Ikhlas, Akhiri Konflik Batinku
Sejak kecelakaan suamiku, aku mulai menghabiskan hari-hariku di rumah sakit. Dokter dan perawat seakan menjadi keluarga baru bagiku. Tidak ada lagi panggung seminar, tidak ada lagi mimbar untuk mengukir ketenaran. Aku hanya fokus pada perawatan suamiku dan anakku yang juga ikut tinggal di rumah sakit.
Waktu terasa berjalan begitu lambat. Meski sudah dua hari kami di rumah sakit, operasi suamiku belum dilakukan. Menurut dokter, cidera tulang punggung suamiku sangat parah. Suamiku membutuhkan sejumlah pen yang harus ditanam sebagai pengganti tulang punggung yang patah dan remuk.
Sayangnya, pen tersebut harus didatangkan dari daerah lain, karena stok tidak tersedia. Setelah dua hari menunggu, akhirnya saat operasi tiba. 25 April 2001 menjadi momen yang sangat mendebarkan. Hari itu wajah suamiku tampak begitu pucat. Raut wajahnya tidak bisa menyembunyikan rasa takut menghadapi meja operasi.
Pukul 7 pagi, sejumlah perawat menjemput suamiku, membawanya ke ruang operasi. Aku dan anakku menyertai hingga depan ruang operasi. Meski aku terus berusaha menenangkan suamiku, namun perasaanku sendiri berkecamuk tak menentu. Aku yang sudah mendapat penjelasan dokter tentang kondisi suamiku dan operasi besar yang akan dilakukan, hanya bisa pasrah. Sempat terlintas dibenakku, pikiran negatif jika operasi gagal dan berujung pada kematian. Aku berjuang keras menepis kekhawatiran itu.
Doa tak henti-hentinya kupanjatkan agar operasi lancar dan suamiku bisa pulih kembali. Doa bersama dan pembacaan ayat Al-Quran juga digelar di pesantren ayah ibuku mengiringi jalannya operasi suamiku. Anakku tertidur pulas di ranjang perawatan suamiku, sementara operasi berlangsung. Usianya yang masih sangat belia belum begitu paham situasi saat ini.
Sedih dan khawatir terus menggelayuti perasaan dan pikiranku. Tak terasa air mataku menetes membasahi Al-Quran yang terus-menerus kubaca sambil menunggu proses operasi suamiku.
Waktu telah menunjukkan pukul 12 siang, Operasi suamiku belum kunjung selesai. Aku berkali-kali menanyakan kapan operasi selesai pada perawat. “Apakah operasinya terganggu?” Pertanyaan itu terus bergelayut di benakku. Hingga waktu shalat ashar tiba, operasi suamiku akhirnya selesai.
Suamiku kembali ke kamar perawatan. Meski belum sadar sepenuhnya akibat obat bius, tetapi perasaanku sedikit lega. Satu step yang paling menakutkan berhasil dilewati dengan selamat.
Operasi suami sudah dilakukan, namun tubuhnya tetap belum bisa digerakkan. Sejumlah pen berbentuk metal dan screw terpasang di tulang punggung dan selangkangan suamiku. The six million dollar man yang dulu hanya kukenal dalam film, kini benar-benar terjadi pada suamiku.
Suamiku dirawat di Rumah Sakit yang sama dengan ayahnya, tetapi beda bangsal. Ayahnya di ICU karena stroke yang diderita, sedangkan suamiku di ruang perawatan patah tulang.
Meski berada di rumah sakit yang sama, tetapi mereka tidak bisa bertemu. Mas Arya sama sekali tidak bisa bergerak karena kelumpuhan yang diderita. Hingga akhirnya ayahnya menutup usia, suamiku tidak pernah menyaksikannya. Mas Arya hanya bisa meneteskan air mata saat kabar wafatnya sang ayah sampai ke telinganya.
Aku berusaha menghiburnya. “Mas sudah berusaha menjadi anak berbakti, tapi Allah berkehendak lain. Semoga beliau husnul khotimah,” ucapku.
