Hancur
TATAPAN Iqbal semakin kosong, tubuhnya lemas dan semua energinya seperti tersedot entah ke mana. Iqbal merasa separuh hidupnya sudah hilang. Papa yang sangat disayanginya dan satu-satunya orangtua yang dimilikinya telah pergi meninggalkannya untuk selamanya.
Rasa bersalah di hati Iqbal terus mengguncang, kata ‘andai’ terus berputar-putar di pikirannya tanpa bisa dihentikan. Iqbal sangat menyesal tidak bisa berada di samping papanya di saat-saat terakhir.
“Papa.” Kata itu yang selalu keluar di bibir Iqbal. Dia tidak bisa berhenti menyebut papanya. Meskipun diam, otaknya pun terus memanggil papanya.
Glen, Rian, bahkan Acha memilih menginap di rumah Iqbal sejak semalam. Mereka belum berani untuk menemui Iqbal langsung. Ingin memberikan Iqbal waktu lebih untuk menenangkan diri. |
“Acha, bangun,” panggil Ify tidak tega melihat Acha yang sejak semalam tidur di depan pintu kamar Mr. Bov, Acha tidak mau pindah ke kamar Ify karena takut terjadi apa-apa dengan Iqbal.
Acha membuka kedua matanya pelan-pelan, pinggangnya sedikit nyeri karena posisi tidurnya yang duduk. “Kak Ify,” lirih Acha.
“Lo pindah ke kamar gue. Gantian gue yang tunggu di sini,” suruh Ify. Acha tersenyum kecil sembari menggeleng.
“Iqbal belum mau keluar, Kak?” tanya Acha memastikan. Takutnya Iqbal sudah keluar waktu ia tidur.
“Iqbal belum keluar sama sekali, Cha. Lebih baik lo tidur sebentar di kamar gue. Kalau Iqbal udah mau keluar, gue panggil lo,” jelas Ify.
Acha lagi-lagi menggeleng, hatinya terasa berat untuk meninggalkan Iqbal. “Acha tunggu Iqbal, Kak. Sampai Iqbal keluar.”
Ify bejongkok di depan Acha. “Lantainya dingin, Cha. Nanti lo capek juga.”
“Acha nggak capek, Kak.”
“Atau lo mau tidur di kamar Iqbal? Gue bangunkan Glen dan Rian setelah ini.”
“Acha benar nggak apa-apa, Kak Ify. Acha di sini aja.”
Ify menghela napas pelan, sepertinya memaksa dengan cara apa pun Acha tetap tidak akan mau. “Kalau gitu, lo mandi dan sarapan dulu, ya. Gue udah janji ke mama lo semalam untuk ingatkan lo sarapan.”
Acha segan untuk menolak lagi. Perintah Ify kali ini diangguki oleh Acha. “Iya, Kak,” jawab Acha. Ia segera berdiri. “Acha mandi sebentar.”
“Iya, gue juga mau antar makan buat Iqbal.”
Acha berjalan menuju kamar Ify untuk mandi. Sedangkan Ify memilih masih berdiri di depan pintu papanya. Jujur, Ify sangat khawatir dengan kondisi adiknya itu.
Ify mendekatkan telinganya ke pintu, ingin memeriksa siapa tahu bisa mendengar pergerakan Iqbal di dalam. Namun, tidak ada suara apa pun yang bisa Ify dengar, di dalam sangat sunyi seperti tidak ada orang. “Apa Iqbl bisa tidur semalam?”
Ify membawa nampan berisikan sarapan untuk Iqbal. Ify mengembuskan napasnya pelan-pelan, menguatkan diri untuk bertemu dengan adiknya. Ify mengetuk pintu dengan hati gelisah. “Iqbal,” panggil Ify.
Tidak ada jawaban dari dalam. Ify menunggu sebentar. “Iqbal, Kakak bawa sarapan. Ayo makan dulu,” tambah Ify.
