Luar
Berjalan kaki berarti tidak berada dalam ruangan, tetapi di luar, ‘di udara terbuka’, seperti kata orang. Berjalan kaki menyebabkan pembalikan logika penduduk kota, dan bahkan pembalikan kondisi kita yang paling lazim.
Ketika Anda pergi ‘ke luar’, itu selalu untuk berpindah dari satu ‘di dalam’ ke ‘di dalam’ yang lain: dari rumah ke kantor, dari tempat Anda ke toko terdekat. Anda pergi ke luar untuk mengerjakan sesuatu di tempat lain. Luar merupakan sebuah transisi: sesuatu yang memisahkan; nyaris sebentuk rintangan antara sini dan sana. Akan tetapi, rintangan yang tidak memiliki nilainya sendiri. Anda berhasil pergi dari tempat Anda ke stasiun kereta api dalam segala cuaca, dengan badan yang diburu-buru, benak yang masih setengah dipenuhi detail-detail rumah tangga tetapi sudah diproyeksikan ke berbagai kewajiban pekerjaan, kaki melangkah cepat sementara tangan dengan gugup memeriksa saku-saku untuk memastikan tidak ada yang terlupa. Luar nyaris belum ada: ia seperti sebuah lorong pemisah yang besar, sebuah terowongan, sebuah ruang kedap yang amat luas.
Memang benar Anda bisa sesekali pergi ke luar sekadar untuk ‘cari angin’; sedikit keleluasaan dari beratnya imobilitas benda-benda dan dinding-dinding. Karena Anda merasa tercekik di dalam ruangan, Anda mengambil jeda selagi matahari bersinar di luar sana; rasanya tidak adil jika melarang diri Anda sendiri terpapar cahaya siang. Kemudian, benar, Anda pergi ke luar dan melangkah memutari blok Anda, hanya untuk berada di luar daripada untuk pergi ke sana atau ke sini. Untuk merasakan cerianya kesegaran angin semilir musim semi, atau rapuhnya kehangatan sinar mentari musim dingin. Suatu selingan, suatu jeda yang berhasil didapat. Anak-anak juga pergi ke luar hanya supaya pergi ke luar saja. ‘Pergi ke luar’ di usia itu berarti bermain, berlarian, tertawa. Selanjutnya istilah itu akan berarti kumpul dengan teman-teman, kabur dari orang tua, melakukan sesuatu yang berbeda. Namun, seringnya, ‘luar’ sekali lagi ditempatkan di antara dua ‘dalam’: sebuah panggung, sebuah transisi. Luar adalah semacam tempat yang memakan waktu.
Luar. Bukan dalam ruangan. Saat berjalan kaki yang berlangsung sepanjang beberapa hari, selama ekspedisi besar, segalanya terbalik. ‘Luar’ bukan lagi suatu transisi, melainkan unsur tempat kestabilan berlaku. Inilah yang terbalik: Anda pergi dari penginapan ke penginapan, tempat singgah ke tempat singgah, dan hal yang berubah adalah ‘dalam ruangan’ yang senantiasa berganti. Anda tidak pernah dua kali tidur di ranjang yang sama, setiap malam Anda diterima oleh tuan rumah yang berbeda. Setiap dekor baru, setiap perubahan suasana, menjadi kejutan baru; keanekaan dinding, keragaman batu. Anda berhenti: tubuh sudah lelah, malam mulai turun, Anda butuh istirahat. Namun, interior-interior ini setiap kali menjadi penanda penting, alat untuk membantu membuat Anda tetap di luar lebih lama: transisi.
