Coba bayangkan bahwa Anda termasuk dalam tim manajemen Boeing pada tahun 1952. Para insinyur Anda mempunyai ide membangun pesawat jet yang besar untuk pasar komersial. Perusahaan Anda sebenarnya tidak mempunyai pangsa pada pasar komersial dan usaha peluncuran pesawat sebelumnya di pasar komersial ini mengalami kegagalan. Perusahaan Anda membuat pesawat ini terutama untuk keperluan militer (B-Flying Fortress, B-29 Superfortress, B-52 jet bomber) dan empat per lima pelanggan bisnis Anda berasal dari Angkatan Udara. Lebih lanjut lagi, laporan dari bagian pemasaran menunjukkan perusahaan penerbangan di Amerika Utara dan Eropa telah menekankan bahwa mereka kurang tertarik dengan ide pesawat jet komersial Boeing. Perusahaan penerbangan itu sudah anti-Boeing” pada suatu periode, ketika Boeing membangun bomber besar.” Tidak ada perusahaan pesawat terbang lain yang setuju bahwa pesawat terbang jet mempunyai pasar komersial. Perusahaan pesaing Boeing, Douglas Aircraft percaya bahwa pesawat dengan baling-baling akan terus menguasai pasar pesawat komersial. Perusahaan Anda masih trauma dengan peristiwa yang membuat Anda terpaksa merumahkan para pegawai yang semula sebanyak lima puluh satu ribu pegawai menjadi hanya tinggal tujuh ribu lima ratus pegawai di akhir Perang Dunia ll. Dan, untuk kebutuhan vital akan komponen pesawat, perusahaan Anda memperkirakan biayanya naik tiga kali lipat dari rata-rata laba sesudah pajak selama lima tahun yang akan datang—secara kasar seperempat dari seluruh kekayaan—digunakan untuk mengembangkan prototipe pesawat jet tersebut. (Beruntung, Anda percaya bahwa perusahaan dapat menawarkan pesawat jet tersebut kepada pihak militer sebagai pesawat pengisi bahan bakar pesawat jet tempur di udara, tetapi perusahaan Anda masih memerlukan dana sebesar $15 juta untuk mengembangkan prototipe pesawat tersebut.)
Apa yang harus Anda lakukan?
Jika Anda sebagai manajemen Boeing, Anda akan mengatasi rintangan dan menyetujui tujuan besar yang ambisius tersebut untuk memantapkan posisi perusahaan Anda sebagai produsen utama industri pesawat terbang. Anda membangun pesawat jet dan menyebutnya sebagai Pesawat Boeing 707. Anda juga membawa dunia penerbangan komersial ke abad pesawat jet.
Sebaliknya, Douglas Aircraft (yang kemudian menjadi McDonnell – Douglas, yaitu perusahaan pembanding Boeing dalam penelitian kami) membuat keputusan untuk tetap mempertahankan memproduksi pesawat terbang baling-baling sambil menunggu perkembangan pasar pesawat Jet komersial. Douglas menunggu dan akhirnya melihat Boeing telah terbang mendahuluinya dan menguasai pangsa pasar komersial. Bahkan sampai tahun 1957—yaitu tahun, yang menurut Business Week, di mana perusahaan penerbangan “segera mengganti pesawat terbang baling-baling menjadi pesawat jet.”—Douglas tetap tidak mempunyai pesawat jet yang siap dipasarkan, Akhirnya pada tahun 1958 McDonnell-Douglas memperkenalkan pesawat jet DC-8, tetapi tidak pernah bisa mengejan pesawat Boeing.
Mungkin Anda berpikir, “Bahwa Boeing sedang beruntung? Boeing nampaknya memang pintar melihat prospek di masa depan, tetapi untuk mampu mengantisipasi prospek di masa mendatang dan berhasil merealisasikannya bukan merupakan hal yang mudah semudah membuat kesalahan.” Benar sekali. Dan kami cenderung setuju, kecuali untuk satu hal: Boeing mempunyai sejarah yang panjang untuk tetap memegang teguh prinsip/ideologi secara konsisten mengenai obsesi Boeing menjadj perusahaan besar dan mengejar kesempatan yang besar. Coba lihat jauh ke belakang pada awal tahun 1930-an, kita dapat melihat Boeing telah membuat komitmen besar ketika perusahaan tersebut menetapkan tujuannya menjadi pemasok utama pesawat-pesawat militer dan berani memproduksi pesawat militer P-26 dan kemudian bertaruh ketika memproduksi pesawat B-17 Flying Fortress.
