Iqbal akhirnya datang dengan membawa paper bag berukuran sedang di tangan kanannya. Kedua mata Acha terus mengikuti tubuh Iqbal yang berjalan menuju ke sofa tempat Rian dan Glen duduk. Cowok itu masih tak menyapanya, bahkan tak menatapnya balik. Acha pun hanya bisa pasrah. Acha berusaha menguatkan pikirannya dengan mengingat-ingat kembali perkataan Rian. Setidaknya, hal itu membuatnya untuk tidak larut dalam kesedihan.
“Bang, apartemennya pindah ke Wakanda apa gimana? Kakanda lelah nih dari tadi nungguin,” celetuk Glen lebay. “Macet,” jawab Iqbal singkat.
Rian segera berdiri, menatap Amanda seolah memberikan kode untuk bersiap pulang. Amanda yang saat itu juga menatap Rian, segera mengangguk dan mengambil tasnya yang ada di atas kasur Acha. “Kami balik, yam Cha,” ucap Amanda sembari berdiri.
Acha menoleh ke Amanda sedikit cemberut, seolah tak ingin Amanda pergi. Amanda tersenyum, membelai lembut rambut Acha. Amanda perlahan berbisik ke Acha. “Selesaikan hari ini, gue akan datang lagi besok,” ucap Amanda lirih.
Acha pun terpaksa mengangguk, menurut.
“Kami pulang, ya, Cha. Cepat sembuh,” pesan Rian.
“lya, Rian. Makasih banyak udah jenguk Acha,” balas Acha.
Rian tersenyum kecil, kemudian menatap Glen yang masih asyik duduk. “Lo nggak pulang?” tanya Rian menyengol pelan kaki Glen.
“Boleh, nggak, sih, gue nginap di sini aja? Gue lagi malas pulang,” tanya Glen penuh harap.
“Nggak boleh!” tegas Amanda paling tak santai.
“Buat salah apa lagi lo sama Bunda Anggara tercinta?” tebak Rian.
“Biasa, gue nggak sengaja ceburin Meng ke kolam ikan Papa tadi pagi,” jujur Glen.
Rian, Amanda, Iqbal, bahkan Acha hanya bisa geleng-geleng, takjub mendengar jawaban Glen barusan. Kenapa hidup cowok itu hanya dipenuhi dengan Meng dan Meng! Terkadang, mereka semua berharap Glen cepat bisa membuka hati kembali dan move-on dari Shena. Setidaknya, hidup cowok itu kembali bisa lebih berwarna.
“Buruan! Ayo pulang,” ajak Amanda.
“Benar nih gue nggak boleh ikut nginap?” tanya Glen memastikan.
“Nggak, Glen! Ayo pulang!” ajak Amanda.
Rian pun inisiatif menarik tubuh Glen agar segera berdiri. Glen menatap ke Iqbal memberikan wajah memelas, namun Iqbal hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sebagai penolakan.
Glen bergantian menatap ke Rian. “Gue nginap di rumah lo, ya
“Lo harus pulang! Minta maaf ke adik lo!” tajam Rian.
“Besok, deh, minta maafnya. Kalau perlu gue sujud di depan Meng!”
Amanda memberikan tanda agar Rian menyeret Glen cepat. Rian menuruti saja. Dengan pasrah, Glen pun mengikuti Rian. “Kami pulang,” seru Rian dan Amanda bersamaan.
“lya. Hati-hati di jalan,” balas Acha.
Sampai di ambang pintu kamar rawat Acha, Glen masih sempat menolehkan kepalanya, melihat ke arah Acha. “Ingat, slow motion, aja Cha! Jangan rubu-rubu!”
Malam semakin larut, Acha sama sekali tak bisa fokus. Tatapannya juga tak lepas dari Iqbal yang tengah sibuk belajar. Bahkan sejak tadi Iqbal masih mendiamkannya, tak membuka suara sedikit pun, membuat Acha bingung harus apa. Acha memperhatikan sang pacar, tangan kiri sibuk memainkan MacBook dan tangan kanan sibuk mencatat di note. Sesekali jemari Iqbal memutar-mutar bolpoinnya, kebiasaan yang tak bisa hilang dari seorang Iqbal sejak dulu. Acha kini bisa melihat sendiri bagaimana sibuknya dan seriusnya Iqbal jika sudah fokus belajar.
“Dekati Iqbal pelan-pelan, Cha. Buka hati dia kembali.” Kata-kata Rian terus terngiang di otak Acha. Ia berniat untuk mengajak Iqbal bicara duluan, tapi takut mengganggu.
