PAHLAWAN KEHIDUPAN
Seorang ahli sejarah bernama Joseph Campbell pernah menulis di bukunya, The Power of Myth:
“Orang-orang sering berkata bahwa mereka sedang mencari hidup yang penuh makna. Akan tetapi, aku berpikir bukan hal tersebut yang benar-benar mereka cari. Aku berpikir, yang kita cari sebenarnya adalah pengalaman menjadi hidup (being alive).”
Joseph Campbell mungkin tidak lagi banyak dikenal. Tetapi jika tidak ada dirinya, mungkin Lion King dan Star Wars, serta film-film blockbuster Hollywood tidak akan pernah ada. Tidak ada Mulan, Frozen, Moana, Gundam, Spiderman, Avengers, Batman, The Matrix, Harry Potter.
Film-film yang menginspirasi kita semua ini menggunakan resep Hero’ Journey atau monomyth yang diformulasi oleh Campbell.
Dengan resep ini, maka kisah film-film epik ini seolah memanggil sesuatu dari dalam diri ketika menontonnya. Inilah fungsi kisah mitos atau legenda yang diadaptasi di film. Kita tersentuh oleh makna dan perjalanan yang disajikannya. Film-film ini menceritakan tentang pengalaman hidup yang dapat ditemukan ketika berpaling ke dalam diri.
Dalam hidup ini, kita sendirilah yang bertanggung jawab untuk menemukan kembali diri. Perjalanan hidup ini mesti kita jalani sendiri. Di dalam film Lord of the Rings, Ratu elf Galadriel berkata kepada Frodo, “Tugas pembawa cincin selalu sendiri, bahkan makhluk terkecil dapat mentransformasi perubahan dunia.”
Yang mengemban tugas sebagai pembawa cincin akan berjalan sendirian, namun bahkan tidak perlu mencari ke luar, cukup berpaling ke dalam diri. Mengenali bahwa kebahagiaan sungguh dekat, bahkan saking dekatnya, kita tidak bisa melihatnya. Cukup berpaling pada batin yang sadar, siuman, utuh; bukan batin yang berjalan otomatis bagaikan mayat hidup yang berjalan tertatih-tatih, yang terus bermimpi tentang satu atau dua identitas atau idealisme tertentu dan menjalani keseharian tanpa pernah mengenali dirinya sendiri.
Semua Pahlawan Bertemu Ketakutan Terbesarnya
Tidak semua orang mau menemukan diri sendiri, karena mereka takut. Takut identitas dirinya yang kaku dan keras menjadi runtuh sehingga terjatuh dalam jurang ketidaktahuan. Takut untuk bertemu sesuatu yang dianggap musuh terbesar di dalam diri.
Akan tetapi, kawan, menjadi takut itu baik-baik saja. Tidak tahu itu baikbaik saja. Saat ini juga adalah saatnya menghadapi ketakutan terbesar kita. Dan keberanian akan muncul setelahnya.
Masih ingat Harry Potter? Harry, yang masih remaja juga takut, tapi ia dengan gagah berani menghadapi Voldemort. Di Lord of the Rings, Frodo Baggins hampir putus asa, tapi ia berhasil menerjang Mordor dan menghancurkan cincin keserakahan yang membuat derita bertubi-tubi. Para Jedi didera oleh keraguan, tetapi menemukan keyakinan ketika bertemu dengan lawan terbesar mereka di dunia Star Wars.
Pernah ada cerita tentang seorang induk ayam yang gagah berani melindungi anaknya dari serangan elang, meski si induk sendiri sebenarnya sedang gemetar ketakutan dirinya terbunuh elang. Keberanian yang muncul dari kasih sepertinya dapat menemani kita meskipun dalam situasi yang sangat menyeramkan bagai neraka.
Keberanian tidak berarti Anda bebas dari rasa takut. Butuh rasa takut untuk memunculkan keberanian. Bucuh luka, untuk tahu rasanya terbebas.
Sisa dari buku ini adalah tentang menemukan Sang Pahlawan dalam dirimu sendiri, yang siap memeluk Iblis Naga ketakutanmu, betapapun dalamnya, betapapun besarnya, kawan, dengan kasih sayang.
Seorang penyair terkenal bernama Rainer Maria Rilke, pernah menulis surat,
“Senantiasa percayalah pada kesulitan, sehingga apa yang semula asing, akan berubah menjadi pengalaman yang paling intim dan tepercaya.”
