Sulit dipahami oleh orang luar, betapa tidak berharganya hidup manusia di kamp konsentrasi. Perasaan para penghuni kamp sudah bebal, dan tidak berharganya hidup manusia barangkali semakin disadari ketika konvoi yang membawa iring-iringan tawanan yang sakit disiapkan. Tubuh-tubuh kurus dari orang-orang yang sakit dilemparkan begitu saja ke atas kereta roda dua yang akan didorong oleh para tawanan sejauh beberapa mil, menembus badai salju, menuju kamp berikutnya. Jika si pasien meninggal sebelum kereta berangkat, dia tetap dilemparkan dan diberangkatkan—karena pengiriman harus sesuai dengan daftar! Itulah satu-satunya yang penting—daftar. Seorang tawanan diperhitungkan karena dia memiliki nomor tawanan. Semua orang benar-benar sudah berubah menjadi hanya sekadar nomor: hidup atau mati—sama sekali tidak penting; kehidupan si “nomor” sama sekali tidak relevan. Apa yang diawali oleh si nomor dan oleh kehidupannya lebih tidak berharga lagi: nasib, sejarah, dan nama orang tersebut. Dalam salah satu konvoi pasien sakit yang akan dipindahkan, saya bertindak sebagai dokter dan harus menemani mereka dari satu kamp di Bavaria ke kamp lain. Di antara pasien tersebut, terdapat seorang tawanan muda yang terpaksa meninggalkan saudaranya di kamp karena dia tidak termasuk ke dalam daftar. Tawanan tersebut tanpa berhenti memohon kepada penjaga kamp, sehingga si penjaga memutuskan untuk menukar tawanan.
Saudara si tawanan akhirnya berangkat, menggantikan tawanan lain yang pada detik terakhir memutuskan untuk tinggal. Yang penting daftar harus sesuai! Itu soal mudah. Saudara 5 tawanan menukar nomornya dengan nomor tawanan yang akhirnya memutuskan untuk tinggal.
Seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya, kami tidak memiliki satu dokumen pun; semua orang beruntung masih memiliki tubuh yang, bagaimanapun juga, masih bernapas. Semua hal yang terkait dengan diri kami, termasuk pakaian compang-camping yang menggantung di tubuh yang sudah seperti kerangka, hanya menarik perhatian saat kami ditugaskan untuk ikut memindahkan pasien yang sakit. Para basien yang berangkat akan diperiksa dengan cermat, untuk memastikan bahwa pakaian atau sepatu mereka tidak lebih baik dari pakaian kami. Bagaimanapun, nasib mereka sudah ditentukan. Namun, mereka yang masih tinggal di kamp dan masih bisa bekerja, harus memanfaatkan segala sesuatu yang bisa meningkatkan kemungkinan hidup mereka. Tidak ada lagi perasaan sentimental. Para tawanan menganggap nasib mereka sepenuhnya tergantung dari suasana hati para penjaga—pada permainan nasib—dan kondisi ini membuat mereka semakin tidak manusiawi, lebih dari yang dipaksakan oleh keadaan.
Di Auschwitz saya membuat aturan yang saya terapkam pada diri sendiri; aturan yang terbukti baik, dan kemudian diikuti oleh hampir semua tawanan lain. Secara umum, saya akan menjawab semua pertanyaan dengan jujur. Namun, saya tidak akan bicara tentang apa pun jika tidak secara khusus ditanyakan. Jika saya ditanya tentang usia, saya akan menjawab. Jika ditanya tentang profesi, saya akan menjawab “dokter”, tanpa menambahkan apa pun. Hari pertama, ketika kami melakukan apel pagi ai Auschwitz, seorang serdadu SS datang ke lapangan tempat apel dilangsungkan. Para tawanan diharuskan membuat beberapa kelompok: tawanan yang berusia di atas empat puluh, di bawah empat puluh, pekerja logam, montir, dan sebagainya. Kemudian kami diperiksa, kalau-kalau kami menderita hernia, dan beberapa tawanan harus membentu sebuah kelompok baru. Kelompok saya digiring menuju sebuah gubuk, dan di tempat tersebut kembali kami membentuk barisan. Setelah satu kali pengelompokan lagi, dan menjawab pertanyaan tentang usia dan profesi, saya dimasukkan ke dalam satu kelompok lain yang lebih kecil. Sekali lagi kami dibawa ke gubuk yang lain, dan membentuk kelompok baru. Pengelompokan seperti ini terjadi beberapa kali, dan saya menjadi sangat tertekan, ketika mendapati diri saya berada di tengah-tengah orang asing yang berbicara dengan bahasa yang tidak saya kenal. Setelah pengelompokan terakhir, saya mendapati diri saya dikembalikan ke kelompok awal yang tadi bersama saya di gubuk pertama! Mereka hampir-hampir tidak menyadari, bahwa selama beberapa waktu saya sudah beberapa kali berpindah dari satu gubuk ke gubuk yang lain. Tetapi saya sadar bahwa dalam beberapa menit tersebut takdir datang kepada saya dalam berbagai bentuk yang berbeda.
