Sabtu, 20 Desember 2025
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
Jakarta Book Review (JBR)
  • Beranda
  • Resensi
  • Berita
  • Pegiat
  • Ringkasan
  • Kirim Resensi
  • Beranda
  • Resensi
  • Berita
  • Pegiat
  • Ringkasan
  • Kirim Resensi
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
Jakarta Book Review (JBR)

Menteri Nasar, Pesantren, dan Tuan di Rumah Sendiri

Sistem pemondokan di Oxford dan model pembelajaran takhassus di universitas ternama, seperti Cambridge, justru terinspirasi dari sistem pesantren.

Oleh Ahmadie Thaha
15 November 2024
di Kolom
A A
Menteri Agama Prof. Dr. Nasaruddin Umar.

Menteri Agama Prof. Dr. Nasaruddin Umar.

Tak salah Presiden Prabowo Subianto memilih Prof. Nasaruddin Umar sebagai Menteri Agama. Hari-hari ini Pak Nasar mengaum, bertekad membabat korupsi dan kolusi yang diisukan bersarang di kantornya. Namun, di luar masalah akut ini, ketika bicara soal pesantren, sepertinya belum ada Menteri Agama yang sangat fasih seperti dia.

Di beberapa kesempatan, Menteri Nasar menegaskan bahwa, jika ditilik dari sejarah, pesantren sebenarnya salah satu warisan pendidikan paling murni, asli, dan maju dari Nusantara. Pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, tapi juga penjaga kearifan lokal, dengan sistem pembelajaran yang mengintegrasikan ilmu agama dan umum.

Menurut Pak Nasar, pesantren sudah berfungsi sebagai lembaga pendidikan sistematis bahkan sebelum kolonial Belanda tiba di Indonesia. Jadi, pesantren adalah pendidikan asli kita. Namun, ketika penjajah datang, pesantren tidak hanya dibayangi bayonet dan monopoli kolonial, tetapi juga dijepit oleh stigma sebagai pendidikan “alternatif,” padahal seharusnya justru menjadi “arus utama.”

Menariknya, Nurcholish Madjid atau Cak Nur pernah mengungkapkan sebuah gagasan yang cukup menggelitik: jika Belanda tidak menjajah Indonesia, mungkin kita akan mengenal Universitas Lirboyo, Universitas Tebuireng, atau Universitas Termas sebagai institusi pendidikan terkemuka—bukan UI, ITB, atau IPB. Lirboyo, Tebuireng, dan Termas adalah pesantren-pesantren tua di Indonesia.

Pernyataan tersebut mungkin terdengar aneh, tapi cukup mengena. Cak Nur seolah ingin mengajak kita berpikir ulang: siapa sebenarnya yang menentukan standar pendidikan kita? Mengapa kita harus terpaku pada warisan kolonial yang hanya mengakui “universitas” dalam bentuk Barat sebagai puncak pendidikan?

BACA JUGA:

Lampu Petunjuk

Membijakkan Sabar dan Ikhlas di Kota Suci

1 Muharram: Momen Kebangkitan Spiritual Kita

Ugly, Bad and Okay Mining: Pertambangan Indonesia di Persimpangan Jalan

Pesantren telah lama mengembangkan model pendidikan yang kemudian diadopsi oleh institusi besar dunia. Menurut beberapa pakar, sistem pemondokan di Oxford dan model pembelajaran takhassus (spesialisasi) di beberapa universitas ternama dunia, seperti Cambridge, justru terinspirasi dari sistem pesantren.

Namun, ironisnya, di Indonesia sendiri, pesantren sering kali dipandang sebelah mata karena dianggap tidak mengikuti standar “formal” yang ditetapkan oleh kolonial atau dunia Barat. Sudah saatnya pesantren, kata Pak Nasar, menjadi tuan rumah di rumah sendiri. Hal ini berarti pesantren harus kembali ke akar spiritualitasnya tanpa dibayangi tuntutan rasionalitas yang berlebihan dari sistem pendidikan formal.

Dengan tepat dia menyebut bahwa di pesantren, Al-Quran tidak hanya dipelajari sebagai Kitabullah, tetapi sebagai Kalamullah. Perbedaannya mendalam. Kitabullah menekankan Al-Quran sebagai kitab atau teks tertulis yang bisa dibaca dan dihafal. Namun, Kalamullah mengarah pada pemahaman yang lebih tinggi, di mana Al-Quran dilihat sebagai firman langsung dari Allah yang penuh hikmah dan hudan (petunjuk ilahi).

Mempelajari Al-Quran sebagai Kalamullah mengajak santri untuk meresapi maknanya lebih dalam, melampaui sekadar hafalan atau pengetahuan kognitif semata. Dengan perspektif Kalamullah, setiap ayat dipahami sebagai dialog antara Allah dan manusia, yang membutuhkan pendalaman spiritual serta bimbingan dari seorang guru atau mursyid—bukan sekadar pemahaman teks biasa yang diukur dengan ujian tertulis.

Dalam upaya mengembalikan kejayaan pesantren, Prof. Nasar meluncurkan aplikasi layanan pendidikan pesantren milik “Majelis Masyayikh” yang bertujuan untuk menjamin mutu pendidikan pesantren. Namun, ia mengingatkan bahwa pendekatan penjaminan mutu pesantren harus berbeda dari standar yang digunakan di pendidikan formal pada umumnya.

