Pembagian warisan adalah sesuatu yang sangat sensitif. Bila seseorang meninggal dengan harta, pembagian peninggalannya di tengah-tengah masyarakat kerap memunculkan persoalan yang dapat memicu perpecahan dalam keluarga. Perselisihan akan terjadi lantaran masing-masing pihak memiliki ukuran keadilan sendiri dan menuntut pihak lain mengikuti logika berpikirnya. Buku 390 halaman ini berisi tata cara bagi waris dalam Islam dan segala hal yang mempengaruhinya.
Pembagian warisan secara tidak adil disebabkan oleh ketidaktahuan para pihak tentang tata cara membagi harta warisan. Pada suatu ketika nanti, manusia tak lagi menggunakan prinsip hukum waris Islam dan menggantinya dengan caranya sendiri. Rasulullah saw memperingatkan, ilmu waris adalah ilmu yang pertama kali dilupakan manusia.
Dalam Islam, pembagian waris itu sifatnya otoritatif berdasarkan keputusan Allah. Bila seseorang meninggal tanpa wasiat, maka pembagiannya telah diatur syariat secara pasti dalam tata cara bagi waris dalam Islam. Harta warisan adalah urusan dunia, namun hal ini memiliki dimensi akhirat. Satu hal yang paling sering menjadi kontroversi adalah bahwa bagian wanita separuh dari bagian laki-laki.
Islam memberikan bagian ganda kepada laki-laki, sejatinya bukan untuk kepentingan laki-laki itu sendiri. Hukum Islam menganut prinsip patrilineal yang implikasinya seorang laki-laki harus menanggung nafkah perempuan (istri) dan seluruh keluarga, sedangkan perempuan boleh menyimpan hartanya sendiri tanpa kewajiban berkontribusi pada keluarga, kecuali apabila dia ikhlas melakukannya. Dalam hal suaminya meninggal dan ada harta milik istri ada di situ, maka harus diambil dulu sebelum hartanya dibagi kepada ahli waris.
Buku tata cara bagi waris dalam Islam ditulis oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni ini merupakan salah satu buku faraidl paling komprehensif. Ilmu waris sebenarnya adalah perhitungan sederhana yang komponennya terdiri dari 10 ahli waris laki-laki dan 10 ahli waris perempuan secara substitusional berdasarkan prioritas kedekatan. Bagian masing-masing telah ditentukan dan bagian itu bisa berubah sesuai konstalasi yang berubah-ubah pula.
Namun dalam buku ini Muhammad Ali Ash-Shabuni membahas secara komprehensif, mulai hal-hal dasar sampai pengandaian yang jarang terjadi. Ilmu mawaris dalam Islam disebut ilmu faraidl. Ilmu ini membahas semua hal tentang waris dan menjadi bagian dari revolusi peradaban yang mengangkat harkat wanita. Pada zaman dahulu wanita tidak dihargai eksistensinya dan tidak memiliki hak kepemilikan absolut.
Ilmu ini juga menciptakan keadilan hakiki, menggusur keadilan masyarakat yang lahir dari pranata sosial yang subyektif. Sebuah hadis dari Jabir bin Abdullah mengisahkan, pada suatu ketika datang istri Sa’ad bin Ar-Rabi’ kepada Rasulullah saw dengan membawa dua putri Sa’ad.
Dia (istri Sa’ad) bertanya, “Wahai Rasulullah, ini dua putri Sa’ad bin Ar-Rabi. Ayahnya telah meninggal dunia ikut perang bersamamu pada waktu perang Uhud, sedangkan pamannya mengambil semua hartanya, dan tidak sedikit pun menyisakan untuk dua putrinya. Keduanya belum menikah.”
Kemudian beliau Rasulullah saw bersabda: Allah-lah yang akan memutuskan perkara ini. Kemudian turunlah Surah An-Nisa ayat 11. “Allah mensyariatkan kepadamu tentang anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan”.
Prof. Dr. Muhammad Ali Ash-Shabuni (1930-2021 M) adalah ulama dan akademisi asal Aleppo, Suriah. Ia merupakan guru besar ilmu tafsir di Universitas Ummu Al-Qura, Mekah, Arab Saudi.
Yang paling mendasar pada tata cara bagi waris dalam Islam adalah, siapa saja yang berhak masuk dalam daftar ahli waris? Untuk laki-laki adalah anak, cucu ke bawah, ayah, kakek ke atas, saudara dari ayah atau ibu, paman dari ayah, dan sepupu dari paman. Sedangkan ahli waris perempuan adalah anak, cucu, ibu, nenek dari ibu atau ayah, saudara, saudara seayah atau seibu, dan istri.
Keberadaan ahli waris yang terdekat dapat menghalangi bagian ahli waris yang lebih jauh. Misalnya saudara dapat terhalang oleh ayah, kakek terhalang oleh anak.
Sebuah kesalahan dapat menyebabkan seseorang tidak dapat menjadi ahli waris. Misalnya murtad dan membunuh. Rasulullah bersabda, “Laa yaritsu al-muslimu al-kafira, walaa al-kafiru al-muslima”. (Seorang muslim tidak dapat mewarisi harta orang kafir, dan sebaliknya).
Terhadap orang yang hak warisnya gugur seperti ini, keberadaannya tidak diperhitungkan sama sekali, sehingga tidak mempengaruhi konstalasi ahli waris lain. Menurut mazhab Syafi’i, membunuh dengan alasan apapun, baik langsung maupun tidak langsung, dapat menghalangi waris. Bahkan seandainya si calon pewaris itu menjadi saksi pidana yang menyebabkan pewaris dihukum mati, maka ia tak boleh mewarisi hartanya.
Seorang ahli waris akan terhalang oleh ahli waris yang lebih dekat, tetapi keberadaannya mempengaruhi. Contohnya ketika seseorang meninggal tanpa anak, hanya ada ayah, ibu, dan beberapa saudara kandung. Karena keberadaan ayah, maka saudara terhalang atau mahjub. Namun oleh karena keberadaannya, bagian ibu berubah dari sepertiga menjadi seperenam.
Untuk mendapatkan buku ini, Klik Di Sini
Judul: Bagi Waris Nggak Harus Tragis
Judul Asli: Al-Mawaris fi Syari’ah al-Islamiyyah fi Dhau` al-Kitab wa as-Sunah
Penulis: Muhammad Ali Ash-Shabuni
Penerjemah: M Syauqi Mubarak
Penerbit: Turos Pustaka
Genre: Spiritual Islam
Tebal: 396 halaman
Edisi: Cet 2, Maret 2021
ISBN : 978-602-1583-60-9