“Bagaimana mungkin kita bisa lupa tentang naga-naga yang berubah menjadi seorang putri? Mungkin semua naga di kehidupan kita hanyalah para putri yang menunggu kita untuk bertindak dengan keindahan dan keberanian. Mungkin apa pun yang menakuti kita, pada esensinya, adalah sesuatu tak berdaya yang hanya menginginkan kasih sayang.”
Rilke melanjutkanaya,
“Jika ketakutan muncul di hadapanmu, lebih besar @aripada yang pernah kamu alami, sadarlah dan realisasikan Bahwa apa pun kejadiannya, hidup ini tidak akan pernah melupakanmu, hidup ini akan memegang tanganmu dan tidak ak membiarkanmu terjatuh.”
“Mengapa engkau menutup dirimu dari kesulitan, depresi, penderitaan, padahal engkau tidak pernah bakalan benar me apa yang sedang dikerjakan kondisi ini di dalam dirimu?”
“BERJUMPA”
Heksagram “Berjumpa” adalah Jalan Menuju Pembebasan. Mendayagunakan segala halang rintangan batin. Justru sebagai alat bantu menuju batin yang cerah. Berjumpa dan bersahabat dengan titik derita. Bersahabat dengan sedih, marah, dan takut. Semakin familiar dengan ini, mindfulness terbit. Tanpa mengenyahkan apa pun, kita bebas.
BAB 8
BUAH PIKIR TIDAK LEBIH DARI FUNGSI OTAK
Dari pemahaman akan hidup, sekarang kita mulai selangkah kembali ke dalam. Langkah pertama adalah mengenali cara bekerjanya tubuh dan bagian-bagiannya, termasuk otak.
Oak kita punya kondisi yang dinamakan Default Mode Network (DMN). DMN ini membuat kita acapkali mempunyai buah pikir tentang masa depan dan masa lalu, sebagai bagian dari mekanisme pertahanan hidup. DMN juga membuat aktivitas kita berada dalam pola tertentu sehingga menjadi mekanis dan autopilot.
Apa itu autopilot atau “tersetir secara otomatis’? Kita dapat kenali autopilot dengan mudah lewat aktivitas menyetir. Pada saat menyetir, tubuh dapat secara otomatis mengemudikan mobil, memilih jalan, dan menghindari mobil lain. Luar biasa, bukan? Tapi yang terjadi adalah karena semua serba otomatis, selama menyetir kita tidak ingat lewat jalur mana saja, karena selagi tubuh bekerja secara otomatis, pikiran juga otomatis melayang ke mana-mana karena merasa tidak butuh lagi bersama tubuh. Autopilot memungkinkan kita melakukan sesuatu secara otomatis tanpa kesadaran penuh. Ia membawa kita ke dunia imajinasi masa lalu dan masa depan. Tubuh dan pikiran terpencar. Hal ini sangat berbeda ketika kita pertama belajar menyetir: pikiran dan tubuh sepenuhnya bersama.
Pada saat mandi juga sama, kita otomatis menyiram air, bahkan kadang kita lupa apakah sudah menyabuni bagian tertentu, karena selama mandi kita otomatis hanyut dalam lagu atau rencana-rencana. Perhatian kita tidak lagi ada pada kenyataan apa yang tubuh lakukan.
Pada saat autopilot ini terjadi, bayangan pikiran masa lalu dan masa depan ini tampak begitu riil dan nyata. Berbagai pemikiran ini muncul karena neuron-neuron yang saling menyambar, terhubung, dan berkomunikasi di organ otak.
Pemikiran yang otomatis ini menjadi tampak nyata, namun belum tentu menjadi sebuah kebenaran. Kita tidak menyangkal buah-buah pikir ini. Semuanya nyata. Tetapi, buah pikir ini bukanlah kebenaran, sehingga tidak perlu kita yakini dalam-dalam.
Buah pemikiran hanyalah sekadar interpretasi, tidak lebih dari bayangan pikiran saja yang otomatis muncul. Bahkan buah pikir yang mengaku sebagai kebenaran, seolah mengatakan: “Aku bukanlah sekadar buah pikir.” Ini juga bayangan saja.