Pada tahun 1950-an, Boeing memproduksi pesawat jet tipe 707, Selama pengembangan pesawat jet 727 pada awal tahun 1960-an, Boeing mengubah permintaan pelanggan potensial (Eastern Airlines) menjadi kenyataan untuk memproduksi pesawat jet yang bagus, berpresisi tinggi dan permintaan tersebut hampir mustahil dapat dipenuhi—oleh para insinyur Boeing; Membangun pesawat jet yang dapat mendarat pada landasan 4-22 di Bandara La Guirda (panjangnya hanya 4.860 kaki — jauh lebih pendek dari yang diperlukan untuk mendaratkan pesawat jet penumpang pada umumnya) dan mampu terbang nonstop dari New York ke Miami serta mempunyai badan lebar yang mampu memuat enam kursi berjajar ke samping, mempunyai kapasitas 131 penumpang dan sesuai dengan standar Boeing yang tinggi, tahan benturan dan tidak mudah rusak. Para insinyur Boeing membuat terobosan yang signifikandengan memproduksi pesawat Boeing tipe 727—terutama karena mereka tidak mempunyai pilihan lain.
Sebaliknya, Douglas Aircraft terlambat merespon permintaan pasaf yang pesat dan tidak memproduksi DC-9 sampai dua tahun sesudab Boeing memproduksi Boeing 727, yang membuat Douglas jauh ketinggalan dari Boeing di pasar jet komersial. Dan dalam perkembangan selanjutnya, Boeing bahkan berhasil memproduksi pesawat jet yang mampu mendarat pada landasan yang lebih pendek lagi, yaitu Boeing 737. Secara teoritis, Douglas mestinya dapat mengejar ketinggalannya dari Boeing dalam memproduksi pesawat jet komersial pesanan Eastern Airlines, tetapi Douglas tidak melakukannya. (Perkiraan awal permintaan pesawat Boeing 727 mencapai tiga ratus pesawat. Namun kenyataannya Boeing mampu menjual pesawat Boeing 727 sebanyak seribu delapan ratugs pesawat, dan menjadi armada penerbangan jarak pendek untuk industri perusahaan penerbangan).
Pada tahun 1965, Boeing membuat tindakan paling berani yang belum pernah ada sepanjang sejarah bisnis penerbangan; keputusan untuk memproduksi jumbo jet 747, suatu keputusan yang hampir membunuh perusahaan. Pada rapat Dewan Direksi yang sangat menentukan, gomisaris Boeing, William Allen, memberi respon dan menguraikan kepada anggota dewan direksi bahwa “jika program pesawat Boeing 747 tidak diputuskan sekarang, kita akan selalu kembali ke masa lalu.”
“Kembali ke masa lalu?” Allen menegaskan. “Jika Boeing mengatakan kami akan membuat pesawat, kami akan membuatnya walaupun akan menyerap seluruh sumber daya perusahaan!”
Sungguh, seperti juga pada saat membangun pesawat P-26, B-17, 7107, dan 727, Boeing telah memegang komitmen yang tidak mungkin ditarik kembali untuk memproduksi pesawat Boeing 747-secara finansial, psikologi, dan publisitas. Selama masa pengembangan pesawat Boeing 747, seorang pengunjung Boeing memberi komentar, “Anda tahu, Mr. Allen, (Boeing) memuat banyak sekali penumpang. Apa yang akan terjadi jika pesawat Boeing 747 yang pertama meledak pada saat meluncur (takeoff)?” Allen menjawab, “ Saya lebih suka berbicara tentang sesuatu yang menyenangkan—seperti perang nuklir.””
Sekali lagi, seperti pada DC-8 dan DC-9, lawan Boeing, McDonnel Douglas terlambat memutuskan untuk memproduksi pesawat jumbo jet dan mengejar ketinggalannya dari Boeing. Pada saat McDonnell Douglas merespon pasar dengan memproduksi pesawat jet DC-10, hal itu sudah terlambat dan ketinggalan sehingga tidak mampu menyamai posisi pasar pesawat Boeing 747.
