Bila ibadah manusia sudah diterima oleh Allah, maka tak ada level pencapaian yang lebih tinggi daripada wushul. Wushul itu sebenarnya hanya sebuah proses “klik” yang hasilnya adalah kondisi fana. Maqam fana ini tercapai saat hamba menafikan semua hal selain Allah (H 68). Kitab miftahul ma’iyyah adalah kunci memahami hakikat dan menggapai makrifat dalam metode tarekat Naqsabandiyah.
Fana sendiri adalah kondisi di mana seorang hamba telah sampai pada kebersamaan dengan sang pencipta (unity of being). Kitab rujukan para pelaku tarekat yang umum di kalangan Islam suni ini ditulis oleh Imam Abdul Ghani An-Nabulsi tahun 1087, ketika ia berusia 37 tahun. Abdul Ghani adalah tokoh sufi yang di Syria dikenal sebagai wali yang alim dengan banyak karamah. Ia bahkan disebut-sebit sebagai maha guru tarekat yang memiliki kemampuan mukasyafah tingkat tinggi.
Kitab ini adalah syarah (penjelas) dari kitab karangan Syekh Tajuddin An-Naqsabandi berjudul Risalah Sayyid as-Syaikh Tajuddin an-Naqsabandi fi adabi at-Thariqah an-Naqsabadiyah. Keduanya berisi metode pencapaian derajat ma’rifat menurut tarekat Naqsabandiyah. Tarekat ini pertama kali didirikan oleh Syekh Baha’udin An-Naqsabandi. Namun Imam Abdul Ghani mengambil sanad dari Sayyid Abu Sa’id al-Balkhi yang merupakan murid Syekh Tajuddin an-Naqsabandi.
Ma’iyyah, secara etimologis berasal dari kata ma’a, yang dalam bahasa Arab artinya bersama. Kebersamaan dalam hal ini adalah sebuah derajat kedekatan dengan Allah hingga nyaris tidak ada jarak antar keduanya. Kitab miftahul ma’iyyah, memahami hakikat dan menggapai makrifat, ditulis oleh seorang wali yang telah mencapai tingkat tersebut.
Imam Abdul Ghani menulis kitab ini sebagai silabus resmi pengikut tarekat Naqsabandiyah, terutama yang dibimbingnya di Damaskus saat itu. Sebagai “manual book” para salik tarekat, maka idiom-idiom, metode, serta ritual yang dijelaskan di dalamnya sangat khas suluk naqsabandiyah, yang sebenarnya tidak untuk dipelajari secara otodidak.
Penjelasannya kadang sangat teknis. Misalnya soal cara berzikir jahr dengan dua kalimat thayyibah “La ilaha ilallah, muhammadun Rasulullah”, diucapkan dengan lisan samar hingga terdengar oleh telinga, dibaca dalam sekali tarikan napas. Kalimat-kalimat zikir itu diucapkan dalam hitungan tertentu dalam bilangan ganjil.
Namun maksud dan tujuannya jelas. Zikir adalah aktifitas resiprokal antara hamba dan sang klaliq. Dalam QS-Al-Baqarah 152 Allah mengatakan: “fadzkuruu lii adzkurkum”. “Maka ingatkah kepada-Ku, Akupun akan ingat kepadamu”. Berzikir terus menerus pada dasarnya memperpendek jarak antara hamba dengan sang pencipta.
Sesungguhnya zikir manusia kepada Allah adalah zikir Allah kepada manusia. Sehingga yang terjadi adalah, orang berzikir menyebut nama Allah menggunakan lidahnya dan Allah menyebutnya dengan lidah orang itu sendiri. Pada titik itu manusia akan merasa malu kepada-Nya karena zikir-Nya bagi hamba jauh lebih besar daripada zikirnya hamba kepada-Nya.
Zikir yang dilakukan dalam satu tarikan napas ditujukan agar tercipta refleks “tak dapat disela”. Dalam kasus misalnya syakaratul maut, di mana napas tersengal-sengal, dibutuhkan stamina berzikir dalam satu kali tarikan napas agar tak terputus di tengah jalan, saat kalimat “Tiada tuhan …”.
Tentang wushul dibahas panjang lebar dalam kitab ini. Ibarat tamu yang memanggil Allah, ketika Allah berkehendak mendatangi, itulah wushul. Pencapaian wushul ini berarti Allah telah ridha kepada hambanya dan telah menerima segala amal ibadah dan zikirnya.
Hal itu dicapai dengan pemutusan ikatan jiwa yang secara lebih jelas dipaparkan dalam kitab ini. Menurut para mursid Naqsabandiyah, wushul dapat distimulasi dengan menjalin ikatan yang erat antara murid dengan guru. Guru atau mursid tarekat adalah mediator efektif bagi salik untuk mencapai Tuhan.
Mursid memang salah faktor terpenting dalam tarekat, tidak hanya di Naqsabandiyah. Keadaan spiritual mursid dapat memancar kepada murid sehingga murid dapat ditarik kepada Allah dengan kekuatan tarekat mursidnya itu.
Secara prosedural wushul diraih dengan cara zikir disertai muraqabah, yaitu upaya mendekatkan diri kepada obyek zikir, yaitu Allah. Sebenarnya wushul kepada Allah itu semata-mata anugerah Allah yang diberikan kepada hamba yang dikehendaki, bukan dari upaya dan kekuatan hamba untuk Allah. Tetapi seorang salik yang wushul kepada Allah tetap diperlukan istiqamah dalam perjuangan melakukan riyadhah mujahadah dengan sikap bersandar kepada Allah secara totalitas.
Imam Abdul Ghani An-Nabulsi dilahirkan pada Kamis bulan dzulhijjah 1050 H. Selama hidupnya ia telah menghasilkan 190 karya tulis, di antaranya Kanzu al-haq al-mubin, Jawahir na-nusyuz, zahratu al-hadiqah, dan lain-lain. Hari-harinya diisi dengan berkarya dan berzikir. Dia tinggal di rumahnya dekat masjid raya Umawi, Pasar Ibrani, Syria selama 7 tahun tanpa keluar rumah, sebelum akhirnya wafat di Damaskus tahun 1143 H dan dimakamkan di pemakaman Shalahiyyah.
Judul: Miftahul Ma’iyyah, Kunci Memahami Hakikat dan Menggapai Makrifat
Judul Asli: Miftah aL-maiyyah fi dustur al-thariqah an-Naqsabandiyah. Syarah risalah sayid as-syaikh Tajuddin annaqsabandi fi adab at-thariqah an-naqsabadiyah.
Penulis: Imam Abdul Ghani An-Nabulsi
Penerbit: Turos Pustaka
Genre: Spiritual-Religion
Edisi: Cet 1, Mei 2022
Tebal: 335 halaman
ISBN: 978-623-7327-68-4