Matahari muncul bertepatan dengan berakhirnya libur musim dingin yang diberikan oleh sekolah selama satu bulan terakhir. Bagi sebagian siswa, hari pertama sekolah setelah libur panjang berlalu mungkin menyimpan semangat tersendiri. Namun untuk siswa tingkat akhir beda lagi. Karena hari-hari neraka telah tiba.
Ujian masuk perguruan tinggi, praktikum, tambahan pelajaran, les privat, dan kegiatan lain yang berhubungan dengan belajar tidak lama lagi akan menyita semua waktu yang mereka miliki.
“Libur kali ini benar-benar membosankan, ya? Kalian tidak rindu padaku?” Suara gelegar dari seseorang bertubuh gempal itu memecah kelas yang mulai ramai.
“Emma?”
Emma yang merasa namanya terpanggil kini mengangkat wajah dari buku yang ia baca.
“Woah, aku hampir saja tidak mengenalimu. Bagaimana bisa libur satu bulan membuatmu tambah cantik saja?” Laki-laki itu berseru mendekat dengan mata berbinar. Kemudian menarik salah satu kursi untuk ia duduki, “Sedang baca apa?”
Emma mendengus, menutup bukunya lalu menatap laki-laki itu. dengan raut seolah berkata gombalan-mu-itu-payah-sekali. “Langsung saja Gong Chul.”
Laki-laki itu tertawa, “Semester akhir telah tiba. Dan kau tahu sendirikan ini adalah masa-masa kritis bagi siswa kelas tiga. Jadi yang mau aku katakan adalah semoga kedepannya kau mau membantuku belajar agar lulus dengan nilai baik.”
“Aku bisa membantumu kalau kau berhenti membuat masalah di Kelas.”
Gong Chul merapatkan mulut, lalu mengangguk dengan pasti, “Geurae, itu bukan masalah besar.”
“Aku mau beli sandwich di kantin. Tidak titip sesuatu?”
Emma menggeleng lalu kembali ke aktivitas sebelumnya, “Aku masih kenyang.”
“Baiklah, belajar yang rajin!”
Setelah Gong Chul menyingkir, ganti Fei Huang—perempuan asal Taiwan yang berada di satu club cheers dengannya—kini mengambil duduk di depan Emma. “Hei, apa yang kau bicarakan dengannya?”
Emma menoleh sebentar, kemudian mengangkat bahu, “Bukan sesuatu yang penting. Dia minta bantuanku untuk mengajarinya belajar.”
Fei mencondongkan tubuhnya untuk mendekat, “Sebaiknya kau berhenti berurusan dengan sialan itu, Emma. Aku dengar dari Seok Jun kalau dia menyukaimu.”
Emma mengangkat sebelah alis. “Dia menyukaiku?” tanyanya dengan nada tidak percaya.
Seingatnya, Gong Chul adalah laki-laki pembuat onar di sekolah. Suka membolos pelajaran, tukang bully, dan yang pasti membencinya setengah mati. Jangan heran kenapa laki-laki itu bisa sebenci itu dengan Emma.
Semua berawal saat mereka berada di tingkat dua. Setelah pelajaran usai, Emma tidak sengaja melihat laki-laki bertubuh gempal itu memalak adik kelas di sudut lapangan olahraga yang sepi. Tidak bisa membiarkannya begitu saja, Emma lalu melaporkan apa yang dilihatnya kekomite disipliner. Dan bisa ditebak, Gong Chul akhirnya mendapatkan catatan skors dengan hukuman membersihkan toilet selama seminggu penuh.
“Sialnya seseorang memberi tahu Gong Chul bahwa yang melaporkannya ke komite disipliner adalah Emma. jadi mulai saat itu, Gong Chul membenci Emma. Dan balas dendam yang ia lakukan adalah menghilangkan laporan akhir kimia milik Emma hingga perempuan itu mendapatkan nilai D.
“Tidak mungkin.”
Fei mrenghela napas, “Terserah kalau tidak percaya. Sebagai teman aku hanya bisa memperingatkanmu. Jangan berurusan lagi dengannya Emma.”
“Gong Chul bukan tipe orang yang akan menyerah sebelum mendapatkan apa yang dia inginkan.”
Setetah latihan menari untuk comeback album baru selesai, siang itu manajer membawa semua member kembali ke dorm untuk itstirahat. Kyunsoo dan Yixing langsung menyentuhkan kepala ke bantal sesampainya di dorm. Sementara Junmyeon, Jongdae, Minsuk, day Sehoon terlihat berkerumun di konter dapur untuk memasak sesuatu.
“Berhenti tersenyum, kau seperti idiot.” Baekyun berdecak sambil menolehkan kepala ke arah Chaeyeol.
“Apa terjadi sesuatu yang baik antara kau dan Emma?” tanya Jongin yang datang dari arah dapur. Kemudian, bergabung di sofa dengan tangan memegang mangkuk besar berisi potongan nanas.