Tetap tidak ada jawaban seperti kemarin saat Ify memanggil Iqbal. Hati Ify semakin berdetak cepat, khawatir. “Iqbal, Kak Ify masuk, ya,” ucap Ify memutuskan.
Perlahan, Ify membuka knop pintu kamar papanya dan membukanya pelan-pelan. Ify terpaku sesaat ketika melihat sosok adiknya duduk bersandar di pinggiran kasur dengan memeluk foto papa dan mamanya. Hati Ify berdesir hebat, tidak tega. Ify menguatkan dirinya sekali lagi, mengingat terus perkataan kakak pertamanya, dia harus bisa memberikan kekuatan untuk Iqbal.
“Iqbal, ayo makan.” Ify berjalan lebih masuk. la mengambil duduk di depan Iqbal, memperhatikan adiknya yang tertunduk dengan tatapan lebih kosong. Ify yakin Iqbal tidak tidur semalam. “Iqbal,” panggil Ify.
Tak ada jawaban dan pergerakan apa pun. Ify semakin tidak tega melihat wajah Iqbal yang begitu pucat. “Ayo makan,” ajak Ify untuk kesekian kalinya.
Ify menunggu, tetap saja Iqbal tak mau menjawab. “Makan sedikit aja, biar nggak sakit,” bujuk Ify.
Lagi dan lagi tidak ada jawaban dari Iqbal. Cowok itu masih bernapas dengan normal, masih mengerjap dengan normal, tapi jiwanya seolah sudah tidak ada di tubuhnya. Seperti tidak ada keinginan untuk melakukan apa pun.
Ify menaruh nampannya, mengambil piring yang berisikan makanan kemudian menghadap ke Iqbal kembali. “Kak Ify suapin, ya,” ucap Ify terus mencoba.
Tanpa menunggu jawaban Iqbal, Ify menyendokan nasi dan Menyodorkannya ke mulut Iqbal. Namun, saat sendok tersebut akan menyentuh mulut Iqbal, tangan Iqbal bereaksi cepat, menepis kasar Pergelangan tangan Ify, membuat Ify tersentak kaget. Sendok di tangan ify langsung terlempar jauh.
“Iqbal!” pekik Ify. Kedua matanya terbuka sempurna, sangat terkejut,
Ify menatap Iqbal, tubuhnya langsung menegang ketika melihat Iqbal sudah menatapnya dengan tajam. Bibir Ify bergerak tak pasti, bingung harus memberikan respons bagaimana. Untuk pertama kalinya Ify melihat Iqbal menyorotinya setajam ini. “Kak Ify ambilkan sendok lagi.” Hanya itu yang bisa Ify katakan. Ify hendak berdiri, namun….
“Semua gara-gara lo, Kak.”
Deg!
lfy membeku di tempat, tak bisa berdiri. Sorot mata Iqbal bertambah tajam dan suaranya bahkan terdengar begitu dingin untuknya. Ify mencoba untuk tetap tenang. “Iqbal, Kak Ify bi—”
“Gara-gara lo, gue nggak bisa bertemu Papa,” lanjut Iqbal.
Suara Iqbal berhasil membuat Ify merinding hebat. Ify tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Iqbal, tapi Ify bisa tahu dari tatapan Iqbal bahwa adiknya saat ini sedang meluapkan amarahnya yang bisa saja tidak bisa dikendalikan.
“Kak Ify bisa jelasin….” Ify bingung harus menjelaskan dari mana jemarinya meremas-remas gelisah.
“Kenapa lo harus sembunyikan penyakit Papa dari gue?”
“Papa nggak pengin buat lo khawatir, Bal.”
“Omong kosong!” tajam Iqbal.
Ify memaksa untuk tetap tersenyum, melawan rasa takutnya yang perlahan menyerang. “Delapan bulan yang lalu, kondisi jantung Papa kembali memburuk. Saat itu, gue memutuskan untuk temani Papa terus, Gue pengin bilang ke elo, sangat ingin. Setiap hari gue bujuk Papa agar lo diberi tahu, tapi Papa terus menolak. Papa sayang sama lo, makanya Papa nggak ingin buat lo khawatir.”