Ketika para tawanan yang sakit siap dikirim ke “kamp istirahat”, nama saya (artinya, nomor tawanan saya) tercantum dalam daftar, karena mereka membutuhkan beberapa dokter. Tetapi, tidak ada satu tawanan pun yang yakin bahwa tujuan konvoi ini benar-benar ke kamp istirahat. Beberapa minggu sebelumnya, konvoi serupa juga dipersiapkan. Waktu itu, semua orang juga berpikir bahwa mereka akan dikirim ke kamar gas. Ketika muncul pengumuman yang menyatakan bahwa tawanan yang mengajukan diri untuk kerja malam—pekerjaan yang sangat ditakuti—akan dicoret dari daftar tawanan yang akan dikirim, 82 tawanan segera mengajukan diri. Lima belas menit kemudian, pengiriman dibatalkan, tetapi, ke-82 tawanan yang sudah mengajukan diri untuk kerja malam tersebut tetap berada dalam daftar kerja malam. Dan untuk sebagian besar dari mereka, kerja malam identik dengan kematiam dalam jangka waktu dua minggu.
Sekarang, dan untuk kedua kalinya, pengiriman ke kamp istirahat kembali diatur. Sekali lagi, tidak ada orang yang tahu, apakah ini sekadar tipu muslihat untuk memanfaatkaa tenaga mereka yang sakit—meskipun hanya untuk 14 hari atau apakah mereka akan dikirim ke kamar gas, atau benar-benar dikirim ke kamp istirahat. Suatu malam, kira-kira jam 21.45, dokter kepala yang kebetulan menyukai saya dengan suara sungguh-sungguh berkata kepada saya, “Saya sudah mengumumkan di ruang pengawas bahwa nomor Anda masih bisa dicoret dari daftar; Anda diberi waktu sampai jam 22.00 sebelum memutuskan.”
Saya katakan kepadanya bahwa saya tidak bisa melakukan itu; bahwa saya harus membiarkan nasib mengambil jalannya sendiri. “Barangkali saya harus tinggal bersama teman-teman,” jawab saya. Matanya menatap iba, seakan-akan dia mengerti … Dia menyalami saya tanpa berkata apa pun, seakan-akan mengucapkan selamat berpisah, bukan perpisahan untuk menjalani hidup, tetapi perpisahan dari kehidupan. Perlahan-lahan saya berjalan kembali ke pondok saya. Di tempat itu, saya mendapati seorang teman baik sedang menunggu saya.
“Apakah kamu benar-benar ingin pergi bersama mereka?” tanyanya sedih.
“Ya, saya akan pergi.”
Airmata mengambang di pelupuk matanya, dan saya berusaha menghiburnya. Masih ada sesuatu yang harus saya lakukan—meninggalkan pesan:
“Dengar, Otto, jika saya tidak kembali lagi kepada istri saya, dan seandainya kamu bertemu dengannya, katakan kepadanya bahwa saya berbicara kepadanya setiap hari, setiap jam. Ingat itu. Kedua, katakan bahwa saya mencintai dia lebih dari siapa pun. Ketiga, katakan bahwa pernikahan kami yang singkat ini lebih berarti dari apa pun, meskipun kita semua harus berada di tempat ini.”
Otto, di mana kamu sekarang? Apakah kamu masih hidup? Apa yang terjadi padamu sejak saat terakhir kita bersama? Apakah kamu bisa bertemu lagi dengan istrimu? Ingatkah kamu, bagaimana saya memaksa kamu menghafal pesan-pesan saya—kata demi kata—di tengah isak tangismu yang seperti anak kecil?