TUJUAN BESAR YANG AMBISIUS: MERUPAKAN SUATU MEKANISME YANG MAMPU MENDORONG KEMAJUAN
Boeing merupakan suatu contoh yang bagus bagaimana perusahaan visioner seringkali mempunyai misi yang berani—atau yang kami lebih suka menyebutnya dengan TUJUAN BESAR YANG AMBISIUS atau BHAG (“Big Hairy Audicious Goals”)—yaitu suatu mekanisme bertenaga yang mendorong kemajuan. Suatu Tujuan Besar yang Ambisius bukan merupakan satu-satunya mekanisme yang bertenaga untuk mendorong kemajuan, karena tidak semua perusahaan visioner menggunakan BHAQ vecara ekstensif (misalnya, 3M dan HP lebih suka percaya pada mekanisme lain untuk menstimulasi kemajuan, yang akan kami bahas pada bab berikutnya). Akan tetapi, kami menemukan lebih banyak bukti dari mekanisme yang bertenaga ini di perusahaan-perusahaan visioner yang hanya menemukan sedikit bukti tentang penggunaan mekanisme ini di perusahaan pembanding dalam penelitian kami. Dalam suatu kasus kami menemukan bukti bahwa perusahaan pembanding banyak menggunakan BHAG. (Lihat Tabel A.5 di Lampiran.3).
Semua perusahaan mempunyai tujuan. Tetapi ada perbedaan antara semata-mata mempunyai tujuan dan menjelaskan tujuan yang besar dan berisiko—seperti mendaki sebuah gunung yang besar dan tinggi. Coba pikirkan misi penerbangan ke bulan pada tahun 1960-an. Presiden Kennedy dan penasihatnya, sebelum pergi ke suatu konferensi sudah mempersiapkan konsep seperti “Silahkan menambah program ke bulan kami” atau pernyataan-pernyataan sejenisnya. Keberhasilan yang diperkirakan oleh para ilmuwan yang paling optimis dalam misi penerbangan ke bulan pada tahun 1961 adalah sebesar lima puluh-lima puluh dan pendapat orang-orang yang paling ahli justru lebih mengarah ke pesimis. Sungguh, namun itulah adanya, Kongres menyetujuinya (untuk menbiayai sebesar $549 juta dalam waktu dekat dan lebih dari miliaran dollar lagi untuk jangka waktu lima tahun berikutnya) dengan pengangkatan Kennedy sebagai presiden pada tanggal 25 Mei tahun 1961, “Bangsa ini harus berkomitmen untuk mencapai tujuan, sebelum dekade ini lewat, mendaratkan manusia di bulan dan dapat kembali ke bumi dengan selamat” Rintangan-rintangan yang timbul dapat diatasi dengan suatu komitmen yang berani, sehingga kejadian yang memalukan dapat dihindari. Itu merupakan bagian dari mekanisme yang menjadikan Amerika sebagai negara berkuasa yang sebelum tahun 1950-an masih merasa kebingungan untuk menjalankan program-program besar. Sesudah tahun 1950-an, di era presiden Eisenhower, Amerika maju dengan pesat.
Suatu Tujuan yang Jelas—yang Mampu Mendorong
Seperti halnya misi penerbangan ke bulan, tujuan spektakulernya yang penar adalah yang jelas, mampu mendorong, dan merupakan tujuar yang unik—tujuan tersebut mampu memberikan semangat kepada tim program penerbangan ke bulan mempunyai garis akhir yang jelas; sehingga organisasi dapat mengetahui kapan program tersebut mencapal tujuannya; orang-orang suka menebak garis akhirnya.
