TRANSISI DALAM KEHIDUPAN KERJA
Siapa pun yang, dalam usia paruh baya, berupaya mewujudkan keinginan dan harapannya di usia muda, pastilah menipu dirinya sendiri. Setiap sepuluh tahun kehidupan (seseorang) memiliki keberuntungan, harapan, keinginannya sendiri.
—Johann Wolfgang von Goethe
Untuk menyajikan kisah kehidupan orang secara menyeluruh, sering kali penulis mengusut pencapaian tertinggi orang tersebut ke impian masa kecilnya. Biasanya pola ini merupakan hasil dari pengalaman atau suatu pendapat bahwa perkembangan mereka tertahan oleh sesuatu di awal kehidupan. Seperti yang ditunjukkan Goethe, pola perkembangan yang alamiah adalah yang tidak mengandung impian yang sama, melainkan melepas impian lama dan menciptakan yang baru. Mayoritas orang juga menciptakan situasi baru untuk saat ini, harapan baru untuk masa depan, dan cara baru untuk merealisasikan harapan itu. Gambaran untuk kehidupan semacam itu bukanlah diagonal dengan tren naik dari peningkatan pencapaian. Akan tetapi suatu spiral siklus-siklus yang bertalian—penyelesaian masing-masingnya mengantarkan ke siklus pengalaman dan aktivitas baru berdasarkan impian yang baru.
Tidak heran, meski sesuai dengan talenta dan minat Anda, suatu pekerjaan akhirnya menjadi membosankan, atau suatu karier kehilangan kekuatannya untuk membawa ke tujuan yang Anda inginkan. Bukan pula kejutan jika dalam kehidupan kerja yang paling memuaskan dan sukses sekalipun, banyak orang sampai ke titik di mana—tidak jarang secara tidak terduga—mereka mendapati diri mereka dalam transisi. Kadang, transisi ini sepertinya mencuat dari dalam suatu gelombang kebosanan pada sesuatu yang dulunya dianggap menarik atau suatu ketidakpercayaan kepada hal-hal yang dulunya dipercaya sepenuh hati; di waktu lain, transisi ini menembus dari perubahan eksternal—entah itu dalam kehidupan personal atau tempat kerja mereka. Bagaimana pun, biasanya orang berusaha mengembalikan hal-hal seperti dulunya. Namun jika transisi itu signifikan, upaya tersebut kemungkinan besar tidak berhasil.
Dalam budaya kita, kekuatan-kekuatan tertentu menghalangi pola perkembangan yang normal dan mengikuti arus ini. Kita sangat menjunjung kesuksesan moneter dan jabatan profesional, dan yang mendorong orang untuk menetapkan (kemudian terus mencoba meraih) cita-cita yang jauh dan tinggi. Penekanan pada kesuksesan ini sering menghalangi orang yang menekuni bidang yang benar-benar mereka minati dan yang membuat mereka bahagia. Cita-cita yang tinggi dan jauh tidak jarang dirasionalisasikan dengan ide bahwa, sekalipun cita-cita itu tidak tercapai, dengan ketinggian itu, maka jika turun sedikit sudah termasuk pencapaian yang substansial. Namun, bagi semuanya, kecuali segelintir orang, target yang tinggi seperti itu menjamin datangnya hari evaluasi (dan betapa dominannya transisi itu!)—ketika mereka terpaksa mengakui mereka “gagal”.
