Dalam sejarah hidupnya, manusia mengoleksi tindakan-tindakan yang tidak seluruhnya relevan dengan tujuan hidup yang sesungguhnya. Sebagian orang melakukan aktifitas fisik (korporeal) berdasarkan pertimbangan kesenangan ragawi saja. Bahkan terkadang kesenangan duniawi itulah yang menjadi tujuan hidupnya.
Seorang penyair berkata: “Syabbat ya hadzaa wamaa tatruku akhlaqul ghulaam”. Wahai kamu, telah memutih rambutmu tetapi sikapmu masih kekanak-kanakan. Hal ini seperti yang telah diperingatkan Allah dalam QS al-A’raf 176. “Dan jika kami berkenan tentulah kami angkat ia dengan ayat-ayat itu, tapi ia cenderung pada kesenangan duniawi dan mengikuti hawa nafsunya”.
Filsuf muslim abad pertengahan, Ibnu Bajjah dalam kitab Al-Tadbir al-Mutawahhid, menyebut tindakan ini sebagai kesia-siaan hidup. Sayangnya, hedonisme telah menjadi lumrah bagi kebanyakan manusia, terutama di kalangan tajir dan bangsawan. Ibnu Bajjah menyebut, selama periode raja-raja thawa’if, yaitu penguasa muslim independen di Spanyol, Ingris, dan Portugal pada abad 11 M, kebanyakan mereka suka berindah-indah dalam penampilan. Mereka selalu memberi kesan hebat pada publik dengan menghambur-hamburkan kekayaan. Karenanya, mereka disebut al-mutajammilun.
Dalam konteks kehidupan hakiki dan mencapai ma’rifatullah, tindakan itu adalah penghalang. Untuk mencapai ma’rifat haruslah menggunakan akal fa’al dan menjauhkan diri dari gemerlapnya hedonitas masyarakat, namun tidak melupakan kodratnya sebagai makhluk sosial. Teori Ibnu Bajjah ini berkaitan dengan teori al-mutawahhid, yang membicarakan tindakan-tindakan dalam pendekatan spiritualitas, yaitu bentuk spiritual korporeal, spiritual partikular, dan spiritual universal.
Pada tindakan itu, akal pikiran adalah yang berperan aktif dalam mencapainya. Tetapi kebanyakan manusia menonjolkan fungsi panca indra, sehingga kenikmatan yang dituju bukanlah kenikmatan spiritual melainkan ragawi. Ibnu Bajjah menggunakan “uzlah falsafi” yang pada prinsipnya menyendiri dengan lebih memaksimalkan pendekatan hati dan akal.
Poin inilah yang menjadi sari pati al-mutawahhid, yang secara leksikal bermakna penyendiri. Al-Mutawahhid pada dasarnya adalah salah satu sifat Allah, yang merupakan sesuatu yang tunggal dan berdiri sendiri. Tetapi dalam hal ini diidentikkan dengan perilaku spiritualitas yang sifatnya individualis. Orang-orang mutawahhid yang oleh Ibnu Bajjah juga disebut nawabit, adalah orang-orang yang sempurna, tetapi berada di lingkup sosial yang tidak sempurna. Para nawabit inilah yang disebut para penyendiri (al-mutawahhid), yang melakukan uzlah untuk mendapatkan kebahagiaan hidupnya.
Al-mutawahhid dapat dikatakan sebagai wujud manusia pesimis atas kondisi sosial, dan juga dapat disebut egois karena hanya mengupayakan tujuan pribadinya, bukan tujuan kebaikan bersama. Mereka adalah kelas sosial yang sebenarnya memiliki kemampuan teoritis mumpuni, tetapi terasing oleh dunia modern yang serba materialis. Karena pandangan dunia ideal mereka tidak dapat direalisasikan, sedangkan mereka tidak mungkin berkompromi, maka mereka memilih uzlah atau menyepi.
Ibnu Bajjah adalah pemikir filosofis yang diskursusnya membentang dari ranah pribadi hingga konsep kebahagiaan bagi negara. Tentang hal-hal yang sifatnya lebih makro, tercermin pada poin besar kedua dalam bukunya ini, yaitu tentang al-Tadbir. Ibnu Bajjah memberikan pengertian tadbir mencakup definisi umum dan khusus. Secara umum tadbir adalah segala bentuk perbuatan, dan secara khusus adalah perbuatan negara dalam mencapai kesejahteraan masyarakat. Bila diterjemahkan secara bebas, tadbir lebih mudah dipahami apabila diwakili oleh kata “manajemen”.