Chaeyeol tersenyum miring, “Tidak juga.” Ia kemudian mengeluarkan ponselnya dan memeriksa jam, pukal 14.20. Itu berarti Emma sudah ada di rumah. Tanpa sadar senyum di sudut bibir Chaeyeol mengembang. Berpikir apa yang sedang Emma lakukan di rumah sekarang.
Park Chaeyeol
[Emma sepertinya aku akan pulang sedikit telat. Kau bisa tidur dulu, jangan memaksa untuk menungguku.]
Emma memasukkan ponselnya ke saku seragam setelah mengecek pesan dari Chaeyeol. Baguslah laki-laki itu akan pulang terlambat. Kalau bisa larut malam sekalian, agar Emma tidak perlu bertemu dengannya. Karena serius, kejadian semalam benar-benar membuatnya malu. Sampailah Emma di rumah. Ia membuka pintu setelah menekan panel kode. Kemudian menata kembali sepatunya ke dalam rak. Hal pertama yang menyambut Emma setelah masuk ke dalam rumah adalah bau harum masakan. Ia mengerutkan kening. Siapa yang sedang memasak? “Ibu?” panggil Emma memastikan. Dan benar saja, ketika wanita bercelemek itu berbalik, Emma mendapati ibu Chaeyeol sedang memegang sudip sambil tersenyum lebar ke arahnya.
“Oh, sudah pulang? Bagaimana sekolahmu, Sayang?”
“Berjalan baik. Apa yang sedang Ibu lakukan?” Mata Emma mengedar ke seluruh permukaan meja. Takjub dengan banyaknya makanan yang tersaji di sana. “
“Aku berpikir untuk memasakkan kalian beberapa makanan sebelum melakukan perjalanan bisnis lagi ke Cina sore ini.”
Emma mengangguk mengerti, “Kali ini berapa lama?”
Wanita paruh baya itu mematikan kompor. Mengambil mangkuk besar lalu menuangkan samgyetang yang baru matang ke dalam mangkuk itu. “Tidak lama, kalau berjalan lancar mungkin hanya perlu waktu satu minggu.”
“Ohya, kapan suamimu pulang?” tanyanya.
“Dia tadi bilang akan pulang terlambat hari ini.”
Emma mengikuti ke mana arah ibu mertuanya itu berjalan. Wanita itu berhenti di samping sofa, membuka tas tangan miliknya lalu mengeluarkan kertas persegi berwarna merah dari dalam sana. “Tolong berikan ini padanya, ya.”
Emma mengulurkan tangan untuk menerima kertas itu, “Apa ini?”
“Undangan pesta pembukaan gedung baru perusahaan ayah Chaeyeol. Acara dimulai besok pukul 7 malam. Kami hanya mengundang keluarga dan kolega, tidak akan ada pers di sana. Jadi kalian harus hadir.”
Duduk berdua bersebelahan menikmati acara televisi di antara udara dingin yang mencekat adalah sesuatu yang romantis. Apalagi ketika si perempuan menyenderkan kepalanya di bahu si pria sambil menautkan sebelah tangan masing-masing. Namun kenyataannya, Emma dan Chaeyeol duduk tidak berdekatan sama sekali. Si pria di ujung sofa sebelah kanan, sedangkan si wanita duduk di ujung paling kiri. Tidak ada tembok pemisah, yang ada hanya sestoples kacang mede, sebungkus keripik kentang, dan seliter es 2 rasa yang tertata rapi di tengah-tengah sofa. Emma mengunyah keripik dengan perasaan tidak tenang karena Chaeyeol menyebalkan itu dari tadi tidak berhenti memerhatikan “Jangan menatapku seperti itu.”
“Kenapa? Gugup, ya?” Chaeyeol menarik sebelah sudut bibir sedikit tertawa. “Kapan lagi ada laki-laki keren menatapmu seperti ini?”
Perempuan itu mencibir dengan jelas, “Terserah.”
“Semalam, kenapa kabur?”
Emma mendadak tersedak. Sial, kenapa dia harus membahas “Siapa bi-bilang aku kabur. Itu hanya perasaanmu saja.” jelasnya menjejalkan satu genggam keripik ke dalam mulutnya sambil tergugup. “Kau lari setelah aku menciummu tadi malam, bagaimana bias itu hanya…” “Oh!” Emma tiba-tiba berseru, memotong perkataan Park Chaeyeol secepat kilat. “Kau dapat undangan.”
Terima kasih pada undangan berwarna merah maroon yang tergeletak di meja samping Emma karena telah membebaskannya dari keharusan menjawab pertanyaan sialan itu.
“Besok?”
“Ya, jam tujuh malam. Ibumu berkata tidak akan ada pers, jadi kau harus hadir.”