“Berhenti bicara seperti sampah!”
“Iqbal!” seru Ify tercengang dengan perkataan sadis Iqbal kepadanya. Ify dapat melihat satu sudut bibir Iqbal terangkat.
“Lo puas sekarang?” tanya Iqbal tanpa takut.
Ify menghela napas berat, adiknya sudah cukup keterlaluan. “Bukan hanya lo yang sedih karena kepergian Papa, Bal. Gue juga hancur, sama seperti lo,” tegas Ify.
Senyum sinis Iqbal terlihat semakin jelas di paras pucatnya. Ify sekali lagi dibuat merinding karenanya. “Jangan menyamakan. Lebih hancur gue!” terang Iqbal tajam.
“Gue salah karena gue nggak bilang, gue ta—”
“Rasa bersalah lo nggak cukup!” potong Iqbal.
“Bal, Kak Ify tau kondisi lo sekarang sedang rentan. Kak Ify—”
“Kembalikan Papa sekarang!” .
[fy terdiam, amarah Iqbal semakin ke mana-mana, tak terkendali seperti dugaan Ify dari awal. Ify mengepalkan kedua tangannya, mengendalikan emosinya agar tidak terpancing. “Kak Ify minta maaf.” Hanya kalimal itu yang bisa Ify ucapkan.
Senyum sinis Iqbal kembali tergambar, kedua matanya menyorot merah. “Maaf?”
“Kak Ify—” “Maaf lo nggak bisa kembalikan Papa.”
Ify merasakan tubuhnya bergetar, kedua matanya memanas. Hatinya sangat tertohok ucapan Iqbal yang sangat benar. Ucapan maafnya tidak akan bisa mengembalikan papanya.
“Kak Ify minta maaf, Bal.” Tak ada kalimat lain yang bisa Ify pikirkan sekarang. Ia tidak bisa mengelak dan Iqbal berhak marah kepadanya.
Ify menangkap sorot mata Iqbal mulai melemah, berubah sendu. Kedua mata merahnya berkaca-kaca seperti dirinya.
“Gue sejak kecil nggak pernah merasakan kasih sayang Mama. Gue sejak kecil nggak pernah lihat bagaimana wajah Mama. Bahkan, saat Mama pergi, gue nggak bisa mengucapkan perpisahan.” Ify menahan napasnya beberapa saat, memilih mendengarkan luapan amarah Iqbal.
“Sekarang, Papa juga pergi tinggalin gue tanpa pamit. Papa tinggalin gue seperti Mama tanpa mengucapkan perpisahan ke gue. Lo tau rasanya jadi gue sekarang?”
Ify tak bisa menahan bendungan di pelupuknya sekarang. Ia mengangguk-angguk dengan air mata yang perlahan turun. “Gue bukan hancur, saat ini gue berantakan, Kak!” “Kak Ify minta maaf, Iqbal. Iya, Kak Ify yang salah,” aku Ify dengan suara bergetar.
Sorot mata Iqbal kembali menajam. “Andai lo bilang ke gue tentang kondisi Papa sebenarnya, gue bisa luangin banyak waktu buat Papa. Gue bisa buat kenangan lebih banyak bersama Papa. Bahkan, di saat terakhir Papa pengin dengar suara gue, gue nggak ada di sisi Papa. Karena dari awal gue nggak tau apa pun.” Tangan Ify bergerak ingin menyentuh rambut Iqbal, hendak membelai dan menenangkan Iqbal. Namun, tangan Iqbal lebih cepat mencengkeram tangan Ify dengan kuat.
“Kenapa lo buat gue seperti anak nggak berguna?” tajam Iqbal.