Target tinggi juga berarti penebusannya begitu jauh hingga kehidupan mungkin tidak memberikan takaran makna dan rasa syukur yang memadai, yang dihasilkan dengan melakukan pekerjaan yang cocok dan mengekspresikan siapa diri Anda yang sebenarnya. Dan penekanan pada kesuksesan finansial tidak hanya akan merintangi orang dari karier dan kehidupan yang mungkin sangat memuaskan. Namun, hal jtu juga mengajarkan mereka bahwa imajinasi dan kerinduan mereka sendiri—perasaan bahwa mereka tidak ditakdirkan untuk menjalani hidup dengan melakukan pekerjaan yang mereka tekuni sekarang—merupakan petunjuk yang tidak bisa dipercaya. Perasaan ini (sekalipun yang menyesatkan) menghantui mereka pada tiap titik transisi berikutnya. Tidak hanya ketika mereka sekali lagi harus menetapkan tujuan dapat menyerap sumber energi yang sudah diperbarui saja. Tetapi juga ketika mereka dinaungi perasaan bahwa mereka tidak tahu apa yang mereka inginkan atau butuhkan.
Kesan yang kaprah ini—bahwa ide dan impian yang berubah-ubah bukanlah basis yang bisa diandalkan untuk merencanakan karier—membuat banyak orang mencari bantuan karier pada titik-titik transisi alamiah dalam kehidupan. Orang-orang yang mengikis atau menyumbat panggilan batin dari masa depan berarti telah memutus diri mereka dari isyarat yang sangat vital, yang digunakan orang untuk tetap berada di jalur pengembangan diri. Tidak heran, orang-orang yang membisukan isyarat-isyarat batin ini kesulitan memulai dan mempertahankan karier yang bermakna. Atau, ketika sampai pada masa transisi, mereka begitu kebingungan dan tertekan.
Kita akan kembali ke persoalan pola alamiah babak-babak yang menandai karier yang vital dan memuaskan. Hal pertama yang harus dilakukan, kita perlu mencatat bahwa level perubahan yang luar biasa tinggi dalam organisasi sekarang ini, kemungkinan besar akan membuat karier Anda berada dalam kondisi transisi yang semipermanen. Reorganisasi, merger, perubahan teknologi, pergeseran strategi, dan aliran produk baru memastikan kebanyakan perusahaan besar selalu bergejolak. Masyarakat modern adalah yang pertama sepanjang sejarah, ketika orang-orang diberi imbalan karena membuat tingkat perubahan dalam masyarakat tetap tinggi. Masa dan tempat lain pada umumnya menghargai dan menjunjung orang karena menjaga keberlangsungan masyarakat. Namun, masyarakat kita menghargai perubahan atas nama inovasi. Perekonomian kita bergantung pada hal itu. Dan jika inovasi terhenti, perekonomian kita secara keseluruhan—dan tentu saja mayoritas karier individu—akan runtuh.
Jadi kita memiliki perekonomian yang bergantung pada perubahan dan kultur yang menjunjung kreativitas dan inovasi. Mustahil karier kita tidak akan diwarnai perubahan, masing-masingnya menuntut transisi dari cara kerja dan identitas lama ke yang baru. Dan tidak mungkin transisi ini tidak akan menimbulkan ongkos signifikan terhadap produktivitas kita saat energi dan waktu kita untuk sementara terkuras lantaran mengerjakan tugas untuk menjalankan transisi. Jika perpindahan energi temporer ini hanya terjadi pada segelintir individu, itu persoalan mereka. Tetapi apabila terjadi dalam skala besar, seperti dalam reorganisasi dan merger besar-besaran, persoalan transisi karier individual menjadi persoalan organisasi itu, dalam bentuk “produktivitas yang menurun”, “ketidakhadiran’, “peningkatan kerusakan’, atau “pergantian”.
Entah dalam level individual atau organisasi, transisi selalu menampakkan tiga fase yang selalu kami ungkit. Baik sumber transisi itu adalah perubahan eksternal atau perkembangan batin Anda sendiri, transisi selalu dimulai dengan pengakhiran. Untuk menjadi sesuatu yang lain, Anda harus berhenti menjadi Anda yang sekarang. Untuk memulai sesuatu dengan cara baru, Anda harus mengakhiri cara yang digunakan sekarang. Dan untuk mengembangkan sikap atau penampilan baru, Anda harus melepaskan sikap atau penampilan yang sekarang. Meskipun terkesan sebagai kemunduran, penghentian selalu muncul terlebih dulu. Tugas pertama adalah melepaskan.
