Sore yang temaram. Aku larut. Membaca baris demi baris, lembar demi lembar, buku catatan perjalanan Cinta Tak Pernah Mati Di Kota Rumi. Ditulis guruku dan idolaku: Buya Kiai Husein Muhammad. Ada empat kata yang bisa menggambarkan perasaanku untuk catatan itu. Buku yang (1) indah, (2) asyik, (3) mendalam/detail dan (4) meaningful/penuh makna.
Indah karena ditulis dengan cita rasa “sastrawi” yang tinggi. Menurutku, Buya Husein, penulisnya, bukan saja ulama dan aktivis-pejuang, tapi juga sastrawan. Untaian dan goresan kata-katanya, apa pun itu, selalu saja memunculkan keindahan.
Tidak hanya dari judul buku, tapi dari isinya sudah bisa terasa. Bab 1 “Awal Mula Perjalanan Cinta Ke Gerbang Seribu Budaya”. Bab 2 “Ke Makam Rumi: Siapa Kira Cinta Tanpa Kata & Suara Lebih Kencang Dentumannya”. Bab 3 “Bahasa Cinta Para Bijak Bestari: Dari Masjid Syams at-Tabrizi ke Makam Shadruddin al-Qunawi”. Bab 4 “Pulang Adalah Senandung Serupa Cinta Tanpa Nada”.
Cinta Tak Pernah Mati juga buku yang mengasyikkan. Sebuah catatan apa adanya. Ditulis berdasar pengalaman nyata. Aku yang belum pernah mengunjungi Kota Konya menjadi terbuai. Terbawa dua hal: seperti ikut berada di sana tapi sekaligus ada ghirah/semangat untuk meniru melakukannya. Dorongan alamiah dari keasyikan membaca catatan perjalanan selalu seperti itu.
Buku ini juga mendalam. Ini tak perlu kujelaskan. Penulisnya adalah pakar. Pun tentang sufisme dan sufi Jalaluddin Rumi yang menjadi ide utama dan tokoh sentral. Hasilnya, aku seperti tidak hanya sedang membaca catatan perjalanan, tapi juga ikut kuliah lapangan mata kuliah sufisme.
Terakhir dan paling penting adalah buku ini penuh makna. Tangkapan yang subjektif tapi menurutku itu sudah seharusnya. Buku yang indah, asyik, dan mendalam seperti tak ada guna kalau kita merasa itu tak bermakna. Cinta Tak Pernah Mati sebaliknya. Mungkin tidak seperti testimoni seorang tokoh yang pernah bilang, “Baca buku-buku Cak Nur, seperti ada iman saya yang terselamatkan.” Buku ini juga. Menurutku bukan sekadar menyelamatkan, tapi menambah keimanan.
Tesekkur Ederim. Danke schoen