Ify merasakan tubuhnya semakin begetar, suara isakannya keluar tanpa bisa ia tahan lagi. “Maafin Kak Ify, Iqbal.”
“Kenapa lo buat gue seperti anak jahat?”
Ify menggeleng cepat. “Lo nggak jahat, Bal, Papa selalu bangga sama semua yang lo capai—”
“Hentikan omong kosong lo!”
Ify meringis, cengkeraman Iqbal di pergelangannya bertambah kuat. “Iqbal, tangan Kakak sakit,” ringis Ify.
Iqbal tak memedulikan, malah semakin mengeratkan cengkeramannya. “Gue berhak tau, Kak. Gue bukan anak kecil, dan lo harusnya tau itu!”
Tangan kiri Ify berusaha melepaskan cengkeraman Iqbal, namun sangat sulit. Kekuatan Iqbal lebih besar darinya. “Iqbal, sakit,” rintih Ify menjadi,
“Dua puluh tahun gue hidup, gue nggak pernah menyalahkan siapa pun karena gue nggak punya Mama dan gue nggak pernah merasa kesepian. Semua itu karena kehadiran Papa. Setidaknya, gue harus membalas kebaikan Papa sebelum Papa pergi, bukan?”
“Lo udah balas semua kebaikan Papa, Bal, dengan menjadi anak kebanggaan Papa.”
“Nggak! Lo buat gue nggak bisa berikan apa pun untuk Papa.”
Ify merasakan panas di pergelangannya semakin menjadi. Ia hampir tidak bisa menahan kerasnya cengkeraman Iqbal. “Iqbal, lepasin dulu tangan Kak Ify,” bujuk Ify.
“Lo nggak pantas jadi kakak gue.”
Deg!
Rasa panas dan sakit di pergelangan Ify seketika hilang, tergantikan dengan rasa sakit yang menusuk di sekujur tubuhnya mendengar pernyataan Iqbal barusan. Ia seolah gagal menjadi kakak untuk Iqbal. Tubuh Ify kembali bergetar, air matanya jatuh lebih deras. “Iqbal!”
Suara teriakan terdengar dari arah pintu. Ify menoleh melihat Acha yang tampaknya mendengar semua ucapan Iqbal kepadanya. Ify menggeleng, memberikan kode agar Acha tidak mendekat. Namun, Acha tidak mendengarkan. Acha langsung masuk menghampiri Ify dan Iqbal.
“Igbal, lepasin cengkeraman Iqbal,” pinta Acha. Kedua tangannya berusaha melepaskan tangan Iqbal dari pergelangan Ify.
“Cha, lo keluar. Gue nggak apa-apa,” ucap Ify memberikan peringatan.
“Nggak, Kak Ify,” tolak Acha masih berusaha.
Ify semakin khawatir, ia menoleh ke Iqbal yang masih menatapnya sangat tajam. Iqbal tampak belum terpengaruh dengan kehadiran Acha.
“Iqbal, lepasin. Kasihan Kak Ify kesakitan,” mohon Acha kedua kalinya
“Cha, ke luar sekarang!” tegas Ify, karena ia tahu jika Acha tetap memaksa ikut campur, Acha akan menjadi santapan amarah Iqbal selanjutmya“Nggak, Acha akan bantu Kak Ify. Iqbal udah keterlaluan.”
Benar saja kekhawatiran Ify. Perlahan cengkeraman Iqbal melonggar dari tangan Ify. Iqbal berganti menatap ke arah ke Acha dengan sorot yang sengit. “Lo bilang apa?”
Semua langsung terdiam, bahkan tangan Acha langsung berhenti bergerak. Acha menatap Iqbal dengan kaget. Tubuhnya merinding melihat sorot kedua mata Iqbal yang diarahkan kepadanya, sangat menakutkan,
“I-Iqbal….”
Ify membuka kedua matanya lebar, terkejut bukan main ketika tangan Iqbal dengan kasar dan cepat menarik kerah baju Acha. “IQBAL!” teriak Ify cemas.