Menariknya, setiap pengalaman buah pikir selalu terkaic dengan bahasa manusia. Bahasa bisa berupa verbal dan visual. Sayangnya, kebanyakan isi dari buah pikir ini condong ke arah negatif:
“Ahhh ini terlalu sulit! Mengapa tidak berhasil ya? Padahal terlihat mudah. Mungkin aku tidak berbakat. Aku memang bodoh. Mungkin aku mesti berganti fokus?”
Bahkan ketika kita sedang berpesta dan berbahagia merayakan ulang tahun, pikiran bisa saja muncul: “Yah, seandainya Papa dan teman baikku ada di sini.”
Pendiri Acceptance and Commitment Therapy, Dr. Steve Hayes pernah menulis, “Sumber penderitaan manusia adalah bahasa, yang cirinya memiliki dua arah yng bertentangan.”
Bahasa-bahasa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi bahasa bisa membantu memetakan, membuat rencana, dan berkomunikasi. Di sisi lain, bahasa membuat kita menghakimi, membandingkan, dan tenggelam dalam masa depan dan masa lalu. Berkenaan dengan ini, ahli psikologi Matthew A. Killingsworth dan Daniel T. Gilbert dari Universitas Harvard mengatakan:
“Batin yang suka berkelana bukanlah batin yang bahagia, dan batin yang berada di momen kini adalah batin yang paling berbahagia.”
Pada tahun 2015 berdasarkan studi dari Microsoft Kanada, dirilis bahwa jangka waktu kemampuan manusia untuk fokus di momen kini menurun menjadi rata-rata hanya sekitar 8 detik! Kita sudah terbiasa untuk terditraksi dari momen kini karena kebiasaan multitasking di era teknologi informasi ini.
Cerita tentang ributnya otak kita ini juga datang dari Chris Evans, pemeran Captain America, yang mengisahkan pengalamannya bertemu seorang guru meditasi di Rishikesh, India. Mungkin kita mengira Captain America itu sekuat pejuang andal di film-film Avengers, akan tetapi cerita Chris Evans tidak seperti itu. Ketika ditawari main jadi si Steve Rogers, Chris terkena gejala kecemasan. Ia blak-blakan bercerita pada Mens Health. Lingkungannya terus mendorong Chris untuk meneruskan peran Captain America di film seri Marvel padahal ia sangat cemas setelah mendadak terkenal.
“Batinku sangat bising dan banyak sekali pertanyaan, @h guruku cuma nyeletuk, ‘Chris, ssshhh!!’ Akar penderitaan adalah mengikuti bisingnya otak dan [terjerumus] mendengarkannya,“ ungkap Chris.
“Ketika kebisingan otakku terdiam, aku merasa lebih hadir, lebih tenang. Aku bermeditasi hampir tiap hari. Tiap hari terasa lebih baik.”
Jika otakmu sama bisingnya, maka kita semua juga bisa mendapatkan pengalaman ketenangan yang sama seperti Chris Evans. Tidak ada perbedaan antara diri kita dengan Chris dalam menjadi lebih tenang dan mindful.
Saat suara-suara pemikiran dan perasaan otomatis berkecamuk, kita mengambil “selangkah mundur” ketika bermeditasi. Alih-alih terseret oleh mereka, kita melihat mereka seperti mobil-mobil yang otomatis bergerak melewati jalan. Kita bukan mobil-mobil itu. Mereka hanya lewat saja.
Setelah melihatnya, kita menerima. Ya biarkan saja mobil-mobil itu lewat. Buat ruang bagi segala perasaan, dorongan, dan pikiran yang menyakitkan. Apa gunanya melawan, menghentikan, atau lari dari mobil-mobil itu, toh semuanya otomatis? Yang ada kita malah babak belur. Semakin kita berpikis akan pikiran, semakin mereka menjadi besar dan mengerikan.
Buah-buah pikir itu juga seperti air terjun yang menimpa tubuh kita. Bisa kita bayangkan bagaimana volume air yang menghujani cubuh seolah menyakiti dan menekan kita hingga tenggelam. Tetapi kita bisa memilih untuk melangkah di balik air terjun. Di sana kita sekadar memandangi air terjun pikiran dan emosi, tanpa perlu khawatir terhujani.