Setelah itu, Anda menemukan zona netral—waktu selang yang sepertinya kosong ketika, di balik situasi organisasi atau di dalam diri yang tidak kelihatan, transformasi itu berlangsung. Segala sesuatunya terasa hendak diraih, dan Anda tidak begitu tahu siapa diri Anda atau bagaimana seharusnya berperilaku, sehingga rasanya seperti waktu yang tidak bermakna. Namun sesungguhnya itu adalah waktu yang sangat penting. Selagi berada dalam zona netral, Anda menerima Sinyal-sinyal dan petunjuk—andai saja Anda bisa memahaminya misalnya sosok seperti apa yang Anda butuhkan untuk tahap kehidupan kerja berikutnya. Dan kecuali Anda merusaknya dengan terburu-buru melewati zona netral secepatnya, perlahan-lahan Anda bertransformasi menjadi pribadi yang Anda butuhkan untuk melangkah maju.
Ada dua faktor yang menentukan seberapa parahnya masa reorientasi ini terhadap karier Anda. Pertama, unsur penting yang melekat pada perubahan tersebut yang memicunya. Kedua, apakah masa itu berbenturan dengan masa pergeseran perkembangan dalam diri Anda. Kehilangan pekerjaan, misalnya, akan selalu menciptakan perubahan besar. Namun, jika itu terjadinya ketika urusan pengembangan diri relatif kecil, itu hanya akan menjadi masalah praktis yang harus Anda pecahkan.
Perubahan yang jauh lebih kecil—misalnya, ketika tidak mendapat promosi jabatan seperti yang diharapkan—bisa membawa dampak yang lebih besar jika terjadinya bersamaan dengan waktu alamiah untuk evaluasi diri dan transisi, misalnya pada usia paruh-baya. Perubahan besar—misalnya kematian atasan—akan membawa dampak yang lebih kecil terhadap diri Anda apabila Anda masih muda dan tidak terJalu memikirkan mortalitas ketimbang apabila Anda berusiz enam puluhan dan sedang menghadapi transisi yang, bersama-sama, merupakan bagian dari proses penuaan.
Transisi karier Anda sendiri juga akan beresonanst dengan transisi yang dialami orang lain. Pada waktu saya bersiap menanggalkan karier mengajar tiga puluh tahun lalu, saya merasa (meskipun saya tidak tahu benar tentang transisi untuk mengetahui sebabnya) membutuhkan waktu kosong antara kehidupan lama dan kehidupan baru. Saya khawatir jika masih tetap menjadi guru dalam pikiran dan hati saya, maka saya akan tergoda untuk kembali ke identitas dan gaya itu setiap kali tidak tahu apa yang harus dilakukan. Meskipun pada saat itu saya baru mulai memahami transisi kehidupan, naluri mengatakan bahwa saya seharusnya menyusun hal-hal supaya saya bisa melewati beberapa bulan dengan bekerja untuk jangka pendek saja sementara saya melewati masa transisi. Untungnya, istri saya bekerja nyaris purna-waktu, dan kami memiliki sedikit tabungan, sehingga saya mampu melakukannya.
Ketika saya memberi tahu anggota jurusan saya tentang rencana ini, seorang di antara mereka berkata, “Tapi di mana kamu akan mengajar?” Saya jelaskan bahwa untuk sementara ini saya tidak akan mengajar di mana-mana, guna menemukan perspektif baru bagi kehidupan kerja saya. Rekan saya tampak kaget, tetapi tidak berkata apa-apa. Seminggu kemudian, saya berpapasan dengannya di ruang makan fakultas. Ia sedang makan siang dengan seorang teman lainnya. “Saya baru saja bercerita kepada Bob tentang rencanamu keluar dari kampus ini,” katanya ketika saya bergabung. “Tapi saya tidak ingat, di mana kamu akan mengajar.” Ketika saya mengingatkan bahwa saya tidak akan mengajar di mana-mana, ia menyangkal telah mendengar itu sebelumnya. “Tidak mengajar di mana-mana!” katanya, terkejut. “Itu langkah besar.”