Acha tak bisa bernapas, tarikan dan cengkeraman Iqbal yang ada di lehernya terasa seperti mencekiknya.
“I-Iqbal… Acha nggak bisa napas,” rintih Acha, memukul-mukul tangan Iqbal, namun Iqbal bergeming.
“Lo juga bersalah!” serang Iqbal.
“Iqbal, lepasin! Iqbal, Acha nggak bisa napas!” Ify juga ikut berusaha melepaskan cengkeraman Iqbal, namun sama sekali tak bisa. Iqbal tidak bisa dikendalikan lagi.
“I-Iqbal… tolong lepasin,” pinta Acha, kedua matanya sudah berair menahan kesakitan. |
“Karena lo, Papa nggak bisa dengar suara gue.”
“I-Iqbal… Acha… le-lepasin!”
“Iqbal, Kak Ify mohon. Sadar, Bal!”
“Karena lo, gue nggak bisa bertemu papa gue.”
“I-Iqbal… Acha minta… ma-maaf.” Sakit di leher Acha menjadi. Wajah Acha berubah memerah. Napasnya mulai tersengal-sengal.
Tatapan tajam dan suara dingin Iqbal semakin mendominasi seluruh ruangan. “Kenapa lo lakuin itu?”
Ify menatap Iqbal. Adiknya seperti orang berbeda, bukan Iqbal yang ia kenal, Ify sama sekali tak bisa melepaskan tangan Iqbal dari baju Acha.
“Kenapa lo jatuhin ponsel gue dan buat ponsel gue mati?”
Ify menyentuh pipi Iqbal, berharap adiknya tersadarkan. “Iqbal, lihat Kak Ify!” teriak Ify. Iqbal tidak peduli, fokusnya sekarang hanya ke Ach., Meluapkan semuanya ke Acha.
“IQBAL, LEPASIN! ACHA KESAKITANIIt” jerit Ify luar biasa takut.
Ify kembali menatap Acha, seluruh wajah Acha memerah, gadis itu merintih kesakitan. Ify dengan cepat berdiri, ia harus meminta pertolongan,Ify berlari keluar, meninggalkan Iqbal dan Acha.
“Iqbal… ma-maaf. Acha… Acha minta maaf.”
“Gue nggak butuh maaf dari lo!”
“I-Igbal… sa-sakit…”
“Lebih sakit gue!”
“I-Igbal… Acha mo-mohon… lepasin.”
Dengan sekali sentakan, Iqbal melepaskan cengkeramannya dari kerah baju Acha. Saat itu juga Acha terbatuk hebat. Acha memegang lehernya yang terasa panas. Acha benar-benar tak percaya dengan yang dilakukan oleh Iqbal kepadanya. “Lo pergi,” suruh Iqbal dingin.
Acha menarik napas sebanyak mungkin dan menghelanya pelan. Acha berusaha menenangkan dirinya dan mengembalikan kesadarannya. Setelah itu, Acha memberanikan diri untuk menghadap ke Iqbal lagi.
“Iqbal, Acha tau Iqbal sekarang lagi kacau. Acha nggak akan ke mana-mana. Acha akan selalu ada di samping Iqbal.” Acha seolah tak mempermasalahkan perlakuan kasar Iqbal takut. Acha seolah memakluminya. “Lo pergi!” “Iqbal, Acha minta maaf, ya.” Tatapan Iqbal kembali menajam dan berhasil membuat Acha merinding kesekian kalinya. “Lo nggak pantas jadi pacar gue.”
Penasaran dengan kelanjutan kisahnya? Tenang, Kamu bisa mendapatkannya di Jakarta Book Review Store. Untuk pembelian bisa klik di sini.
Jakarta Book Review memiliki banyak koleksi buku bermutu lain yang tentunya dengan harga terjangkau, penuh diskon, penuh promo, dan yang jelas ada hadiah menariknya. Tidak percaya? Buktikan saja.