada abang-abang dengan gerobak berkeliling, kadang kue cubit, telur gulung, rambut nenek, atau permen gulali. Nah, kalau menjelang malam biasanya yang lewat itu tukang sate sambil teriak ‘sateeee’ dengan suara lantang melengking atau kue putu kesukaan Ibu.
Ayah suka mengingatkan aku, sih, katanya nanti aku bisa sakit perut kalau kebanyakan jajan di luar. Cuma, aku dulu bebal, susah sekali mendengarkan kata-kata orangtua. Aku bersekolah di SD dekat rumah, kalau pulang sekolah biasanya tidak langsung ke rumah, tapi main dulu. Suka menyimpan duit dalam kaleng yang ditimbun dalam tanah karena terinspirasi dari film Joshua oh Joshua. Masih mengenakan seragam, aku ke rawa-rawa untuk mencari belut atau pergi ke sungai. Pokoknya waktu kecil aku main terus karena belum ada ponsel. Satu-satunya cara menghabiskan waktu hanya bermain. Aku baru akan pulang ke rumah kalau Ibu sudah mencariku sambil membawa sapu lidi, lalu aku segera lari terbirit-birit untuk mandi.
Kebiasaanku dulu adalah mengoleksi tato dari permen Yosan, lalu kupakai di tangan atau memainkan telepon umum sambil menusuknya dengan lidi supaya keluar uang koin. Kalau di ramah, aku sering memainkan telepon rumah. Menghubungi nomor orang di Yellow Pages secara asal sampai tagihan telepon jadi membengkak dan Ibu harus menggembok teleponnya supaya tidak aku mainkan lagi,
Masa Ramadan adalah waktu yang aku tunggu kareng bisa keluar untuk membangunkan warga sambil memukul gendang dengan hebohnya. Pernah juga dimarahi Ibu karena ikut Tarawih, tapi ketika semua orang bersujud, aku lari mengibrit keluar masjid untuk makan tekwan di seberang. Tapi ada beberapa hal yang enggak kusukai dari bulan Ramadan, yaitu ketika diharuskan mengisi buku amalan selama puasa. Rata-rata aku mencentang salat lima waktu, padahal salatku masih bolong-bolong.
Ketika Lebaran, aku akan bersilaturahmi ke rumah tetangga hanya untuk meminta uang THR dan yang paling seru yaitu bisa tidur ramai-ramai dengan sepupu di ruang tengah rumah Nenek. Bulan Oktober juga sesuatu yang aku senangi, karena biasanya ada layar tancap meskipun film yang ditayangkan adalah tentang G30S/PKI.
Pernah juga bertengkar dengan anak tetangga hanya karena rebutan warna Power Rangers dalam serial yang ditayangkan di televisi dan ribut dengan teman SD lantaran aku memanggil nama bapaknya di kelas.
Dulu, aku tidak pernah merasa bosan juga karena permainan yang aku dan anak-anak tetangga lakukan bervariasi. Seperti main bola bekel, congklak, gobak sodor, engklek, layang-layang, ular tangga, tepuk Tazos, boneka kertas, yoyo, kelereng, petak umpet, atau main petasan dari tumbuhan. Wah, banyak, deh. Mengingatnya aku jadi rindu. Waktu kecil aku ingin cepat dewasa supaya tidak terlalu banyak diatur, setelah dewasa justru ingin kembali jadi anak kecil. Manusia memang lucu.
Mungkin karena waktu kecil, ada banyak tangan yang akan membantu. Berbeda halnya setelah dewasa, seseorang harus belajar mandiri. Waktu kecil bisa dengan mudah mengeluarkan ekspresi tanpa takut perkataan orang. Kalau sedih, bisa menangis keras-keras tanpa harus malu. Kalau kesal dan marah, bisa ribut dengan seseorang, lalu beberapa jam berikutnya berbaikan lagi. Lupa sebelumnya sedang bertengkar karena belum mengenal apa itu ego dan harga diri.
Berbeda halnya dengan kehidupan dewasa, terkadang banyak tahu justru membuat hidup terasa lebih ribet. Manusia dewasa hidup menggunakan topeng. Tidak boleh menangis di depan orang, nanti dibilang lemah. Tidak boleh marah sembarangan, nanti dibilang temperamental. Harus pintar menutupi perasaan, baru bisa jujur setelah sendirian, ketika tidak ada yang mengelilingi selain tembok kamar dan pintu yang terkunci.
