Pulang ke Rumah
Salju sedang turun saat Tom mendapatkan surel itu. Dia menginap di sebuah hostel Polandia. Dia membaca kata per kata. “Semoga Anda merayakan diterimanya Anda di Vassar College.”
Vassar merupakan pilihan pertamanya. Nenek dan kakaknya kuliah di kampus tersebut. Dia membayangkan dirinya sedang belajar literatur hebat di sana, sama seperti saat dia membeyangkan sedang belajar Chopin di Polandia. Tom ingin menekuni bahasa Inggris, dan Vassar memberinya tawaran seminar mahasiswa baru tentang Virginia Woolf, penulis favoritnya. Di Polandia, musim semi itu, dia membaca lagi buku Mrs. Dalloway dan To the Lighthouse. Rasanya sudah tak sabar untuk kuliah.
Musim panas tahun 2011, tiga agen lapangan saya kembali ke Amerika. Sebuah fase baru bagi kehidupan mereka, momen sebelum masuk kehidupan dewasa. Kim, Eric, dan Tom sudah menantikan banyak hal yang akan dilakukan begitu masuk kuliah dan lulus.
Ketika mereka kembali, jaminan untuk mahasiswa Amerika jebih besar dari hampir semua negara lainnya. Mungkin butuh waktu, tetapi kemungkinan besar mereka akan mendapatkan pekerjaan layak. Musim panas itu, tingkat pengangguran untuk julusan sarjana hanya 4%. Dunia ini besar, tetapi Amerika memberikan sinar terang untuk lulusan universitas yang memiliki kemampuan beradaptasi pada perubahan.
Jika mereka tidak kuliah, mereka hanya akan mendapatkan separuh pendapatan dari pendapatan sarjana. Mereka juga pisa menambah daftar angka pengangguran yang dua kali lebih tinggi itu. Bisa saja mereka mendapat pekerjaan layak, tetapi kemungkinannya sangat kecil. Pulang ke rumah setelah seharian pekerja juga akan mendapati masalah lainnya. Orang Amerika yang tidak lulus kuliah cenderung bercerai dan membesarkan anaknya sendiri. Usia kematiannya bahkan lebih muda dari mereka yang lulus kuliah.
Mereka yang masuk kategori putus sekolah, sepanjang hidup mereka akan terus berjuang. Mendapat upah rendah, kehilangan tunjangan, dan bergabung dengan angka 14% pengangguran. Kim, Eric, dan Tom tidak masuk kelompok itu karena mereka menyelesaikan SMA, tetapi nasib itu sudah pasti dialami seperempat dari rekan seumuran mereka. Pada saat Kim berumur dua puluh tahun, akan ada lebih dari enam juta anak Amerika tanpa ijazah SMA dan mereka akan bersaing mendapatkan pekerjaan.
Berdasarkan apa yang akan terjadi, Kim, Eric, dan Tom punya pilihan untuk tinggal di negara lain daripada teman-teman TK mereka. Banyak hal yang tidak dapat diprediksi dari masa depan, jelas semakin sulit untuk mengubah nasib seseorang di Amerika. Proses seleksi sudah memisahkan anak-anak sejak, sekolah dasar dan terus berlanjut hingga masa dewasa. Tanpa perubahan besar, yang terjadi akan sama saja terus menerus,
Amerika dan Pie Polandia
Saat Tom meninggalkan Polandia, ada orang Amerika lain yang datang. Paula Marshall tiba dari Oklahoma. Rumahnya tak jauh dari Kim. Bukan untuk sekolah atau jalan-jalan, tetapi ia hendak membuka pabrik.
Keluarga Marshall mengoperasikan Bama Companies yang bermarkas di Oklahoma. Sang Nenek mulai menjual pie buatannya ke restoran lokal sekitar tahun 1920-an. Ayah Paula kemudian punya ide cemerlang yang diajukan ke McDonalds. Memproduksi pie kemasan yang bisa dimakan konsumen di dalam mobil. Menjadi salah satu kisah sukses di Amerika: Seorang pemuda yang mampu mengubah apel goreng menjadi emas.
Beberapa dekade kemudian, Paula mengambil alih usaha. Dia membuka pabrik baru di Oklahoma dan Tiongkok. Perusahaannya berkembang pesat. Mereka juga menyuplai breadstick untuk Pizza Hut dan biskuit untuk McDonald’s. Sebagian besar dari ribuan karyawannya masih bekerja di Oklahoma.
Sekarang Paula ada di Polandia untuk pembukaan pabrik baru. Ada banyak alasan memilih Polandia, salah satunya adalah pabrik modern memerlukan karyawan ahli yang tahu cara berpikir kritis. Dia yakin bisa mendapatkan karyawan dari penduduk Jokal dengan mudah. “Kami mendengar ada banyak orang terpelajar di sini,” katanya.