Misi penerbangan ke bulan tidak memerlukan komite yang menghapiskan waktunya sampai berjamjam hanya untuk menjelaskan sesuatu yang bertele-tele, yang tidak mungkin mengingat tentang “pernyataan nisi’. Tidak, tujuan itu sendiri—gunung yang akan didaki—merupakan fujuan yang mudah dipahami, sehingga mendorong mencapai kebenaran dalam dirinya, yang dapat dinyatakan dengan seratus cara yang berbeda, dan karenanya mudah dipahami oleh setiap orang. Ketika suatu ekspedisi untuk mendaki gunung Everest direncanakan, tidak dibutuhkan tiga halaman “pernyataan misi” yang berbelit-belit untuk menjelaskan apa itu Gunung Everest. Pikirkan tentang organisasi Anda. Apakah Anda mempunyai pernyataan yang berbelit-belit, apakah Anda masih belum menstimulasi tujuan yang berani seperti mendorong misi pergi ke bulan atau misi mendaki Gunung Everest, atau Tujuan Besar yang Ambisius seperti pada bab ini? Sebagian besar pernyataan perusahaan yang kami lihat, sedikit/tidak mengarahkan perusahaan/organisasi untuk maju ke depan. (walaupun beberapa perusahaan berusaha untuk mempertahankan ideologi intinya). Untuk menstimulasi kemajuan, sungguh, kami berusaha mendorong Anda memikirkan suatu pernyataan yang jauh melebihi Pernyataan-pernyataan tradisional dan mempertimbangkan mekanisme bertenaga dari tujuan yang spektakuler.
Untuk merefleksikan tantangan yang dihadapi oleh sebuah Perusahaan seperti General Electric, CEO Jack Welch menyatakan bahwa langkah pertama—sebelum langkah-langkah lainnya—adalah “mendefnisikan masa depannya secara luas dan jelas. Anda membutuhkan suatu hesan yang menarik perhatian, sesuatu yang besar, tetapi sederhana dan mudah dimengerti.” Pesan seperti apa? General Electric menyampai pesan seperti: “Menjadi nomor satu atau nomor 2 di setiap pasar yang kami layani dan melakukan revolusi dari perusahaan kecil menjadi berusahaan yang besar dengan cepat dan tangkas.” Para pegawai GE betul-betul memahami—dan mengingatnya —tujuan spektakuler tersebut. Sekarang bandingkan antara Tujuan Besar yang Ambisius dari GE dengan pernyataan visi Westinghouse pada tahun 1989 yang sulit dimengerti dan diingat.
Persoalannya bukanlah bahwa GE mempunyai tujuan yang “benar” dan Westinghouse mempunyai tujuan yang “salah”. Permasalahannya adalah tujuan General Electric jelas, mendorong, dan lebih mendorong kemajuan, seperti misi penerbangan ke bulan. Bila suatu perusahaan mempunyai tujuan spektakuler yang benar atau bila tujuan Besar tersebut menyebabkan orang-orang bergerak menuju arah yang benar, maka tidak perlu lagi dipertanyakan, tetapi jika tujuan tersebut tidak menyebabkan orang bergerak menuju arah yang benar, maka mereka kehilangan inti yang esensial. Sungguh, hal yang esensial dari Tujuan Besar yang Ambisius lebih mudah ditangkap dalam suatu pertanyaan seperti berikut: “Apakah pernyataan tujuan tersebut mampu mendorong kemajuan ke depan? Apakah pernyataan tujuan tersebut mampu menciptakan momentum? Apakah pernyataan tujuan tersebut mampu mendorong orang bekerja untuk mencapai tujuan? Apakah pernyataan tujuan tersebut mampu membuat orang memperoleh hasilnya? Apakah mereka merasa pernyataan tujuan tersebut mampu memberi stimulasi, mampu mempertahankan kehadiran perusahaan, dan mampu melakukan petualangan? Apakah pernyataan tujuan tersebut mampu menempatkan orang-orang berbakat dan berenergi ke dalam perusahaan? (CATATAN: Itu tidak berarti suatu perusahaan visioner mengejar Tujuan Besar yang Ambisius secara acak. Suatu pertanyaan yang sama pentingnya ialah “Apakah pernyataan tersebut sesuai dengan ideologi inti kami?” Hal ini aka? dibahas panjang lebar pada akhir dari bab ini).