Chaeyeol meletakkan kertas itu ke meja, kemudian mengangguk. “Baiklah aku akan datang.” Emma menghela napas lega, Park Chaeyeol bukan orang yang senang menghadiri acara-acara formal seperti itu.
Kemudian hening. Baik Emma maupun Chaeyeol sepertinya tidak ada niatan untuk buka suara. Emma kembali tenggelam pada alur cerita film yang berputar di televisi, memperhatikan dengan wajah serius sambil sesekali mengerutkan alis jijik ketika adegan si pria memakan tikus hidup-hidup karena kelaparan.
Sedangkan Chaeyeol, ia memutuskan untuk tidak mengikuti alur cerita film tersebut. Karena objek di sampingnya itu jauh lebih menarik untuk dilihat dari pada film di televisi.
Sejenak, sesuatu melintas di kepalanya, “Apa kau punya gaun pesta?”
“Tidak,” jawab Emma tanpa mengalihkan fokusnya dari televisi.
“Kalau begitu ayo ikut aku.”
Tanpa menunggu lama. Chaeyeol segera menarik tangan Emma untuk berdiri dan mengajaknya untuk pergi ke luar.
“Ke mana? Filmnya kan belum selesai. Hei! Park Chaeyeol!”
“Hi, there,” Sapa sosok wanita cantik yang keluar dari balik meja kasir, Beberapa menit yang lalu–dengan mengenakan penyamaran seperti biasa—Chaeyeol membawa Emma masuk ke departement store ketika jam hampir menyentuh pukul 10 dan sudah banyak outlet yang tutup. Sekarang mereka sedang berada di salah satu toko yang menjual pakaian.
“Long time no see. Bagaimana kabarmu?” Wanita itu menepuk punggung Chaeyeol lalu mempertemukan kedua pipi masing-masing.
Emma mengangkat sebelah alis ketika memperhatikan apa yang dua orang itu lakukan. Tunggu, apa sebenarnya hubungan mereka? Mencium pipi sama sekali bukan sapaan yang wajar dilakukan oleh Penduduk Korea kepada temannya.
Emma mendapati laki-laki itu tersenyum lebar, sampai-sampai sebentar lagi mulutnya mungkin akan sobek. “Masih hidup. Kau sendiri
“Well, aku juga.” jawabnya dengan senyum lebar pula. Kemudian perempuan itu menatap Emma. “Oh, diakah orangnya?”
Chaeyeol mengangguk—masih dengan senyum lebar menyebalkan itu.
“Hi, aku Jeanne. Jeanne Kim. Senang bertemu denganmu,” Perempuan itu mengulurkan tangan dan mau tak mau Emma harus menjabatnya “Emma Rose. Senang bertemu denganmu juga, Jeanne.”
“Kau datang tepat waktu, koleksi jas terbaru bulan ini baru datang 30 menit yang lalu. Aku yakin ada satu yang sesuai gayamu, mau lihat?”
Chaeyeol menggeleng cepat. “Sepertinya tidak sekarang. Aku kesini untuk membeli gaun untuk Emma. Bisakah kau membantunya memilih satu yang cantik?”
Jeanne beralih menatap Emma, “Oh, tentu saja. Ayo, akan kutunjukkan koleksi gaunku.”
Jeanne mendorong satu lusin pakaian yang tergantung di gantun roda menuju ke arah Emma.
“Omong-omong, selamat atas pernikahan kalian.”
Ucapan Jeanne membuat Emma mengerutkan kening, Bertanya-tanya bagaimana bisa perempuan itu tahu bahwa ia dan Chaeyeol menikah.
Menyadari perubahan ekspresi wajah Emma, Jeanne pun menambahkan, “Chaeyeol banyak bercerita tentangmu.’
Emma mengangguk mengerti, lalu tersenyum samar. “Sepertinya kalian berteman baik.”
Jeanne berhenti sejenak. Menatap Emma selama beberapa detik lalu tiba-tiba tersenyum lebar. “Tentu saja, kami juga pernah berkencan SMA dulu.”
Tepat sedetik setelah kalimat itu meluncur dari mulut Jeanne, Emma tiba-tiba mendapati dirinya menahan napas. Jadi perempuan itu adalah mantan kekasih Chaeyeol? Pantas saja mereka terlihat begitu akrab tadi.
“Nah, kurasa ini cocok untukmu Emma. Kau bisa mencobanya di ruang ganti sebelah sana.”
Setelah Jeanne pergi, Emma membawa pakaian berwarna merah muda itu ke ruang ganti untuk dicoba. Pikiran-pikirannya sekarang dipenuhi oleh wajah Chaeyeol dan Jeanne yang saling tertawa. Jeanne begita cantik, punya tubuh tinggi, dan rambutnya berwarna hitam sepinggul. Sangat cocok jika berdiri di samping Chaeyeol seperti beberapa saat yang lalu.
Ya, sangat cocok.
Dan sial, salahkah Emma jika ia cemburu?