Membela Guruku
Matematika bukanlah segala-galanya, kata Guru Desi di depan kelas.
“Sekolah bukanlah melulu soal matematika, mengerti?”
“Mengerti….” koor murid-murid.
“Tak ada satu ilmu pun yang lebih penting dari ilmu lainnya. Kecerdasan punya seribu muka. Mereka yang tak bisa matematika, bukan berarti tidak pintar Anggapan bahwa mereka yang bisa ilmu pasti lebih pintar dari yang tak bisa, adalah anggapan lama yang sangat keliru, mengerti?”
Disambut lagi koor mengerti.
“Dunia digerakkan ilmu-ilmu sosial, diperbaiki oleh ilmu-ilmu pasti. Maka bagi yang merasa punya minat dan potensi matematika, kuucapkan selamat. Bagi yang tidak, juga kuucapkan selamat. Aku, Desi Istiqomah, wali kelas kalian, siap membantu kalian di bidang apa saja. Di bidang yang kalian merasa paling unggul!”
Sambil mengatakan itu Guru Desi memandang Aini.
“Di bidang PKK alias Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, misalnya.”
Guru mencoba menyadarkan Aini agar melupakan obsesi membabibutanya untuk bisa matematika. Agar dia sealistik, bahwa matematika memang bukan untuknya. Sebab dia sama sekali tak punya potensi di bidang itu. Sebaiknya dia mengalihkan perhatiannya pada bidang lain. Seluruh tujuan wejangan ini sesungguhnya untuk Aini.
“Pelajaran PKK pun sangat penting. Tanpa PKK keluarga tak bahagia. Matematika sulit berkembang dalam keluarga yang tak bahagia, mengerti?”
“Mengerti….”
“Ojeh, kalau begitu, yang merasa punya minat dan potensi matematika dan merasa bisa mengikuti pelajaran matematika yang makin lama makin sulit, tunjuk tangan!”
Yang pertama tunjuk tangan dan tunjuk tangan paling tinggi adalah Aini. Bukan main tegaknya dia menunjukkan tangannya sambil tersenyum lebar. Guru Desi tercengang. Ditutupnya wajah dengan kedua tangan sambil menarik napas panjang berkali-kali. Segera Guru Desi sadar bahwa kuliah umumnya yang hebat soal falsafah ilmu di dunia ini, telah gagal, gagal total. Semuanya gara-gara sebaris kalimat penutupnya yang meminta muridnya memilih. Guru Desi memarahi dirinya sendiri karena tak belajar dari pengalaman, bahwa beberapa orang yang agak gila memang tak bisa diberi pilihan.
Sore itu Guru Desi duduk melamun menghadapi secangkir kopi pahit. Dia telah membuat kopi paling pahit di dunia ini lantaran hatinya risau. Sekian lama dia telah mengajari Aini matematika dan terbuktilah hipotesanya, bahwa muridnya itu hanya dilanda Aisteria. Aini histerik ingin pandal matematika, karena ingin masuk fakultag kedokteran, lantaran panik melihat ayahnya sakit.
Guru berharap wejangannya di kelas tadi siang dapar menyadarkan Aini, bahwa matematika adalah ilmu runyam yang telah berusia racusan tahun, satu ilmu besar yang tidak dapat dikuasai dengan Aisteria saja.
Guru pun berharap, mendung yang rendah, gelap, dan pekat, angin yang bersiut-siut kencang, gerundung-gerundung guruh akan mengecilkan hati Aini untuk datang ke rumahnya sore ini, dan selanjutnya melupakan pertemuan-pertemuan matematika mereka yang percuma saja, yang hanya menghabiskan waktu, tenaga, dan perasaan. Semoga Aini, sambil berjualan mainan anak-anak di kaki lima sana, memikirkan semua itu.
Ternyata, sambil duduk sendiri di kaki lima, Aini memang memikirkan semua itu. Baru dia sadar bahwa tadi siang Guru berbicara pada kelas, namun sebenarnya berbicara untuknya. Lama dia tercenung, tercenung dalam getir. Mendung yang gelap, membuat hatinya semakin mendung.
Tiba-tiba Guru Desi terkejut mendengar suara gemeretak di depan rumahnya. Disibakkannya tirai jendela, Aini telah berdiri tegak di bawah pohon nangka itu sambil mendekap buku-buku, tersenyum lebar dan memencet balon di tangannya; Ngik! Ngok!