Ketika saya menemuinya untuk minum kopi bareng, ia bercerita tentang tantangan mendapatkan pegawai di Amerika. sebagai contoh, posisi perawatan. Upah untuk pekerjaan itu adalah $25 hingga $30 per jam. Tuntutan kerjanya membutuhkan keahlian yang lebih besar dari namanya. Pekerja perawatan mesin kini harus mampu memahami cetak biru, bisa berkomunikasi gengan tulisan untuk menceritakan apa yang terjadi selama jam kerja; mampu mencari jalan keluar ketika menghadapi kesulitan; dan tentu saja bisa memperbaiki kerusakan sistem mekanis.
Bama Companies ternyata kesulitan untuk mendapatkan cukup tenaga dengan kualifikasi seperti itu di Oklahoma. Beberapa tahun sebelumnya mereka bahkan kesulitan mendapat karyawan untuk tugas-tugas sederhana yang tak menuntut keahlian tinggi, yang penting bisa berpikir dan berkomunikasi.
Marshall sempat berniat untuk membayar pelatihan teknis untuk karyawan, tetapi orang-orang yang datang ternyata bahkan tidak bisa memahami atau mengerjakan matematika dasar. Dia merasa tidak bisa mempercayai para lulusan SMA itu meski mereka sudah mengantongi ijazah SMA. Meski sama-sama berada di Oklahoma, mereka berasal dari beragam SMA dengan kualitas yang terlalu bervariasi. (Menariknya, hal yang sama juga terjadi di militer. Seperempat lulusan SMA di Oklahoma yang nencoba masuk militer gagal di ujian kemampuan.)
Tak hanya melihat ijazah diploma, tim SDM Bama juga meminta para pelamar kerja untuk mengisi dokumen. Pengerjaan arus dilakukan di depan tim supaya mereka bisa melihat apakah pelamar memang benar memahami pertanyaan. Setelah itu mereka akan diberi soal cerita untuk melihat kemampuan berpikir dan cara mereka memecahkan masalah. Di akhir tes, akan ada tes bebas narkoba, pengecekan latar belakang, pemeriksaan fisik. Pada saat itu pelamar yang tersisa tinggal sedikit.
Pada tahun 2012, Marshall merekrut dua ratus karyawan untuk pabrik pembuatan adonan di Polandia. la sangat optimistis. “Polandia seperti Amerika tahun 1800-an,” katanya, “Anda akan mendapatkan perasaan yang sama di Shanghai, Semuanya sibuk.”
Hari Pertama
Setahun di Finlandia, Kim kembali ke Oklahoma dengan emosi campur aduk. Ia selalu mengingatkan dirinya untuk berubah, meski segala yang ada di sekitarnya tetap sama. Di hari pertamanya, saat kembali ke SMA Amerika, ia memakai sandal bulu model kepala anjing. Minum kopi yang dibawanya dari Finlandia. Duduk di kursi malas bersama George, kucingnya, Kim siap mulai pelajaran biologi secara daring.
Kim menyukai konsep SMA Virtual Oklahoma. Dengan cara ini, ia merasa bisa merasakan kembali otonomi yang didapatnya di Finlandia. Bisa memutuskan kapan harus bangun dan kapan saat mengerjakan geometri. Juga bisa makan siang menggunakan sendok garpu asli dari dapurnya, seperti yang terjadi di kantin sekolah Finlandia.
Kim berharap kebebasan itu bisa memberinya motivasi. Dan ia pasrah pada kualitas ataupun cara pengajarannya, tetapi setidaknya dia bisa membangun otonomi maupun dorongan semangatnya sendiri. Secara teori, sekolahnya kini seperti separuh Finlandia.
Hari pertama sekolah virtual, Kim masuk dan mengecek posisinya yang tertulis di dashboard. Sejauh ini, deretan grafis itu berwarna hijau, menunjukkan Kim sudah di jalur yang benar. Dia punya waktu 149 hari untuk mengejar ketertinggalan. Dia lalu melihat video dua puluh menit pengajaran tentang dasar geometri.
Lima hari dalam seminggu, dalam kurun waktu dua puluh jam setiap harinya, guru bisa dihubungi. Komunikasi dijakukan lewat surat elektronik, telepon, atau pesan. Kim tidak menemukan apa pun.
Selama delapan jam sekolah ia tak berinteraksi ataupun tatap muka secara langsung. Pukul setengah empat ibunya pulang dari mengajar. Di tengah malam, Kim masih terbangun, ja membaca tentang kampus di Irlandia, mimpi terbarunya. Menurutnya tempat itu jauh lebih nyaman dari Finlandia. Satu pagi, ia belajar tentang Mesopotamia untuk kelas Sejarah Dunia.
“Aku sangat dan sangat menyukai sekolah ini,” kata Kim di hari kedua, setelah mengerjakan tugas menulis tentang merpati pos. “Aku juga tidak merindukan siapa pun.”
“Apakah kamu tidak khawatir akan terisolasi?” tanya saya.
“Orang selalu bilang begitu,” ujarnya. “Tetapi orang lupa bahwa saya sudah pernah sangat terisolasi di sekolah Amerika saya sendiri.”’