Waktu pun terus berjalan. Tak terasa hampir dua bulan suamiku di rumah sakit. Biaya pengobatan pun semakin membengkak. Tabunganku kian hari kian menipis. Beruntung, perusahaan tempat suamiku bekerja banyak membantu membiayai. Kerabat dan sahabat juga tidak henti-hentinya mengulurkan bantuan. Meski banyak pihak yang membantu pembiayaan rumah sakit, kami tidak ingin berlama-lama di tempat itu. Aku, suamiku, dan juga anakku sudah sangat jenuh menghadapi situasi yang ada.
Mas Arya memaksa pulang, meski kondisinya belum terlalu baik, bahkan untuk duduk pun ia masih harus dibantu. Namun, aku tidak kuasa menahan keinginannya. Aku pun mencoba berdiskusi dengan dokter yang merawatnya. Setelah mendapat izin dokter, aku memutuskan membawa pulang suamiku.
Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku menerawang jauh ke depan. Berapa lama aku harus merawat suamiku, berapa lagi biaya yang harus kukeluarkan?
Aku benar-benar bingung, bahkan putus asa. Sebagai orang yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan pesantren, seharusnya aku tahu, Allah tidak menyukai orang yang putus asa. Namun, aku benar-benar merasa berat menghadapi semua ujian yang ada.
Sesampainya di rumah, aku harus melanjutkan tugas yang selama ini dijalankan perawat rumah sakit. Membuang urine dari kantong yang terpasang permanen, mengeluarkan dan membersihkan kotoran dari perut suami, mengganti alas tidur, hingga menyeka badannya menjadi tugas rutinku sebelum berangkat kerja. Semua itu harus kulakukan karena suamiku tak mampu bergerak sama sekali.
Tugas itu kukerjakan bukan hanya dalam waktu satu atau dua bulan, melainkan selama bertahun-tahun. Sebagai seorang istri, sekaligus ibu rumah tangga, tentu saja aku tidak hanya mengurus suami yang sakit. Aku juga disibukkan dengan urusan anak dan pekerjaan rumah lainnya.
Apa yang diderita suamiku terbilang sangat parah. Namun, luka batin yang ia rasakan jauh lebih menyakitkan, Hal itu tampak dari kegelisahan dan tatapan matanya yang kosong. Sebagai istri aku sangat paham dengan berbagai kekhawatiran yang menggelayuti pikirannya, Apalagi kelumpuhannya itu datang di saat ia tengah giat-giatnya bekerja.
Kelumpuhan itu menimpa Mas Arya di usianya yang sangat muda, 30 tahun, di masa produktifnya. Untuk menguatkan mentalnya, tak henti-hentinya aku membisikkan kata-kata yang menenangkan jiwanya.
“Mas Arya akan sembuh, Allah pasti menolong kita,” bisikku menyemangatinya.
“Bagaimana kalau aku lumpuh selamanya?” Pertanyaan itu berulang-ulang keluar dari mulut Mas Arya.
“Apa pun yang terjadi, aku tidak akan meninggalkan mas,” jawabku singkat. Kalimat itu selalu aku bisikkan ditelinga suamiku, meski terkadang aku ragu apakah aku kuat menghadapi semua itu.
Aku tahu, Allah swt. tidak akan menguji hamba-Nya di luar kemampuannya. Ajaran ini begitu indah didengar, begitu mudah diucapkan, tetapi terlalu berat untuk dilaksanakan.
Hari demi hari tekanan batin suamiku bertambah parah. Sekali waktu aku pernah meminta bantuan psikiater dari rumah sakit jiwa. Aku berharap psikiater tersebut mampu meringankan beban pikiran dan kejiwaan yang tengah dialami suamiku.
Psikiater yang secara khusus dihadirkan pihak rumah sakit mencoba membesarkan hatinya. Dengan suara pelan, ia mengajak bicara suamiku, memberikan motivasi agar sabar dan optimis menatap masa depan meski kondisinya lumpuh.