***
Kompleks Gang Buntu bisa dibilang menganut konsep bhinneka tunggal ika. Di sebelah rumahku ada seorang juragan minyak yang rumahnya tiga tingkat dan sangat mewah. Meskipun kaya, tapi dia tidak sombong, dia suka membagi-bagikan makanan ke tetangga dan bergosip. Ibu pemilik rumah bernama Mak Lela adalah orang Betawi yang kalau bicara suka cablak. Dia tidak punya anak, jadi sering membelikan baju dan uang ke anak-anak tetangga. Di sebelah rumah itu, terdapat rumah bedeng punya Mak Lela
Kalau dipikir lagi, standar orang kaya zaman dulu memang sederhana. Misalnya, sewaktu aku kecil kalau melihat ada stiker Taman Safari tertempel di belakang mobil, aku sudah bisa menebak dia pasti kaya karena pernah ke Jakarta. Kalau teman-temanku membawa nugget Fiesta ke sekolah, membawa mainan hadiah McDonald’s, memiliki krayon lengkap tujuh puluh dua warna, memakai buku bermerek Kiki sementara teman-teman lain hanya memakai sebatas buku Sinar Dunia, punya kotak pensil bertingkat dua lengkap dengan serutan putar, atau memakai Alfa-link ketika yang lain cuma bisa membawa kamus bahasa Inggris dua miliar, dia pasti akan langsung ditemani karena dianggap anak sultan.
Tetangga di kompleksku rata-rata begitu unik. Kamu bisa menemukan ada sekumpulan bapak-bapak penggemar ikan cupang yang ujungnya berakhir ribut dengan istri karena adu cupang sampai lupa waktu. Salah satu kaki-tangan di kompleks adalah Pak Udin, si tukang sayur keliling, Kalau pagi, dia menjelma sebagai intel, yang tahu permasalahan seluruh warga kompleks dari hulu ke hilir. Bagaimana enggak, para ibu-ibu memanfaatkan waktu membeli sayur sebagai ajang bergosip. Tentang gosip artis, ustaz yang sedang poligami, sampai urusan ranjang yang kadang membuat Pak Udin salah tingkah. Meskipun terkadang, aku tidak terlalu suka dengan Pak Udin, dia kadang genit dengan cewek-cewek di kompleks.
Kenangan yang aku rindukan di kompleks yaitu dulu setiap sore, biasanya banyak anak kecil berlarian dengan wajah cemong karena belum selesai dibedaki. Ada ibu-ibu muda menyuapi anaknya sambil ditaruh di sepeda. Aku juga sering bermain dengan anak-anak di rumah bedeng. Kadang kami mencari cuk—jentik nyamuk—di comberan untuk jadi makanan ikan cupang atau mandi di sungai.
Hari Minggu adalah hari yang kusukai karena bisa menonton acara kartun di TV lalu menemani Ibu belanja di pasar. Meskipun kadang Ibu kesal kalau aku sudah ikut, katanya aku resek, uang sisa belanja yang harusnya ditabung jadi ludes karena aku akan merengek meminta dibelikan mainan yoyo, mobil Tamiya, atau VCD Power Rangers. Pernah ada pengalaman lucu waktu aku ke pasar, aku bosan karena Ibu menawar sayur terlalu lama, jadi aku masuk ke jilbab Ibu yang panjang dan melilitkan tubuhku sampai jilbabnya tertarik ke leher dan Ibu jadi bahan tertawaan satu pasar. Semenjak itu dia tidak pernah lagi mengajakku.
Semakin dewasa, aku pun jadi malas ikut Ibu ke pasar. Karena Ibu orangnya super-perhitungan, selisih seribu bisa membuatnya keliling dua putaran demi mencari harga termurah.