Acha pun memilih menunggu saja sampai Iqbal tidak sibuk. Walaupun sebenarnya sudah lebih dari tiga jam Acha menunggu Iqbal seperti itu, tak lepas dari semua buku-bukunya dan MacBook-nya.
Tubuh Acha langsung menegak ketika Iqbal menutup MacBook. Acha mulai bertanya-tanya. Apakah Iqbal sudah selesai belajar? Cowok itu masih fokus dengan catatannya, seolah sedang membaca kembali rangkuman materi yang dibuatnya.
Acha mencoba untuk memberanikan diri. Acha perlahan turun dari kasur, memakai sandal jepitnya. Acha berjalan mendekati Iqbal dengan menggeret infus berserta tiang infusnya. Acha berhenti tepat di sebelah sofa yang sedang di duduki Iqbal. Cowok itu masih belum sadar kehadiran Acha yang di dekatnya. Acha menghela napas panjang, menahan kegugupannya. “Iqbal,” panggil Acha pelan.
Seketika Iqbal menoleh ke Acha, tatapan Iqbal terlihat tenang seperti biasanya. Cowok itu hanya diam, tak berniat membalas Panggilan Acha, seolah sedang menunggu lanjutan dari ucapan Acha.,
Acha menggigit bibir dalamnya, nyalinya sedikit menciut. Ayo, Cha! Jangan takut! Acha terus-terusan melawan dan menyemangati dirinya, “Acha boleh duduk di samping Iqbal?” pinta Acha sangat hati-hati.
Iqbal menggeser tubuhnya saat itu juga sebagai jawaban dari Permintaan Acha. Acha merasakan jantungnya semakin berdegup cepat sekaligus sangat senang melihat Iqbal tidak menolak permintaannya.
Acha segera melepaskan infusnya dari tiang, kemudian duduk di samping Iqbal dengan tangan kiri yang masih mengangkat infusnya,
Acha bertambah gugup, ia menoleh ke Iqbal yang kembali fokus dengan buku catatan di tangannya, Acha meremas tangan kanannya yang tmulai berkeringat dingin. Ia sungguh tidak tahu harus memulai dari mana dan harus berkata apa? Acha memeras otaknya cepat, mencari bahan percakapan yang bisa ia utarakan ke Iqbal. Minta maaf? Ya, ittulah yang harus Acha lakukan sekarang.
Acha menatap ke depan meja, mengumpulkan semua keberaniannya, “Maafin Acha, ya, Iqbal. Acha benar-benar minta maaf,” lirih Acha, la tak berani menghadap ke Iqbal saat ini.
Iqbal menghentikan aktivitas belajarnya saat itu juga, tatapannya berubah kosong. Ia masih diam, baik bibirnya maupun tubuhnya.
“Acha bakalan tunggu sampai Iqbal mau bicara lagi sama Acha, Acha bakalan tunggu sampai Iqbal mau maafin Acha dan Iqbal nggak kecewa lagi sama Acha. Acha bakalan tunggu,” lanjut Acha, suaranya sedikit bergetar. Acha menahan kedua matanya yang mulai memanas. Jujur, Acha tidak mau menangis. Acha benar-benar menahannya.
“Kalau Iqbal mau marah ke Acha, nggak apa-apa. Iqbal mau luapin semua amarahnya, Acha siap, kok. Acha janji, Acha nggak bakal nangis. Acha terima semua, karena Acha tau Acha berbuat salah ke Iqbal dan udah sakiti Iqbal.”
Iqbal menghela napas, perlahan menutup buku catatannya, tak ada keinginan untuk melanjutkan belajarnya lagi. Meskipun Iqbal diam sedari tadi, ia mendengarkan semua perkataan Acha baik-baik.
Acha perlahan menoleh ke Iqbal, cowok itu masih di posisinya semula, tanpa melihat Acha sedikit pun. Acha berusaha untuk tidak meneteskan air matanya walau tubuhnya semakin bergetar. Ia sudah berjanji ke Iqbal. Acha perlahan memberanikan diri menyentuh telapak tangan kiri Iqbal, menggenggamnya. Acha menunggu sebentar, sampai ia yakin Iqbal tidak menepis genggamannya.
Acha bernapas lega, Iqbal menerima genggaman tangannya, meskipun Iqbal tidak membalas genggaman Acha. Acha berusaha untuk tidak sedih. “Iqbal berhenti salahin diri Iqbal, ya. Acha yang salah di sini. Acha janji, Acha nggak bakal ulangi lagi kesalahan Acha seperti ini. Acha akan hubungi Iqbal, Acha akan kasih tau Iqbal langsung kalau setjadi apa-apa sama Acha,” janji Acha sungguh-sungguh.