Saya bingung dengan reaksinya dan merasa sangsi, apakah percakapan kami sebelumnya adalah khayalan saya saja. Kemudian, seminggu kemudian, ia meluruskan kebingungan saya dengan mengaku “lupa” lagi. Dan ia terkejut untuk yang ketiga kalinya, dengan kabar bahwa saya benar-benar akan berhenti mengajar. Ia sebenarnya tidak bahagia dengan kariernya, tetapi beberapa tahun sebelumnya memutuskan bahwa ia sudah terlalu tua untuk melakukan perubahan. Tempat kerja ini sarat dengan orang semacam itu—dan mereka memiliki alasannya masing-masing untuk beresonansi dengan individu lainnya yang pensiun, pindah tempat kerja, mendapat kenaikan jabatan, atau dipecat.
Seperti relasi jangka panjang yang telah kami bahas dalam bab sebelumnya, karier seseorang mengikuti rangkaian fase. Memulai pekerjaan baru berarti bertemu dengan kesulitan yang sama yang ditemui seseorang ketika memulai relasi baru. Masing-masing orang melewati periode penyesuaian, meskipun “penyesuaian” adalah konsep mekanistis yang menyesatkan. Istilah ini menjelaskan bahwa kita diharuskan menekan tombol-tombol dan mengembalikan kenop untuk beradaptasi dengan situasi baru. Masalahnya dengan pandangan ini adalah bahwa meskipun perubahan sulit harus diambil saat seseorang sudah terbiasa dengan situasi baru, kesulitan itu tidak berasal dari perubahan itu, melainkan dari proses yang lebih sulit di baliknya untuk menanggalkan sosok Anda yang lama dan menemukan sosok baru yang Anda butuhkan untuk memasuki situasi baru. Ringkasnya, kesulitar yang sesungguhnya berasal dari proses transisi.
Memahami betapa kritisnya proses transisi ini sungguh penting, supaya kita berhasil mengatasi perubahan terkait pekerjaan dan karier. Dipecat menimbulkan perasaan yang sangat berbeda dibandingkan pindah pekerjaan secara sengaja, dan kedua situasi ini sepertinya cukup berbeda dengan kelesuan misterius yang mengubah pekerjaan yang dulu menarik menjadi neraka. Dan semua ini juga berbeda dengan saat menerima pekerjaan pertama, atau pensiun, atau dipindahkan ke tempat kerja lain. Namun, di balik permukaan semuanya sama. Pengalaman transisi, dan pengalaman itu, alih-alih masalah penyesuaian dengan situasi baru, malah menghadirkan penderitaan. Bukannya kebetulan, transisi inilah, alih-alih perubahan, yang ditolak orang dengan sengitnya.
Bukan hanya perubahan di tempat kerja saja yang akan memengaruhi kehidupan kerja Anda. Perubahan personal murni pun memengaruhi kehidupan kerja. Meskipun Anda mengira pekerjaan dan keluarga adalah dunia yang terpaut jauh, setiap kali ada kesulitan di rumah, energi dan perhatian dalam pekerjaan akan terkuras. Kesehatan, keuangan, dan dunia spiritual Anda—tidak ada yang bisa berubah tanpa mengalirkan gelombang ke dunia pekerjaan dan karier Anda.