Menurutnya, metodologi pendidikan pesantren didasarkan pada spiritualitas dan pendekatan agama, berbeda dengan epistemologi rasional yang dominan di sekolah umum. Sebagai contoh, ia menyatakan bahwa ilmu yang dipelajari di sekolah umum bersifat “duniawi” dan hanya sebagian dari ilmu yang Tuhan berikan.

Sebaliknya, pesantren mengajarkan ilmu dari Allah, dengan guru atau mursyid sebagai perantara. Karena itu, ia mengingatkan agar kendali mutu pesantren tidak diukur menggunakan parameter sekuler dan pragmatis. Dengan kata lain, mengukur kualitas pesantren dengan standar yang sama dengan sekolah umum sama saja dengan mengukur dalam liter takaran yang seharusnya diukur dalam galon.

Pemerintah melalui Kementerian Agama berencana membentuk Direktorat Jenderal Pesantren, lembaga yang diharapkan akan mampu melindungi dan mengayomi pesantren di seluruh Indonesia. Tentu saja ini langkah penting, namun masih harus disertai oleh upaya untuk memastikan bahwa pesantren bisa berkembang tanpa harus tunduk pada standar formal yang mengikis spiritualitasnya.

Semoga saja nanti akan ada “UI versi pesantren” atau “Institut Teknologi ala pondok.” Tapi tentu, masyarakat berharap agar Direktorat Jenderal Pesantren tidak hanya menjadi lembaga simbolis. Diharapkan pesantren akan benar-benar bangkit sebagai lembaga pendidikan khas Nusantara yang mampu melahirkan intelektual sejati, bukan sekadar “sarjana instan” dengan gelar yang formalitas.

Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 15/11/2024

Bacaan terkait

Kitab Kuning dan Jalan Moderasi

Ber-Islam: Hasil Ber-interaksi, bukan Ber-“transaksi” [Membaca  Mun’im Sirry]

Mengilmiahkan Islam Modern

Menafsir Ulang Pandangan Ekologis Agama-agama (Tanggapan untuk Nasaruddin Umar)

Wasathiyah Islam: Menggali Makna dan Relevansi Moderasi dalam Islam

Topik: Kementerian AgamaNasaruddin Umarpesantren
SendShareTweetShare
Sebelumnya

Ber-Islam: Hasil Ber-interaksi, bukan Ber-“transaksi”

Selanjutnya

Menjadi Pemimpin, Menjadi Kekuatan untuk Kebaikan 

Ahmadie Thaha

Ahmadie Thaha

Santri Ponpes Al-Amien, Prenduan (angkatan 1980), mantan wartawan Tempo dan Republika, penulis dan penerjemah buku-buku Islam, kini mengasuh di Ma'had Tadabbur al-Qur'an.

TULISAN TERKAIT

Lampu Petunjuk

Lampu Petunjuk

11 Juli 2025
Membijakkan Sabar dan Ikhlas di Kota Suci

Membijakkan Sabar dan Ikhlas di Kota Suci

10 Juli 2025
1 Muharram: Momen Kebangkitan Spiritual Kita

1 Muharram: Momen Kebangkitan Spiritual Kita

27 Juni 2025
Ugly, Bad and Okay Mining: Pertambangan Indonesia di Persimpangan Jalan

Ugly, Bad and Okay Mining: Pertambangan Indonesia di Persimpangan Jalan

27 Juni 2025
Selanjutnya
Selanjutnya
Menjadi Pemimpin, Menjadi Kekuatan untuk Kebaikan 

Menjadi Pemimpin, Menjadi Kekuatan untuk Kebaikan 

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Kisah dari Negeri Para Insinyur

Kisah dari Negeri Para Insinyur

21 November 2025

Di Persimpangan Jalan: Minyak, Memori, dan Misi Mustahil Indonesia

17 November 2025
Try Sutrisno

Peluncuran Buku “Filosofi Parenting Try Sutrisno” Sajikan Formula Pola Asuh Keluarga Indonesia

15 November 2025
Tahap Akhir “AYO BACA!” Institut Prancis Indonesia: Soroti Dunia Literasi dan Sastra Kontemporer

Tahap Akhir “AYO BACA!” Institut Prancis Indonesia: Soroti Dunia Literasi dan Sastra Kontemporer

14 November 2025
Buku “The Girl with the Dragon Tattoo” Jadi Best Crime & Mystery versi Goodreads

Buku “The Girl with the Dragon Tattoo” Jadi Best Crime & Mystery versi Goodreads

29 Oktober 2025
Mitos, Mitigasi, dan Krisis Iklim: Membaca Narasi Putri Karang Melenu dan Naga Sungai Mahakam

Mitos, Mitigasi, dan Krisis Iklim: Membaca Narasi Putri Karang Melenu dan Naga Sungai Mahakam

20 Oktober 2025

© 2025 Jakarta Book Review (JBR) | Kurator Buku Bermutu

  • Tentang
  • Redaksi
  • Iklan
  • Kebijakan Privasi
  • Kontak
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
  • Masuk
  • Beranda
  • Resensi
  • Berita
  • Pegiat
  • Ringkasan
  • Kirim Resensi

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In