Ketika mengupas perang dunia, banyak buku mengungkapkan berbagai propaganda dan kisah heroik yang menggugah semangat pada permulaan abad ke-20. Musuh bersama ditampilkan begitu seram dan menakutkan. Sedangkan sang pahlawan, yaitu Amerika dan sekutunya ditampilkan sebagai penyelamat.
Namun tidak semua literatur perang dunia menceritakan bagaimana kejamnya kehidupan di tengah adu kekuatan besar saat itu. Salah satu lokus kekejaman saat itu adalah Auschwitz yang menjadi kamp konsentrasi tempat pembantaian manusia yang diorganisasi oleh Kekuatan Nazi Hitler. Manusia yang hidup di dalamnya sengaja dibuat menderita. Mereka diberi kehidupan tak layak hingga kelaparan, menderita berbagai penyakit, hingga akhirnya tewas mengenaskan. Jenazah mereka ditumpuk di gerobak-gerobak untuk kemudian dilempar ke ruang kremasi.
Salah seorang yang tinggal di dalam kamp tersebut bernama Victor Emile Frankl (1905-1997). Dia mengisahkan segala kepahitan selama hidup di dalam sana. Dia bercerita betapa menderitanya harus menahan lapar dan menjalani kerja paksa setiap hari tanpa libur. Belum lagi ketika melewati musim dingin. Dia berjalan dengan menggunakan sepatu yang rusak. Bahkan sampai menanggalkan sepatunya karena tak bisa dipakai lagi. Kakinya membiru, bahkan terluka akibat terseset es di jalanan.
Ini belum termasuk kisahnya dipopor senjata laras panjang serdadu SS. Belum lagi berbagai bentuk penyiksaan lainnya yang begitu mengerikan.
Frankl begitu bersemangat menceritakan bagaimana perjuangannya berebut makanan, terutama ketika menu sop kacang merah dihidangkan. Dia akan mengukur sampai di antrean ke berapa untuk bisa mendapatkan beberapa centong terakhir. Karena bagian itu adalah yang paling lezat. Porsi terakhir itu akan mendapatkan sisa daging dan kacang merah yang berlimpah, selain juga tambahan kuah yang menghangatkan badan.
Banyak orang mati di kamp konsentrasi itu, tapi mengapa Frankl bertahan, bahkan menghirup udara bebas hingga akhirnya menuliskan kisah hidupnya dalam Man’s Search for Meaning?
Salah satu modal dia bertahan adalah optimisme bahwa kekasih yang menjadi tambatan hatinya masih hidup. Dalam segala penderitaan yang dia hadapi, Frankl selalu meyakini pujaan hatinya akan menantinya di gerbang kebebasan, mengangkat kedua tangannya, kemudian akan memeluk Frankl yang berjalan mendekatinya. Kemudian mereka akan berkumpul bersama keluarga seperti sebelum perang terjadi.
Ada saja harapan indah yang melintas dalam angan-angannya, di tengah penderitaan yang luar biasa hebat. Penderitaan itu dia hadapi dengan semangat hidup dan keyakinan penuh bahwa dirinya akan kembali bersatu dengan mereka yang tercinta.
Saat Nazi dinyatakan kalah dan sisa pasukannya ditangkap dan diburu hingga ke berbagai pelosok negeri, Auschwitz berhenti beroperasi. Segala siksaan dan kerja paksa tak lagi ada. Penghuninya bebas keluar dan kembali ke kampung halaman.
Frankl begitu bersemangat. Dia berjalan keluar bersama para penghuni kamp. Kemudian mendatangi kampung halamannya dan sampai ke rumahnya. Dia tanya teman, kolega, dan saudara, dimanakah istrinya, ayah dan ibunya. Mereka bilang tidak tahu, sampai akhirnya ada kabar bahwa mereka yang tercinta, telah tiada. Frankl tertunduk lesu. Pujaan hati, orang yang dicintainya ternyata telah mendahului dirinya meninggalkan dunia.
Rasa optimisme yang begitu hebat seketika anjlok dan berubah menjadi pesimisme. Kesehariannya yang biasa dilewati dengan praktik psikoterapi di sejumlah rumah sakit di Jerman, kemudian dia hentikan sementara. Kesendirian menjadi teman dekatnya. Mungkin begitu caranya menghibur diri dan menghilangkan kegundahan.
Namun dari situ dia kembali merekonstruksi segala pengalaman hidup yang dilaluinya. Kemudian dia ramu menjadi sebuah psikoterapi yang mengguncang dunia. Ini adalah psikoterapi yang menjadi rujukan dan dicari banyak orang. Namanya adalah terapi makna hidup. Frankl menyebutnya Logotheraphy. Orang-orang pesimistis, resah, gelisah, dan diserang berbagai penyakit, adalah sasaran empuk terapi ini.
Dengan Logotheraphy, Frankl memberikan setruman energi yang menyinari relung hati mereka, sehingga kembali bersemangat menjalani kehidupan. Orang yang hendak bunuh diri, akan menggagalkan niat itu setelah diterapi Frankl. Dan ilmuwan satu ini adalah orang yang sangat komunikatif. Saat ditelpon pasien pada dinihari pun dia akan mengangkat dan meladeni pembicaraan.
Man’s Search for Meaning adalah buku babon abad ke-20. Pegiat psikologi dan psikoterapi, pendidikan, industri, dan politik, melahap habis buku ini. Karya pembuka Logotheraphy itu diterjemahkan ke banyak bahasa, dan tercetak hingga belasan juta eksemplar.
Orang dari berbagai belahan dunia memburu dan menyantap buku itu, membacanya mulai awal hingga akhir, tanpa menyisakan sedikit pun bagian di dalamnya. Disusun dengan alur yang mengalir dan kalimat renyah, buku ini menjadi enak dibaca siapa pun. Meski ditulis oleh ilmuwan hebat bergelar profesor, buku ini ditulis dengan bahasa sederhana yang mudah dipahami.
Man’s Search for Meaning memang sudah melewati banyak dekade, tapi tetap menjadi bacaan yang sayang untuk dilewati. Logotheraphy yang menjadi main course pembahasannya digambarkan secara praktis, seakan kita sendiri yang sedang diterapi oleh Frankl. Buku yang enak dibaca dan perlu.