Sejumlah obat penenang juga diberikan untuk membantu kondisi mental suamiku yang terganggu. Kecelakaan itu tidak hanya merusak fisik suamiku. Tetapi psikisnya juga goyah. Akibat kecelakaan itu, Mas Arya bahkan kerap berhalusinasi.
Sayang, usaha ini tidak begitu membawa hasil. Suamiku yang masih dalam keadaan shock, belum bisa menerima kelumpuhan yang diderita. Program pengobatan psikiater pun kuhentikan. Selain kurang membawa hasil, aku juga mulai memikirkan untuk menekan biaya pengobatan.
Meski secara fisik lumpuh, tetapi fungsi otak suamiku sama sekali tidak terganggu. Di satu sisi hal ini merupakan anugerah luar biasa yang harus kami syukuri. Namun di sisi lain, otak suamiku tidak pernah berhenti bekerja.
Sebagai orang yang semasa sehatnya berkecimpung di dunia IT (Information Technology), ia terus berpikir dari bermimpi dengan berbagai peranti elektronik dan komunikasi. Dalam keputusasaannya, seolah ia tidak sadar bahwa keadaan keuangan kami sangat terbatas akibat biaya pengobatan yang terus dikeluarkan.
Suatu hari pernah ia melihat iklan handphone keluaran terbaru saat menonton televisi. Seolah tanpa perasaan bersalah, ia memaksa untuk dibelikan handphone tersebut. Untuk memenuhi keinginan ini sesungguhnya bukan hal mudah. Selain keuangan kami yang sangat terbatas, barang tersebut juga tidak bisa diperoleh di daerah kami. Aku harus pergi ke kota lain untuk mendapatkannya.
Susah payah, aku berusaha memenuhi keinginannya. Dengan sangat berat hati aku harus mengeluarkan uang yang sesungguhnya bisa dibelanjakan untuk hal-hal yang lebih mendesak. Aku melakukan semua itu dengan harapan depresi suamiku sedikit terobati.
Aku terus berupaya melengkapi berbagai hal yang bisa sedikit menghibur suamiku. Di kamarnya yang hanya berukuran 3×4, aku berusaha melengkapi AC, TV, radio komunikasi, handphone, tape recorder, seperangkat komputer, dan barang-barang lain yang diperlukannya.
Beruntung, sebelum kecelakaan, suamiku sempat merakit satu unit komputer dari komponen komputer bekas yang tidak terpakai. Sebagai orang IT, 1a memang ahli dalam bidang tersebut. |
Aku juga menaruh etalase yang berisi perkakas medis. Kantong urine, selang kateter urine, spuit, sarung tangan, masker, pampers, berbagai obat-obatan, hingga peralatan P3K tertata rapi di etalase. Sekilas, kamar suamiku mirip ruang perawatan di rumah sakit. Bahkan bau alkohol yang cukup menyengat, tercium jelas saat memasuki kamar tersebut. Aku berusaha merawat Mas Arya sebagaimana yang dilakukan tim medis saat masih di rumah sakit.
Meski semua usaha dan pelayanan sudah kulakukan, tidak serta merta aku menerima belaian dan kasih sayang, Bentakan dan kemarahan tanpa alasan yang jelas, kerap kuterima. Sedikit saja keinginannya tidak terpenuhi, Mas Arya akan mengatakan, “Maklum aku hanya orang lemah yang tidak menghasilkan apa-apa.”
Setiap kali mendengar kalimat itu, rasanya aku ingin sekali marah. Mas Arya seolah tidak mau tahu dengan kondisi kami yang serba terbatas saat itu. Kondisi depresi yang luar biasa membuat suamiku mudah tersinggung dan selalu ingin melampiaskan kekesalan pada siapa pun yang ada di sekelilingnya. Aku mencoba memahami semua itu agar bisa bertahan menghadapi semua keadaan.