Sebagai contoh, mari kita simak kasus Philip Morris versus RJ: Reynolds. Pada tahun 1961, R.J. Reynolds mempunyai pangsa pasaf terbesar (hampir 35 persen), ukuran yang paling besar, dan profitabilitas paling tinggi dalam industri tembakau. Sebaliknya, Philip Morris, berada pada urutan keenam dan hanya menguasai pangsa pasar kurang dari sepuluh persen. Tetapi Philip Morris mempunyai dua hal yang tidak dimiliki perusahaan rokok R.J. Reynold. Pertama, Philip Morris melakw kan reposisi atas pasarnya untuk sigaret wanita yang hanya sedikit dikenal, yang bernama Marlboro. Dengan reposisi tersebut Marlboro akhirnya menguasai pasar umum sigaret dengan maskot cowboy yang terbukti sukses besar. Kedua, Philip Morris mempunyai sumber daya ntuk mencapai tujuan tersebut.
Melalui jalan belakang (diam-diam), Philip Morris menetapkan tujuan Besar yang ambisius bagi perusahaannya supaya menjadi General Motor di industri tembakau.” (kembali pada tahun 1960-an menjadi “General Motor dalam industri tembakau” berarti menjadi pemain yang dominan di tingkat dunia). Philip Morris kemudian memegang komitmennya sendiri untuk mencapai tujuan tersebut dan peringkatnya naik dari peringkat enam menjadi peringkat lima, dari peringkat lima ke peringkat empat, begitu seterusnya sampai akhirnya menggeser posisi pertama yang diduduki oleh R.J. Reynold. Selama periode yang sama, R.J. Reynold menampilkan diri seperti seorang laki-laki tua yang tidak menarik, murung dan tidak jelas tujuannya, dan mendorong ambisinya hanya semata-mata untuk meraih pengembalian yang besar bagi pemegang saham (memaksimumkan kekayaan pemegang saham).
Tentu saja, Philip Morris mengalaminya/meraih sukses dengan lebih mudah daripada R.J. Reynold: Akan jauh lebih termotivasi jika dimulai dari belakang dan menjadi perusahaan raksasa yang terkenal—seperti yang terjadi pada David versus Goliath—tinggal menempel label nomor satu. Merupakan hal yang sangat menarik melawan Goliath! Bahkan akan lebih menarik lagi kalau bisa mengalahkannya. Fakta menunjukkan bahwa di antara perusahaan rokok besar lainnya di Amerika pada tahun 1960-an, hanya Philip Morris yang menetapkan tujuannya untuk mengalahkan Goliath dan menjadi General Motornya industri rokok. Dengan keseriusannya mencapai ambisi tersebut, sebagai peringkat keenam perusahaan rokok di Amerika yang berada jauh di bawah dominasi perusahaan lainnya, semangatnya tidak mengecil untuk Mencapai keberhasilan. Tentu saja, apa yang dilakukan Philip Morris Menurut pandangan model strategi perencanaan yang rasional merupakan kesombongan yang bodoh, tidak mempunyai pandangan yang bijaksana. Kami (peneliti) kadang-kadang menggunakan kasus Philip Morris (nama Perusahaan tersebut saya samarkan) sebagai contoh kepada para tahasiswa MBA jurusan manajemen strategi sekolah bisnis. Hampir dak satu pun dari mereka berpendapat bahwa perusahaan tersebut akan menjadi perusahaan yang besar; seorang mahasiswa bahkan hengatakan, “Perusahaan tersebut tidak mempunyai strategi aset yang baik dan tidak kompeten; posisi perusahaan tersebut pasti tidak akan berubah,” Tentu saja, kalau mengikuti pendapat para mahasiswa MBA ia, apa yang dilakukan Philip Morris adalah salah, dan perusahaan tersebut sudah lama dilupakan (kenyataannya Philip Morris justry berjaya) dan kami tidak akan menulis masalah Philip Morris dalam buku ini apabila Philip Morris mengikuti pendapat para mahasiswa Tetapi, andaikata Philip Morris tetap berpegang pada posisinya dan tidak menantang Goliath, kami juga tidak akan menulis masalah terseby, dalam buku ini.
Penasaran dengan kelanjutannya? Tenang, Kamu bisa mendapatkan bukunya di Jakarta Book Review Store. Untuk pembelian bisa klik di sini.
Jakarta Book Review memiliki banyak koleksi buku bermutu lain yang tentunya dengan harga terjangkau, penuh diskon, penuh promo, dan yang jelas ada hadiah menariknya. Tidak percaya? Buktikan saja.