Izinkan mereka ada, bersama dengan ruang yang dihasilkan oleh napas kita. Niscaya kita akan berevolusi. Bahkan kabar baiknya, meskipun terkena gangguan kecemasan, riset mengatakan serangan ini dapat mendorong manusia untuk berevolusi lebih lanjut, jika ditanggapi dengan tepat.
Bagaimana caranya? Rehat dan kembali ke kesadaran, jangkarkan rasa pada tubuh dan napas, buat jarak dengan pemikiran otomatis ini. Jadi, buah pikir hanya kita biarkan berlalu lewat. Kesadaran sekadar terjangkar di tubuh dan napas, bukan pikiran.
Dalam perhatian akan momen kini, kelegaan hadir. Buah pikir isinya ya selalu tentang masa depan dan masa lalu. Buah pikir selalu mengantsipasi yang belum terjadi dan menyesali yang telah berlalu. Selama terjerat buah pikir, kita belum pernah tahu rasanya bebas. Maka ketika sepenuhnya bersama dengan tubuh di saat ini, maka kelegaan hadir, kita tidak lagi terseret hanyut buah pemikiran. Bebas.
Pikiran Monyet Hasrat Kuda
Belakangan ini, kita melihat banyak video viral tentang bagaimana pikiran liar diumpamakan sebagai monyet yang nakal, yang suka bermain dan berulah di mana-mana. Otak kita benar-benar seperti kandang pikiran monyet. Kita hidup di sana dan diseret serta dipermainkan oleh monyet-monyet ini.
Istilah monyet ini berasal dari naskah-naskah di Tiongkok: yang bermakna “Pikiran seperti Monyet, Keinginan bak Kuda”
Perumpamaan ini tergambar secara visual lewat serial Kera Sakti atau Perjalanan Ke Barat, di mana kchadiran tokoh Gokong menggambarkan pikiran monyet dan kuda yang dinaiki oleh Bhiksu Tong adalah keinginan yang liar. Masihkah kalian ingat bagaimana Gokong dijinakkan oleh Bhiksu Tong? Apakah Bhiksu Tong mengusir dan membenci keliaran si murid? Tidak, bukan?
Bhiksu Tong bermeditasi, menaruh fokus perhatian pada doa-doa yang dilafalkannya. Setap saat, beliau berlatih kesabaran ketika Gokong berulah. Sang bhiksu menerima Gokong meskipun terkadang jengkel, menerima sang murid dengan apa adanya. Setiap saat gurunya itu menunjukkan rasa sayang.
Mungkinkah kita aktif menerima, legowo, ketika pikiran dan perasaan berkecambuk stres layaknya ulah Gokong? Ataukah kita lebih banyak berusaha menyingkirkan stres tersebut?
Seorang guru Zen, Suzuki Roshi berkata, “Cobalah memahami pencerahan dengan hadir bersama pikiran monyet”
Dengan, mindfulness, kita belajar untuk berdaulat menjinakkan monyet-monyet ini. Kita masih bisa berpikir dan mendayagunakan buah pikir, tanpa terjajah olehnya. Berpikir menjadi sebuah keputusan sadar yang diambil.
Realitas, sehingga lama-kelamaan kita akan terbiasa membiarkan pikir lewat begitu saja. Pikiran jelas terlihat sebagai sekadar aktivitas neuron. Bhiksu Tong juga lama-kelamaan terbiasa dengan ulah si Gokong dan mampu dengan terampil bersinergi dengannya.
Member Nama Pikiran
Hadir bersama pikiran monyet dapat dilakukan dengan kesadaran dan lembut. Kita bisa dengan lembut menamai pemikiran kita, ooh ada penilaian…, penghakiman…, memori…, atau rencana… sama seperti Bhiksu Tong memanggil dengan lembut nama Gokong.
Terkadang bisa juga kica langsung menamainya dengan Iebih sederhana: “pikiran…” atau “nyut”. Lebih sederhana pcnamaannya maka membuat pikiran lebih berjarak.
Setelah memberi jeda dengan menamainya, kita bisa membuka ruang yang lebih lebar dengan bersikap lembut dan perlahan terhadap bentuk-bentukpikiran tersebut.
Setelah itu kita kembali pada tubuh dan napas, dari dunia pikiran kita menuju ke dunia sensasi tubuh yang terasa langsung. Praktik ini memberi kesempatan untuk kita bersentuhan langsung dengan realitas apa adanya tidak hanyut dalam konten imajinasi pemikiran.