Terperenyak Guru Desi di tempat duduk; Seribu bala tentana tak dapat mencegah anak itu, kata hatinya. Mereka yang ingin belajar sungguh, tak bisa diusir.
“Kusangka kau tak akan datang lagi, Nong,” kata Guru kemudian. Aini tersenyum.
“Aku akan terus datang, Bu, apa pun yang akan terjadi, walaupun aku tahu akan mendapat dampratan 7 halilintar dari Ibu”
Guru menarik napas panjang. Guru kembali mengajari Aini.
“Bukan begitu caranya!” bentak Guru.
“Kalau kau tak mengerti cara membaca tabel logaritma, mustahil kau dapat menyelesaikan soal itu!”
Aini tertunduk malu, Guru terhenyak di sandaran kursi.
“Kau lihat meja dan bangku itu?” Guru menunjuk ke pojok sana. Aini sendiri, meski tak pernah bertanya, sering merasa heran mengapa mereka tak pernah belajar di meja itu.
“Meja dan bangku itu dulu kusediakan untuk Debut Awaludin. Murid paling cerdas yang pernah kukenal, imajinatif! Kau tahu, Nong, Nadirah dan Jafarudin, murid-murid tercerdas matematika di SMA kita, jauh kemampuannya dibanding Debut. Kalau kau ingin melihat bagaimana rupanya seorang genius matematika, lihatlah Debut Awaludin itu.”
Sedih Guru memandang bangku dan meja itu.
“Debut hanya pernah datang sekali, lalu tak mau lagi belajar matematika, tragis. Kubiarkan bangku dan meja itu tetap di situ karena kuharap suatu hari nanti dapat kutemukan lagi murid seperti Debut.”
Dapat Aini merasakan kegetiran hati Guru karena kehilangan murid yang hebat.
“Maafkan aku, Bu, hanya murid sepertiku yang datang pada Ibu. Maafkan aku karena tak bisa seperti Debut….”
Esoknya, pulang dari sekolah, Aini mengayuh sepeda menuju Pasar Inpres. Di Jantai 2 pasar, nun di ujung sana, tampak plang nama kios buku Heroik. Aini melangkah ke sana.
Beberapa anak kecil merubung buku-buku komik. Seorang bapak tua duduk menekuni sebuah buku tebal. Seorang lelaki duduk dekat jendela. Di depannya bertumpuk-tumpuk buku dan gelas yang besar. Aini tahu orang itu Debut Awaludin. Dihampirinya Debut. Debut menatapnya dengan pandangan seakan mengingat sesuatu.
“Ya, aku anak Dinah,” kata Aini tanpa menunggu ditanya.
“O, makanya tadi aku merasa seperti pernah melihatmu, Nong. Kau mirip ibumu, Anak Dinah yang sulung kah?”
“Ya”
“Siapa namamu, Nong?”
“Namaku Aini. Aku juga murid Guru Desi.”
“Oh, Guru Desi.” Aini melihat sekeliling.
“Apakah sedang mencari buku? Ada buku tertentu yang diperlukan?”
“Tidak, Pak Cik, tidak mencari buku.’
“O, jadi, ada keperluan apa, Nong?”
“Aku mencari Pak Cik.”
“O.
“Ada bangku dan meja di rumah Guru Desi khusus untuk Pak Cik. Kata Guru Desi Pak Cik hanya pernah datang sekali ke rumahnya, lalu tak mau lagi belajar matematika.”
“Tersentak Debut. Terpana dia melihat Aini seperti mau menangis.
“Aku sendiri berusaha mati-matian agar dapat diterima Guru Desi, setiap hari aku dimarahinya, setiap hari aku – ditolaknya. Aku mau menukar kesempatan apa saja agar bisa disayangi Guru Desi!”
Terkesiap Debut.
“Pernah ada murid yang sangat disayangi Guru Desi, murid yang sangat cerdas katanya, tapi murid itu malah menyia-nyiakan kesempatan dididik seorang guru yang hebat, guru yang sangat hebat! Aku datang ke sini untuk membalas sakit hati Guru Desi! Untuk membela guruku!”
Aini merasa sangat jengkel. Ingin dia menghamburkan buku-buku di atas meja itu namun tiba-tiba dua anak kecil itu berlari-lari masuk ke dalam kios, menuju Debut sambil memanggil ayah. Aini angkat kaki dari situ.