Terkadang, perubahan menguatkan energi, tetapi yang lebih sering, ia mengalihkan energi dari pekerjaan ke area kehidupan Anda yang mengalami perubahan. “Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu,” kata atasan Anda kebingungan, “Dulu kau karyawan yang sangat giat, tetapi belakangan ini…”
Tentu saja, yang terjadi adalah proses transisi. Seseorang yang hanya melihat perubahan dalam motivasi atau hasil, kemungkinan akan berusaha mengaktifkan kembali motivasi lama dengan dorongan, dengan perubahan dalam tugas kerja, atau (gagal dengan faktor-faktor itu) dengan ancaman atau hukuman. Obat-obat ini salah sasaran. Pasalnya, Anda bukannya kehilangan minat (yang memang bisa distimulasj kembali) atau menjadi lelah dengan hal lama (dalam kasusg ini, perubahan bisa memperbarui minat Anda). Yang terjadi dalam pengakhiran itu dan pelepasan sosok yang selama ini Anda jalani—yang memulai proses transisi—adalah hilangnya koneksi Anda dengan aktivitas dan orang-orang yang berarti bagi Anda. Dalam putaran siklus perubahan, ini adalah musim gugur. Upaya mengukuhkan kembali motivasi lama Anda dengan hadiah atau hukuman akan sama sia-sianya dengan upaya menahan dedaunan tetap di pohon yang siap untuk jatuh.
Untuk lebih memahami maknanya, juga apa yang bisa dilakukan dalam hal ini, marilah kita kembali ke Don, sang guru SMA yang berada dalam transisi. Kita membahas pria ini dalam bab terakhir. Tidak seorang pun di antara rekan kerjanya yang memahami apa yang sedang terjadi dalam kehidupannya. Namun di mata setiap orang, tampak jelas bahwa Don bersikap setengah hati dalam pekerjaannya sebagai guru. Ketika kepala sekolah membahas hal ini, Don berjanji akan berusaha lebih keras lagi dan meninggalkan pertemuan itu dengan perasaan takut dan bingung.
Sebagian kebingungannya bersumber dari pengakuap yang terbentuk secara bertahap, bahwa persoalan rumab tidak hanya menghambatnya dalam pekerjaan saja. Isu yang mengganggunya sebagai seorang guru, fuga mengganggunya sebagai seorang suami dan ayah, Dalam seluruh bidang kehidupannya, ia menemui perasaan yang kosong dan tidak bermakna.
Don telah menguak fakta penting tentang situasinya. Dan dalam bulan-bulan berikutnya, ia banyak berpikir. Dalam proses itu, ia menemukan salah satu transisi penting yang sepertinya berlangsung dalam kehidupan kerja seseorang pada usia empat puluhan: transisi dari pribadi yang dimotivasi oleh peluang menunjukkan kompetensi menjadi dimotivasi oleh peluang untuk menemukan makna pribadi dalam pekerjaan dan hasilnya. Dengan kata lain, pergeseran dari persoalan bagaimana ke mengapa.
Dunia pekerja sangat mengenal kompetensi. Evaluasi dan imbalan kebanyakan ditentukan berdasarkan kompetensi seseorang. Panduan penugasan menekankan faktor ini dalam tes penempatan kerja. Pemindahan dan kenaikan jabatan juga diukur berdasarkan kompetensi. Dalam bisnis dan profesi, kita masuk dan melangkah dengan menunjukkan kompetensi.
Tetapi di suatu bagian dalam perjalanan ini—sekurangnya pada usia tiga puluh lima bagi sebagian orang, dan maksimal lima puluh lima bagi yang lain—kekuatan kompetensi sebagai sumber motivasi mulai meredup. Seorang dokter berkata, “Ya, saya dokter bedah yang baik, tetapi tantangan teknis tidak membuat saya tertarik lagi. Apa gunanya melakukan hal yang sama berulang kali?” Begitu juga teknisi pipa air, pekerja sosial, dan asisten rumah tangga. Memang, api yang lama bisa berkobar lagi untuk sementara dengan pergeseran ke area, tempat Anda harus memulai dari awal lagi dan mengembangkan kompetensi baru. Namun efek perubahan semacam itu biasanya sebentar saja. Musim kompetensi tengah berlalu, meski ada transplantasi kuncup bunga di akhir waktu.