Semua binatang (besar) yang mati tanpa disembelih, menurut hukum Islam adalah bangkai. Semua bangkai hukumnya najis. Lalu bagaimana hukum memakai tas atau dompet dari kulit buaya? Dalam kitab Fathul Qarib disebutkan: najisnya bangkai tidak berlaku bagi kulitnya, apabila sudah dilakukan proses penyamakan. Hal ini bersifat universal, baik untuk binatang yang halal dimakan maupun yang tidak, kecuali anjing dan babi.
Menyamak adalah proses membersihkan kulit dari benda-benda yang menyebabkan pembusukan. Pada zaman dahulu tekniknya dilakukan dengan menggosokkan daun bidara atau benda-benda lain yang bersifat asam dan pahit sehingga sisa-sisa daging dan lemak luruh.
Agama Islam mengatur segala aspek kehidupan manusia. Al-Qur’an dan hadis menyebut hukum-hukum dasar atas segala sesuatu, lalu ditarik ke persoalan yang lebih kecil dan teknis (furu’iyah) melalui ijtihad para ulama. Hasil ijtihad tidak harus sama, tetapi harus memiliki dasar hukum yang jelas dan metodologinya diakui. Jalur ijtihad (mazhab) yang paling populer di dunia ada empat, yaitu Syafi’i, Hanafi, Hambali, dan Maliki.
Hidup adalah keteraturan. Eksistensi manusia di dunia ini bukan hanya menuruti siklus lahir, berkembang, lalu mati. Di dalamnya ada perjalanan panjang yang mengandung nikmat, ujian, dan berbagai hal substantif lain yang membentuk garis horisontal dan vertikal. Semuanya itu tak lepas dari hukum halal-haram, najis-suci, serta lima hukum dasar, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Hukum Islam menyentuh semua aspek kehidupan, agar penganutnya terjaga dari persoalan yang diakibatkan clash dengan alam, lingkungan sosial, Tuhan, dan entitas lain di bumi.
Dalam kaitannya dengan makanan, Allah meminta muslim mengonsumsi makanan yang baik dan berkualitas. “Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan” (QS al-Baqarah: 168). Allah juga meminta hambanya yang beriman menggunakan barang-barang yang aman dari penyakit, dan memiliki pola hubungan sosial dan transenden yang berkualitas.
Bagaimana caranya? Semua itu tertuang dalam kitab fathul qarib, karangan Syekh Ibnu Qasim al-Ghazi (859-918 H). Ulama kelahiran Gaza Palestina ini banyak menghabiskan hidupnya di Mesir. Ketika sultan Al-Ghuri membangun sebuah sekolah di Mesir, ia ditunjuk menjadi pimpinannya. Nama lengkapnya Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qosim Al-Ghozzi, yang selain dikenal sebagai ahli fikih, juga sebagai qari dan hafiz yang suaranya merdu.
Kitab yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Turos Pustaka ini bisa disebut buku panduan untuk amalan sehari-hari. Isinya komplit, mulai bersuci (thaharah), salat, zakat, nikah, haji, hingga berbagai skema muamalah, seperti jual-beli, sewa, gadai, utang piutang, waris, perjanjian usaha, dan sebagainya.
Turos Pustaka menyajikannya secara modern: selain diterjemahkan secara kontekstual dan dilengkapi infografis pada setiap pembahasan, buku ini dilengkapi pula dengan peta buku dan glosarium istilah fikih. Semuanya memudahkan dan membantu para pembelajar fikih tingkat dasar. Kitab ini, seperti disebut dalam mukadimahnya, ditujukan untuk pemula. Meski cukup lengkap dan lumayan tebal, tetapi fathul qarib langsung menukik pada fikih syafi’iyah, tanpa sedikitpun menyinggung mazhab lain dan tak membahas proses istimbath-nya.
Kitab ini adalah silabus paling populer di pesantren-pesantren untuk bidang fikih. Kalangan santri jarang menyebutnya fathul qarib, tetapi taqrib, diambil dari potongan belakang nama panjangnya: fathul qarib al-mujib fi syarh alfaz al-taqrib.
Dalam dunia pendidikan Islam, fikih adalah ilmu terpenting dan utama melebihi disiplin ilmu apapun. Tak heran, bidang ini sudah masuk dalam daftar mata pelajaran anak sekolah mulai kelas 1 tingkat dasar (ibtidaiyah). Isinya menyangkut tingkah laku atau perbuatan tiap orang yang sudah memikul tanggung jawab hukum.
Fikih dianggap sebagai ilmu yang melindungi pemiliknya dari kebodohan, kesesatan, dan ketidakteraturan. Saking pentingnya ilmu ini, ahli fikih dianggap lebih baik daripada ahli ibadah. Seorang muslim yang sudah akil balig disebut mukallaf. Artinya, ia sudah masuk sebagai entitas yang dikenai kewajiban hukum. Kewajiban hukum ini menyangkut diri sendiri dan kaitannya dengan pihak eksternal. Semua itu fikih yang mengaturnya. Misalnya bagi remaja putri yang baru akil balig, ditandai dengan datangnya haid atau menstruasi.
Dalam hal ini, ilmu fikih lah yang mengidentifikasi darah haid, membedakannya dengan darah penyakit atau yang lain, lamanya menstruasi (minimal dan maksimalnya), cara memperlakukan haid dan cara bersuci setelahnya, serta ibadah apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama haid.
Tak hanya tentang hukum, kitab fathul qarib bahkan menjangkau etika. Misalnya etika buang hajat, istinja, memasuki kamar kecil, dan sebagainya. Dalam 1×24 jam, 7 hari seminggu, empat minggu sebulan, dan 12 bulan setahun, semua aspeknya tak luput dari radar fikih. Dalam hal ini fathul qarib, sangat cocok dengan kondisi Indonesia, yaitu Islam sunni mazhab syafi’iyah.
Judul: Fathul Qarib
Judul Asli: Fathu al-Qarib fi syarhi alfaadz al-mujib
Pengarang: Syekh Ibni Qasim al-Ghazi
Penerbit: Turos Pustaka
Genre: Hukum Islam
Edisi: Cet 1, Agustus 2022
Tebal: 370 halaman
ISBN: 9786237327714