Saat itu saya mulai mengerti, Kim sebelumnya merasakan kesepian yang tak dipahami orang lain. Satu-satunya masalah ang dihadapinya saat ini adalah ia merasa terlalu memanusiakan kucing dan anjingnya. “Saya terlalu sering bicara dengan mereka,” akunya. “Segala hal yang mereka lakukan terlihat menakjubkan.”
Untuk mengurangi kegilaannya berinteraksi dengan kucing dan anjing, ia bergabung dengan klub penulis. Mereka biasa kumpul di kedai kopi kota sebelah. Ia juga mendaftar les di Irlandia seminggu sekali saat sore. Ibunya dengan setia antar jemput dengan mobil. Ia sangat bersyukur putrinya kembali meski tak yakin berapa lama Kim akan bertahan. Dalam perjalanan, Kim masih melihat orang-orang yang begitu teratur. Dia merindukan Finlandia. Namun saat ini, kenyataan virtual baginya lebih baik daripada melihat langsung.
Sekolah Kim dijalankan Advanced Academics, sebuah berusahaan yang berpusat di Kota Oklahoma. Mereka menyediakan kursus daring di tiga puluh negara bagian. Perusahaan itu milik DeVry, perusahaan publik yang membukukan pendapatan sebesar $2 miliar pada tahun 2011. Sekolah virtual Kim gratis, seperti sekolah umum karena sebagian besar anggaran yang biasanya diberikan kepada SMA Sallisaw, kini dibagi ke Advanced Academics.
Dalam tiga tahun, jumlah siswa yang mengikuti pembelajaran daring meningkat hingga 400%. Tidak ada yang tahu apakah sekolah virtual lebih baik atau lebih buruk dari sekolah biasa. Rasanya seperti di hari-hari awal pembangunan industri hagwon di Korea. Namun, tanpa budaya terobsesi pada hasil, analogi itu langsung terpatahkan. Apakah pasar bebas benar-benar bebas jika tidak ada satu pun yang tahu tentang kualitas produk atau memberikan persetujuan tentang bagaimana produk itu seharusnya?
Tahun ajaran itu juga menjadi salah satu tonggak sejarah di negara bagian Kim. Setelah menjalani perdebatan selama beberapa dekade, Oklahoma akhirnya memutuskan untuk menerapkan ujian akhir sekolah, seperti Finlandia, Polandia, dan Korea.
Untuk kali pertama, siswa kelas 12 SMA harus lulus empat dari tujuh ujian di pelajaran matematika, Bahasa Inggris, biologi, atau sejarah, agar bisa mendapatkan ijazah SMA. Media Oklahoma mendukung langkah yang dirumuskan dalam waktu tujuh tahun itu. “Bukan lagi harapan kosong untuk melihat akan terjadi ketika mereka mencoba mencari kerja di Ba Companies. Anak-anak itu boleh gagal setelah lulus SMA, tetapi tidak saat itu. Sebuah wujud kasih sayang yang sudah tidayk relevan dengan zaman.
Kali ini, pengawas dari Oklahoma, Janet Barresi, tetap pada pendapatnya. “Jika ujian kelulusan itu terus dicabut, anak-ana, tak akan melihatnya sebagai sesuatu yang serius,” katanya “Saya lebih peduli pada bagaimana kemampuan anak-anak itu di dunia kerja daripada hari-hari mereka di sekolah dengan teman-temannya.”
Musim semi itu, tak sampai 5% dari 39.000 siswa SMA Oklahoma yang gagal memenuhi syarat kelulusan, jauh lebih kecil dari yang diperkirakan para pengawas. Kemampuan anak-anak Oklahoma diremehkan. (Menariknya, angka kegagalan itu mendekati angka 6% kegagalan kelulusan siswa SMA di Finlandia, sebuah negara yang dikenal memiliki ujian kelulusan lebih sulit.)
Beberapa siswa di Oklahoma yang tak puas dengan hasilnya maju ke dewan sekolah meminta untuk tetap diluluskan. Dengan berbagai kondisi meringankan yang disampaikan siswa, biasanya dewan sekolah akan mengabulkannya. Sistem berjalan dengan sangat fleksibel. Meskipun begitu, dewan sekolah di mayoritas Oklahoma tetap memprotes ujian itu, mengeluarkan resolusi, dan minta ditiadakan.
“Beberapa anak tidak bisa mengerjakan ujian dengan baik. Dan ini sangat tak adil bagi mereka,” kata pimpinan dewan sekolah Owasso kepada harian Tulsa World. Fakta bahwa siswa masih punya banyak pilihan lain untuk tetap lulus, termasuk menyelesaikan sebuah proyek dan tak perlu mengambil tes ulang, tak mengubah pendapat mereka.
Ketika Kim menyelesaikan tahun pertama sekolah kembalinya ke rumah, Amerika berada di ranking ketujuh dalam daftar daya saing global yang dibuat Forum Ekonomi Dunia. Sebuah posisi yang sangat tinggi, meski melorot dalam empat tahun berturut-turut. Lalu, negara apa yang berada di posisi tiga? Sebuah negara kecil di tanah Nordik minim sumber daya alam, di mana warganya memiliki sebuah kekuatan yang disebut sisu.