Satu hal lagi yang layak disinggung adalah kesan aneh yang ditimbulkan langkah-langkah pertama Anda, di pagi hari. Anda sudah memeriksa peta, memilih rute, berpamitan, mengemas ransel, menentukan jalan setapak yang benar dan memeriksa arahnya. Ini tampak seperti semacam keraguan, berjalan mondar-mandir sedikit, maju dan mundur, boleh dibilang seperti tanda baca: berhenti, memeriksa arah, berbalik di tempat. Lalu jalan setapak itu terbuka, Anda berangkat, menemukan irama. Anda menegakkan kepala, Anda sudah memulai perjalanan, tetap: sebenarnya hanya agar berjalan, agar berada di luar ruangan. Itu saja, hanya itu, dan Anda sudah di sana. Luar ruang adalah elemen kita: perasaan itu, saat menjalani hidup di sana. Anda meninggalkan penginapan yang satu menuju penginapan yang lain, tetapi kontinuitas—apa yang bertahan dan terus saja hadir—datang dari lanskap yang mengelilingi, rantai perbukitan yang selalu ada di sana. Dan akulah yang berkelak-kelok melintasinya, aku melangkah santai di sana seakan-akan di rumah: dengan berjalan kaki, aku mengukur tempat kediamanku. Yang menjadi lintasan-lintasan wajib, yang Anda lalui dan tinggalkan, adalah kamar tidur untuk satu malam, ruang makan untuk satu kali makan malam dan satu kali sarapan, orang-orang yang mengelola, hantu-hantu yang menghuninya; tetapi bukan lanskap itu.
Begitulah pemisahan besar antara luar dan dalam dijungkirbalikkan oleh berjalan kaki. Kita tidak semestinya berkata bahwa kita menyeberangi gunung dan padang, dan bahwa kita berhenti di penginapan. Keadaannya hampir kebalikannya: selama beberapa hari aku hidup di sebuah lanskap, perlahan-lahan aku menguasainya, aku menjadikannya tempatku.
Maka, kesan aneh di pagi hari itu bisa mengemuka, ketika Anda sudah meninggalkan pelukan dinding-dinding istirahat, dan mendapati diri Anda bersama angin yang menerpa wajah, tepat di tengah-tengah dunia: inilah sebenarnya rumahku selama ini, di sinilah aku akan bermukim dengan berjalan kaki.
Pelan
Saya akan selaalu ingat yang dikatakannya. Saat itu kami tengah mendaki jalur curam di daerah pegunungan tinggi Italia. Mateo lebih tua setidaknya setengah abad daripada saya, karena waktu itu usianya lebih dari 75 tahun. Dia kurus, kuat, dengan dua tangan besar dan kasar, wajah berkerut-kerut dalam, dan sikap tubuh tegak. Dia melipat lengan sewaktu berjalan, seolah-olah kedinginan, dan memakai celana kanvas warna pasir.
Dialah yang mengajari saya berjalan. Walaupun saya katakan sekarang: Anda tidak perlu belajar untuk berjalan, tetidaknya di sini, tidak perlu teknik, tidak perlu panik memikirkan cara Anda benar atau tidak, harus melakukannya seperti ini bukan seperti itu, tidak ada tekanan untuk menenangkan diri, berlatih, berkonsentrasi. Semua orang tahu cara berjalan. Satu kaki di depan kaki satunya, itulah irama yang semestinya, jarak yang pas untuk pergi ke suatu tempat, ke mana saja. Dan yang harus Anda lakukan hanya memulai lagi: satu kaki di depan kaki satunya.
Saya berkata, Mateo ‘mengajari’ saya hanya demi kesingkatan dan efek. Kami sudah berjalan beberapa menit di jalur pendakian dan mulai merasakan semacam tekanan dari belakang. Sekelompok anak muda yang penuh semangat, dan ingin bergegas menyusul kami, mendaki dengan langkah agak ribut untuk membuat kehadiran mereka terasa. Jadi, kami menepi dan membiarkan rombongan yang berisik dan terburu-buru itu lewat, dan mendapat balasan senyuman yang agak sombong. Pada saat itulah, selagi memerhatikan mereka menjauh, Mateo berkata, “Coba lihat, mereka takut tidak akan sampai ke sana, sampai mau berjalan dengan kecepatan seperti itu!”