Keesokan harinya saya berangkat. Keberangkatan kali ini bukan tipuan. Kami tidak menuju ke kamar gas, kami benar-benar menuju ke kamp istirahat. Mereka yang kasihan kepada saya, dan tetap tinggal di kamp ternyata dilanda wabah kelaparan yang bahkan lebih parah daripada di kamp Saya yang baru. Mereka berusaha keras untuk bertahan, tetapi itu hanya semakin memastikan nasib mereka. Beberapa bulan kemudian, yaitu setelah pembebasan, saya bertemu dengan seorang teman yang berasal dari kamp lama. Dia menceritakan pengalamannya—dalam tugasnya sebagai polisi kamp—saat mencari sepotong anggota badan yang hilang dari satu tumpukan jenazah. Dia menemukannya di dalam panci, sedang dimasak. Kanibalisme terjadi di mana-mana Saya meninggalkan kamp tepat pada waktunya.
Cerita ini mengingatkan saya pada cerita tentang Dewa Kematian dari Teheran. Suatu hari, seorang bangsawan Persia yang kaya-raya sedang berjalan-jalan di taman bersama dengan salah satu pelayannya. Pelayan itu menangis, dan mengatakan bahwa dia baru saja bertemu dengan Dewa Kematian yang sudah mengancamnya. Dia memohon kepada majikan untuk memberinya kuda Yang tercepat supaya dia bisa dengan cepat melarikan diri ke Teheran, yang bisa dicapainya malam itu juga. Sang majikan memenuhi permintaannya, dan si pelayan melarikan kudanya dengan cepat. Dalam perjalanan kembali ke rumahnya, si majikan bertemu langsung ke Dewa Kematian dan bertanya, “Mengapa kamu menakuti dan mengancam pelayan saya?” “Saya tidak mengancamnya; saya hanya terkejut menemukan dia masih berada di sini, padahal saya sudah membuat rencana untuk bertemu dengannya di Teheran malam ini,” jawab sang Dewa Kematian.
Para tawanan terlalu takut untuk membuat keputusan dan prakarsa, apa pun bentuknya. Ketakutan tersebut muncul karena mereka sangat percaya bahwa hidup seseorang dikendalikan oleh takdir, bahwa mereka tidak boleh berusaha untuk mengubah nasibnya dengan cara apa pun, dan membiarkan nasib mengambil jalannya sendiri. Selain itu, muncul sikap apatis yang sangat memengaruhi perasaan tawanan. Kadang-kadang keputusan cepat harus dibuat, keputusan yang menentukan hidup atau mati. Namun para tawanan lebih suka membiarkan takdir membuat pilihan untuk mereka. Sikap untuk menolak komitmen seperti ini tampak nyata saat seorang tawanan harus memutuskan apakah dia akan berusaha lari atau tetap tinggal. Pada menit-menit terakhir, ketika dia harus memutuskan—dan biasanya benar-benar dalam hitungan menit—si tawanan terjebak dalam siksaan neraka. Haruskah dia mencoba melarikan diri? Haruskah dia mengambil risiko itu?
Saya sendiri pernah merasakan siksaan seperti ini. Ketika garis depan pertempuran semakin mendekat, saya punya kesempatan untuk lari. Seorang rekan yang harus mengunjungi pondok-pondok di luar kamp sebagai bagian dari tugas medisnya, mengajak saya untuk lari bersamanya. Dengan berpura-pura perlu konsultasi untuk menyembuhkan pasien yang penyakitnya membutuhkan saran spesialis, dia menyelundupkan saya. Di luar kamp, seorang anggota gerakan bawah tanah asing akan menunggu untuk memberi kami seragam dan sejumlah dokumen. Di saat-saat terakhir muncul kesulitan teknis, yang memaksa kami kembali ke kamp. Namun kesempatan tersebut kami gunakan untuk mencari perbekalan—beberapa buah kentang yang sudah busuk—dan sebuah ransel.