Ketika tumbuh dewasa, kamu akan merindukan banyak suara yang menemanimu sejak kecil. Suara tukang es krim keliling, suara kue putu dengan dengungannya, suara tukang sate, suara derap kaki anak-anak berlarian karena sedang bermain uber hem, atau suara teriakan Ibu yang memanggil dari depan rumah karena sudah waktunya makan dan mandi. Masa dewasa tidak hanya diabadikan lewat foto, tapi melalui aroma jajanan yang sering kamu beli waktu SD, rasa manis yang tercecap di lidah, atau tawa singkat karena tayangan lucu di televisi. Karena menjadi dewasa, seluruh waktumu akan tersita habis untuk mengejar cita-cita. Kamu akan kehilangan kemampuan tertawa akan hal sederhana,
Kehidupanku juga berubah. Ada sebuah kejadian besar terjadi di rumahku, ketika aku duduk di bangku kelas lima. Kejadian yang selamanya akan membekas dalam kepalaku.
***
Ibuku adalah seorang ibu rumah tangga yang kebetulan membuka warung di rumah agar dapat uang tambahan, sedangkan Ayah seorang wiraswasta, beliau memiliki sebuah pabrik sepatu yang lumayan besar. Aku begitu dekat dengan Ayah, tidak bisa tidur kalau tidak di dekatnya. Waktu Ayah pulang adalah waktu paling aku tunggu karena Ayah pasti bawa makanan. Kalau Ayah libur, dia akan mengajakk dan Ibu jalan-jalan ke Way Kambas, belanja di mal, atau ke rumah Kakek—aku memanggilnya Sidi. Orangtua Ibu sudah meninggal semenjak aku bayi, menurut cerita Ibu karena kecelakaan mobil. Ibu adalah anak satu-satuny sama sepertiku.
Hari terburukku dimulai sewaktu Ibu mengajakku menginap di rumah temannya yang akan mengadakan pesta pernikahan di Kotabumi selama tiga hari, tapi ternyata Ibu hanya menginap dua hari karena tidak enak badan dan memilih izin pulang. Sesampainya di rumah, Ibu melihat ada sebuah high heels di depan pintu. “Ini sandal siapa?” Ibu berusaha menebak-nebak. “Ibu pernah ada sepatu tinggi gini, nggak?”
“Neggak tahu,” jawabku.
Ibu yang memiliki kunci cadangan segera membukanya, kami masuk. Ibu terkejut melihat ada kaus perempuan di sofa tengah. Dia lalu mengetuk pintu, meneriaki Ayah, “Buka, nggak? Atau aku dobrak pintunya!”
Aku melihat tubuh Ibu gemetaran, tanganku masih menggenggam tangan Ibu dan merasa tangannya begitu dingin. Pintu terbuka. Ayah mendorong Ibu untuk menjauh dan kembali menutupnya. “Kenapa udah pulang?”
“Ada siapa di dalam?”
“Nggak ada siapa-siapa.”
“Bohong! Sandal siapa di luar? Terus itu baju siapa? Kamu selingkuh?”
“Eggak!”
Ibu seperti kesetanan. Ibu yang selalu sabar dan menurut, kali itu mendorong Ayah dan segera membuka pintu. Ada seorang wanita duduk di kasur. Ibu segera menamparnya, menjambaknya. Aku menangis. Melihat Ayah berselingkuh adalah patah hati terbesarku—seseorang yang aku kagumi, yang aku pikir adalah pahlawan, ternyata bisa menyakiti hati Ibu. Bukannya membela Ibu, Ayah justru ikut menghabisi ibu. Dia menampar Ibu, menjambak, dan membenturkan kepalanya ke tembok. Aku berteriak, berusaha melakukan apa yang aku bisa.
Ayah akhirnya berhenti, dia keluar, membawa gadis berengsek itu keluar dengan meninggalkan kondisi Ibu yang lebam-lebam. Sudut bibir Ibu berdarah, matanya bengkak dan merah. Kami saling berpelukan, berusaha saling menerima dan menyemangati. Satu yang kutahu, semenjak hari itu Ayah meninggalkan sebuah luka besar di hatiku. Ayah yang biasanya menjadi cinta pertama anak gadisnya, kali itu di menjadi patah hati pertamaku.
***
Kehidupan di rumah berubah drastis. Rumah bagiku seperti neraka. Kalau dulu kepulangan Ayah selalu membuatku senang, kini justru anomali. Kepulangan Ayah jadi sesuatu yang ditakuti, karena dia akan marah ke Ibu atau mencari-cari kesalahan, seperti gosokan baju tidak terlalu rapi, susunan berantakan di lemari, masakan yang terlalu asin, atau ibu lupa menggosok sepatu kerja Ayah yang akan dipakai di pagi hari.