Untuk meraih sebuah sistem sosial yang baik, setidaknya ada beberapa tingkatan tadbir. Pertama, tadbir (manajemen) Tuhan terhadap alam semesta. Tadbir ini sifatnya given dan merupakan hak prerogatif Tuhan terhadap makhluk. Yang kedua, yakni tadbir (manajemen) dalam perkotaan. Hal yang kedua ini menarik, tetapi sayangnya tidak dibahas panjang oleh Ibnu Bajjah, karena hal itu sudah dikenal dari tokoh filsafat Yunani, Plato.
Ketiga, yaitu tadbir (manajemen) rumah tangga. Tadbir keluarga ini memiliki peran penting juga yaitu sebagai sebuah perantara untuk menciptakan sesuatu yang sempurna dalam diri maupun suatu negara. Keluarga dianggap partikel terkecil dari sebuah negara yang menjadi titik paling hulu untuk diperbaiki.
Buku ini bukan terjemahan langsung kitab Al-Tadbir al Mutawahhid karya Ibnu Bajjah, melainkan hasil penelitian dari Ma’an Ziyadah (1938-1997) di Faculty of Graduate Studies and Research, McGill University, Institute of Islamic Studies, Kanada pada tahun 1969. Buku ini meneliti tentang isi kitab Tadbir Al-Mutawaḥḥid yang merupakan karakteristik utama pemikiran falsafat Ibn Bājjah.
Tadbir berarti sebuah manajemen pengelolaan dan pengaturan yang dilakukan oleh diri manusia. Sedangkan al-Mutawaḥḥid berarti manusia penyendiri atau manusia soliter. Al-Mutawaḥḥid adalah wujud manusia sempurna yang telah mencapai akal aktif, sehingga menemukan kebahagiaan yang abadi di dalam dirinya sendiri. Namun ia hidup di negara yang belum sempurna, sehingga ia berusaha untuk menemukan kebahagiaan di negara tersebut.
Ibnu Bajjah adalah filsuf muslim Spanyol pertama. Nama lengkapnya Abu Bakar Muhammad bin Yahya bin as-Sa’igh yang lahir di Saragossa, Spanyol pada 1110 M dan tutup usia di Fez (Maroko) pada Ramadhan tahun 1185 M. Pemikirannya tercermin dalam banyak karya, seperti Risalah Ittisal al-‘Aql bil-Insan, Kitabun Nafs, Tadbirul Mutawahhid, Risalah Ittisal, dan Risalatul Wada. Kitab-kitab itu banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani dan dibaca secara luas di Eropa. Dalam literasi barat, Ibnu Bajjah dikenal sebagai Avempace.
Dia dijuluki al-wazir al-hakim atau menteri yang ahli hikmah. Ketika Saragossa jatuh ke tangan Raja Alfonso 1 di Aragon, ia terpaksa mengungsi ke Seville. Di kota ini ia bekerja sebagai seorang dokter. Setelah beberapa lama, ia pindah ke Granada dan selanjutnya berangkat ke afrika utara yang saat itu menjadi pusat kerajaan dinasti murabith barbar.
Setelah itu Ibnu Bajjah bergeser ke Fez, Marokko. Di kota inilah ia di angkat menjadi wazir oleh Abu Bakar Yahya Ibnu Yusuf Ibnu Tashfin selama 20 tahun. Di kota inilah ia menghembuskan napasnya yang terakhir pada bulan ramadhan 533 H/1138 M dalam usia 43 tahun. Konon, sang filsuf meninggal karena diracun oleh lelaki bernama Ibnu Ma’yub, pelayan dari Tabib Abu A’la Ibnu Zuhr. Ibnu Zuhr sudah dikenal luas memusuhi Ibnu Bajjah, karena Ibnu Bajjah dianggap rival beratnya dalam praktik pengobatan.
Judul: Tadbir al-Mutawahhid Ibnu Bajjah
Penulis: Ma’an Ziyadah
Penerbit: Turos Pustaka
Genre: Spiritual
Edisi: Cet 1, September 2018
Tebal: 168 + 66 halaman
ISBN: 9786021583555