Kami masuk ke dalam sebuah gubuk di kamp wanita yang sudah kosong, karena para tawanan wanita sudah dikirimkan ke kamp lain. Gubuk itu tampak kacau; jelas bahwa beberapa tawanan wanita berhasil memperoleh perbekalan, kemudian lari. Ada kain-kain kotor, jerami, makanan yang busuk, dan beberapa jenis alat masak yang sudah rusak. Beberapa mangkuk tampak masih cukup baik, dan bisa sangat berguna untuk kami, tetapi kami memutuskan untuk tidak membawanya. Kami tahu, bahwa akhir-akhir ini, ketika keadaan sudah menjadi semakin parah, mangkuk-mangkuk tersebut tidak hanya digunakan sebagai tempat makanan, namun juga sebagai wadah mencuci dan pispot (Peraturan melarang keras keberadaan perlengkapan seperti itu di dalam gubuk. Tetapi, beberapa tawanan terpaksa melanggarnya, terutama para pasien penyakit yang terlalu lemah untuk pergi ke luar meskipun dengan bantuan). Sementara saya mengintai di luar, teman saya masuk ke dalam gubuk; sebentar kemudian dia kembali dengan sebuah ransel yang dia sembunyikan di balik jaketnya. Dia melihat sebuah ransel lain di dalam, tetapi saya harus mengambilnya sendiri. Jadi kami bertukar tempat, dan saya masuk. Ketika saya sedang mencari di antara tumpukan sampah, saya menemukan ransel tersebut dan bahkan sebuah sikat gigi; tiba-tiba saja, di antara barang-barang yang ditinggalkan, saya melihat tubuh seorang wanita.
Saya lari kembali ke gubuk saya untuk mengumpulkan semua harta benda saya; mangkuk makan, sepasang sarung tangan sobek yang saya “warisi” dari seorang pasien tifus yang sudah meninggal, dan beberapa potongan kertas penuh catatan (di atas potongan-potongan kertas tersebut, seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya, saya menuliskan kembali naskah saya yang hilang di Kamp Auschwitz). Dengan cepat saya memeriksa para pasien saya, yang terbaring berimpitan di atas papan reyot di kiri-kanan gubuk. Saya tiba pada satu-satunya pasien yang sebangsa dengan Saya, pasien yang hampir mati, yang hidupnya saya coba selamatkan meskipun kondisinya sangat parah. Niat untuk lari tidak saya ceritakan kepada siapa pun, tetapi, sepertinya dia melihat sesuatu yang berbeda (barangkali saya tampak sedikit gugup). Dengan suara lelah dia bertanya, “Anda juga akan tari?” Saya menyangkal, tetapi sulit untuk menghindari tatapan matanya yang tampak sedih. Setelah selesai memeriksa semua pasien, saya kembali kepadanya. Sekali lagi dia menatap saya dengan pandangan putus asa; saya merasa dituduh. Rasa tidak nyaman yang saya rasakan sesaat setelah saya mengatakan kepada teman saya bahwa saya akan melarikan diri bersamanya, terasa makin mengemuka. Tiba-tiba saja saya memutuskan untuk menggenggam takdir di tangan saya, satu kali saja. Saya lari ke luar pondok dan mengatakan kepada teman saya bahwa saya tidak jadi pergi bersamanya. Begitu saya katakan dengan tegas bahwa saya sudah mengambil keputusan untuk tinggal bersama para pasien saya, perasaan tidak nyaman yang tadi saya rasakan, segera sirna. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi pada hari-hari berikutnya, tetapi saya merasakan kedamaian batin yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Saya kembali ke gubuk, duduk di Papan tepat di kaki teman sebangsa saya, dan berusaha menenangkannya; kemudian saya bercakap-cakap dengan yang lain, berusaha menenangkan para pasien yang sedang setengah sadar.
Hari terakhir kami di kamp konsentrasi pun tiba. Ketika medan pertempuran sudah semakin dekat, terjadi pemindahan tawanan secara besar-besaran ke kamp-kamp lain. Para penguasa kamp, yaitu para Capo dan juru masak sudah melarikan diri. Hari ini datang perintah yang mengatakan bahwa saat matahari terbenam kamp kami harus benar benar sudah kosong. Bahkan beberapa tawanan yang tersisa (tawanan yang sakit, beberapa dokter, dan beberapa “perawat”) harus ikut meninggalkan kamp. Malam harinya, kamp tersebut akan dibakar. Sore hari, truk-truk yang akan mengangkut tawanan yang sakit belum juga datang. Sebaliknya, pintu-pintu masuk ke dalam kamp tiba-tiba saja ditutup, dan pagar-pagar kawat berduri diawasi dengan ketat, sehingga tidak ada orang yang bisa melarikan diri. Sepertinya tawanan yang tersisa ditakdirkan untuk dibakar bersama kamp tersebut. Untuk kedua kalinya, teman saya dan saya memutuskan untuk lari.