Acha mengeratkan genggaman tangannya, ia dapat merasakan tangan Iqbal yang semakin dingin. “Jangan kecewa lagi sama diri Iqbal, ya. Iqbal udah jadi pacar yang sangat baik untuk Acha dan Acha selalu bahagia selama jadi pacar Iqbal. Bahkan saat ini pun Acha bahagia lihat Iqbal temani Acha,” ungkap Acha tulus.
Acha menarik napas pelan-pelan, kegugupannya sedikit berkurang, Acha berhasil melawan rasa takutnya. Melakukan semua yang disarankan oleh Rian dengan hati-hati. Acha perlahan melepaskan genggaman tangannya dan berganti menyentuh rambut Iqbal, membelainya pelan “Maafin Acha, ya, udah buat Iqbal kecewa. Acha sayang Iqbal.”
Acha kembali ke kasur setelah mengutarakan perasaannya ke Iqbal. Dengan hasil seperti yang Acha duga. Iqbal masih saja diam, tak membalas sedikit pun perkataan Acha. Jujur Acha sedih, namun ia meyakinkan dirinya bahwa Iqbal pasti butuh waktu. Acha hanya perlu sabar dan terus berusaha untuk membuka hati Iqbal kembali. Acha juga bangga dengan dirinya karena sedari tadi ia berhasil tidak menangis.
Acha menatap Iqbal lagi, sebelum membaringkan tubuhnya. “Iqbal, Acha tidur, ya. Selamat malam,” pamit Acha. Lagi-lagi Iqbal bergeming, Acha memaksakan senyumnya, berusaha menguatkan hatinya.
Perlahan, Acha membaringkan tubuhnya dan menarik selimut. Setelah berdoa dalam hati, Acha menutup kedua matanya. Ia cukup lelah menangis seharian. Tubuh dan pikirannya butuh istirahat. Semoga Iqbal segera maafin Acha.
“Iqbal dapat mendengar dengkuran halus Acha, gadisnya sudah terlelap. Iqbal perlahan menoleh ke Acha. Untuk pertama kalinya sejak kembali ke rumah sakit, Iqbal melihat Acha. Perlahan Iqbal berdiri, berjalan mendekati Acha. Ia berdiri di samping kasur Acha, menatap Acha dengan sangat lekat, bukan tatap dingin seperti tadi.
“Mama….”
Iqbal tertegun, gadis itu masih memejamkan matanya, sepertinya Acha sedang mengigau. Kedua mata Iqbal tak bisa lepas dari paras cantik Acha. Iqbal dapat mendengar napas Acha yang teratur, jarang sekali Iqbal bisa melihat Acha sedang tidur seperti ini.
Iqbal sedikit membungkukkan tubuhnya, tangannya merapikan beberapa helai rambut Acha yang menutupi wajahnya, kemudian berganti menyentuh puncak rambut Acha, membelainya selembut mungkin.
Seketika perasaan Iqbal mulai bergejolak, mendengar tangisan Acha dan mendengar permintaan maaf Acha. Tentu saja, Iqbal tidak tega, hatinya ikut sakit. Namun, ketika hatinya menyuruh untuk mendekat dan menenangkan Acha, tubuhnya menolak keras. Seolah logikanya sedang mendominasi, seolah tubuhnya berkata bahwa Acha harus menyadari kesalahannya terlebih dahulu.
Iqbal menghela napasnya pelan, hatinya sedang memberi tahu tubuhnya sendiri, betapa beruntungnya ia memiliki Acha. Kedua sudut bibir Iqbal terangkat kecil, membentuk sebuah senyuman. Paras Acha Saat ini seperti peri kecil yang menggemaskan.
Iqbal pelan-pelan mendekatkan wajahnya, menerpakan napas hangatnya ke wajah Acha. Detik berikutnya, Iqbal menempelkan bibirnya ke kening Acha, cukup lama. Iqbal memberikan sebuah kecupan lembut untuk Acha. “Selamat malam, Natasha.”
Penasaran dengan kelanjutan kisahnya? Tenang, Kamu bisa mendapatkannya di Jakarta Book Review Store. Untuk pembelian bisa klik di sini.
Jakarta Book Review memiliki banyak koleksi buku bermutu lain yang tentunya dengan harga terjangkau, penuh diskon, penuh promo, dan yang jelas ada hadiah menariknya. Tidak percaya? Buktikan saja.