Pelajarannya di sini adalah bahwa dalam berjalan kaki, tanda otentik kepastian adalah pelan yang pas. Yang saya maksud adalah jenis pelan yang bukan benarbenar lawannya cepat. Pertama, aspek keteraturan langkah yang luar biasa iru, suatu keseragaman. Di sini dapat juga dikatakan bahwa seorang pejalan kaki yang bagus sebenarnya meluncur, atau mungkin bahwa dua tungkainya berotasi, menggambarkan lingkaran. Seorang pejalan kaki yang buruk mungkin kadang berjalan cepat, bertambah cepat, lalu melambat. Gerakannya tersendat-sendat, dua tungkainya membentuk sudut-sudut yang canggung. Kecepatannya terdiri dari akselerasi-akselerasi mendadak, diikuti oleh napas berat. Gerak-gerak besar yang disadari, satu keputusan baru setiap kali tubuh didorong atau ditarik, wajah merah berkeringat. Pelan sebenarnya adalah kebalikan bergegas. Ketika kami mencapai puncak dan berhasil menyusul ‘para atlet’, mereka sedang duduk, membahas catatan waktu mereka dengan menggebu dan membuat perhitungan-perhitungan yang sulit dipahami. Alasan mereka terburu-uru seperti itu adalah mereka ingin mencetak catatan waktu tertentu. Saya dan Mateo berhenti sebentar untuk melihat pemandangan. Sementara, kelompok itu terus mengucapkan komentar-komentar panjang dan perbandingan-perbandingan yang tak ada habisnya, kami pelan-pelan bertolak pulang.
Ilusi tentang kecepatan adalah kepercayaan bahwa kecepatan dapat menghemat waktu. Sekilas pandang ‘kelihatannya sederhana: selesaikan sesuatu dalam dua jam alih-alih tiga, hemat satu jam. Namun, ini perhitungan yang abstrak, yang dilakukan seakan-akan satu jam pergerakan hari itu seperti satu jam di arloji, persis sama.
Sebenarnya, keterburu-buruan dan kecepatan mempercepat waktu, yang berlalu lebih cepat, dan dua jam terburu-buru akan memperpendek hari. Setiap menit jadi cerai-berai karena dipetak-petak, dijejali sampai meledak.
Anda bisa menumpuk segunung hal ke dalam satu jam. Hari-hari Anda berjalan kaki pelan-pelan akan sangat panjang: hari-hari itu membuat Anda hidup lebih lama karena Anda mengizinkan setiap jam, setiap menit, setiag detik, untuk bernapas, untuk menjadi lebih dalam, buka mengisinya penuh-penuh dengan memaksa sendi-sendi. Terburu-buru berarti melakukan beberapa hal secara serempak, dan dengan cepat: ini; lalu itu; lalu yang lainnya lagi. Saat Anda terburu-buru, waktu diisi sampai melentus seperti laci yang tidak tertata, tempat Anda menjejalkan berbagai benda tanpa berusaha merapikan sama sekali.
Pelan berarti menempel sempurna pada waktu, begitu rapat hingga detik-detik berjatuhan satu demi satu, tetes demi tetes seperti tetesan teratur air dari keran ke atas batu. Perentangan waktu ini memperdalam ruang. Ini salah satu rahasia berjalan kaki: suatu pendekatan lamba terhadap lanskap yang sedikit demi sedikit membuat lanskap itu terasa akrab. Seperti perjumpaan berkala yang memperdalam persahabatan. Dengan demikian, siluet gunung yang menemani Anda sepanjang hari, yang Anda amati dalam cahaya yang berbeda-beda, mendefinisikan dan mengartikulasikan dirinya sendiri. Sewaktu Anda berjalan, tak ada yang bergerak: hanya secara tak kentara saja bukit-bukit itu mendekat, alam sekitar berubah. Di dalam kereta api atau mobil, kita melihat gunung datang ke arah kita. Mata kita cepat, aktif, ia merasa sudah memahami segalanya, menangkap semuanya. Ketika Anda berjalan, tak ada yang benar-benar bergerak: sebaliknya, kehadiran itulah yang perlahan-lahan menetap gi dalam tubuh. Sewaktu kita berjalan, bukan kita yang mendekat, melainkan hal-hal di luar sana yang kian lama kian berkeras di dalam tubuh kita. Lanskap menjadi seperangkat rasa, warna, dan aroma yang tubuh kita serap.