Dua tahun pertama pasca kecelakaan, aku tidak hanya berperan ganda. Aku harus menjalankan multi peran dalam waktu bersamaan. Pencari nafkah keluarga, ibu bagi anakku, perawat, psikolog, bahkan menjadi ustadzah saat suamiku merasa diperlakukan tidak adil oleh takdir Tuhan. Semuanya kujalankan seorang diri.
Suatu malam, dalam sujud tahajudku, aku seolah protes pada Tuhan. Mengapa cobaan ini begitu berat, mengapa aku harus merasakan ini semua? Pelajaran apa yang ingin Engkau berikan pada kami? Pertanyaan ini seolah menjadi dialog batin antara aku dan Sang Khalik, setiap kali aku merasa tidak kuat menanggung beban yang ada.
Hingga akhirnya, aku menemukan jawaban atas pertanyaanku sendiri. Selama ini aku telah begitu banyak mendapatkan kenikmatan. Berbagai prestasi berhasil kuraih. Aku telah merasakan begitu banyak kesenangan yang belum tentu dirasakan orang lain. Orang tuaku yang merupakan pengasuh pesantren juga menjadi bentuk kenikmatan tersendiri.
Tradisi pesantren yang menempatkan keluarga kyai sebagai sosok yang dihormati, membuatku seolah hidup dalam strata tertentu. Alhamdulillah, semua kenikmatan itu tidak serta-merta membuatku lalai untuk bersimpuh di hadapan Sang Pencipta.
Mengenang semua itu, aku jadi teringat ajaran sabar yang diperoleh ketika masih di pesantren. Hakikat sabar ada empat. Pertama, sabar terhadap kenikmatan; kedua, sabar terhadap kemaksiatan; ketiga, sabar untuk taat terhadap perintah-Nya; dan keempat, sabar terhadap musibah yang diderita.
Barangkali aku telah berhasil melewati ketiga kesabaran yang ada, tetapi belum teruji dengan kesabaran keempat, sabar terhadap musibah. Menyadari itu, air mataku menetes membasahi sajadah. Aku tidak lagi bertanya mengapa dan mengapa musibah ini menimpaku. Doaku hanya satu, memohon diberi kekuatan untuk melewati masa-masa sulit yang menimpa keluargaku.
Setelah dua tahun hidup dengan pemberontakan batin, akhirnya aku mulai belajar menerima takdir Tuhan. Kekuatan batinku perlahan tumbuh berkat nasihat almarhumah ibuku. Masih jelas dalam ingatanku ketika beliau berpesan, “Buat anakmu bangga pada ayahnya, bagaimana pun kondisinya.”
Ibuku tidak memintaku untuk sabar merawat suamiku, Beliau juga tidak memintaku untuk menjadi istri yang tetap berbakti dalam segala kondisi.
Namun, pesan itu justru memiliki makna yang jauh lebih dalam. Aku mungkin tidak dapat membuat anakku berbakti pada ayahnya, jika aku sendiri tidak memberikan keteladanan. Sebuah keteladanan yang tidak hanya didasari kepura-puraan, tetapi dilakukan dengan penuh ketulusan.
Pesan almarhumah ibuku tertuju pada satu inti, aku harus bisa menjaga keutuhan keluarga meski suamiku tidak mampu lagi menjadi tiang utama.
Aku berusaha meyakinkan diriku sendiri bahwa musibah tidak akan berujung petaka selama Yang Maha Kuasa memberi jalan keluarnya. Aku pun mulai bangga dan mencoba berjuang untuk mengatasi keadaan. Segala angan yang telah tersusun, kukubur dalam-dalam. Kini aku hanya fokus pada satu hal, bertahan dan bangkit dat keterpurukan.
Penasaran dengan kelanjutan ceritanya? Tenang, Kamu bisa mendapatkan bukunya di Jakarta Book Review Store.
Jakarta Book Review memiliki banyak koleksi buku bermutu lain yang tentunya dengan harga terjangkau, penuh diskon, penuh promo, dan yang jelas ada hadiah menariknya. Tidak percaya? Buktikan saja.