Putus Asa
Galaksi berlari dengan hebat, napasnya menderu. Revan ikut menyusul di belakang. Ia kesulitan menyeimbangi kecepatan Galaksi. Wisma menahan Aurel yang hendak menyelamatkan Sea yang tersapu oleh ombak.
“GAL,” pekik Aurel khawatir.
Galaksi tidak peduli sayup-sayup teriakan mereka yang bercampur dengan angin laut. Matanya hanya fokus menatap tubuh Sea yang terseret semakin jauh dan bibir pantai. Lala menangis di pelukan Cimi. Baju wanita itu sudah basah. Bagaimana tidak, baru saja dirinya tertawa bersama dengan Sea; saling menyiprat air laut, lalu berlari seakan-akan dikejar oleh ombak dan sekarang Sea sedang berjuang hidup dan mati di sana. Frans dan yang lain datang dari arah utara dan selatan. Beberapa anak lainnya berlari, saling bertanya, tetapi semuanya bungkam.
“Kok bisa sih! Kenapa?” Marah Revan dengan napas tersengal-sengal. Ia baru saja tiba. Kakinya memang sedikit payah dalam berlan.
“Kak, hiks hiks.” Hanya suara tangis Lala yang terdengar.
“SEA!” Teriak Erik ingin menyusul namun ditarik oleh Revan. Napas mereka seling menderu.
“Jangan gegabah, ini ombak lagi minta tumbal. Udah Iu di sini kita perhatiin Galaksi!” Ujar Revan.
“Wis, itu Galaksi, gue takut,” lirih Aurel.
Galaksi itu penakluk lautan, udah tenang aja,” ujar Wisma menghibur Aurel. Tapi hatinya pun menolak untuk tenang. Tetap saja Galaksi adalah sahabatnya dan alam bukan sesuatu yang bisa dikendalikan.
Sea tidak berbicara. Dirinya diam. Sea bisa berenang namun bayangan menyakitkan itu mulai bermain di kepalanya. Ini yang membuat Sea sulit hendak melakukan apa pun. Ia diikat oleh hal pahit yang muncul secara nyata dalam penglihatan kepalanya.
“SEA… TANGAN…!” Teriak Galaksi mencoba menggapai Sea. Sea tetap diam, ia tidak peduli dengan pertolongan Galaksi. Galaksi semakin menatap tajam dirinya, “ARAHIN TANGAN KAMU!” Teriak Galaksi lagi. Suaranya berlomba dengan deru ombak. Sea menggeleng, pertanda ia menolak apa yang Galaksi katakan. Galaksi semakin berang.
Rey kembali bersama dengan petugas pantai. Pria ini lebih berakal dari pada Revan dan Wisma. Terbukti ia berlari meninggalkan pantai dan mencari pertolongan dibanding hanya melihat saja. Galaksi bertikai hebat dengan gulungan ombak, lalu kembali menyelam. Sekali tarikan, Galaksi berhasil memegang bagian baju Sea. Lalu ia mencoba mengapai tangan Sea, namun ombak kembali melempar mereka agak sedikit jauh dari titik awal. Lagi-lagi Galaksi bergulat dengan air laut.
“SEA! TANGAN KAMU!” ‘Teriak Galaksi ketika wajahnya berada di atas permukaan Air.
Berhasil. Sea berada dalam genggaman Galaksi. Petugas pantai melempar baju pelampung dan Galaksi menangkapnya. Bibir Sea pucat, matanya mulai mengabur. ‘Tapi dirinya diam. Tatapannya kosong. Dirasa aman, petugas ikut menghampiri Galaksi yang sudah mulai kewalahan melawan ombak dengan membawa Sea. Tidak ada pergerakan dari Sea, Galaksi mengerahkan tenaganya untuk menggendong Sea. Untunglah. petugas sudah mencapai mereka.
Lala menangis histeris bersama dengan Aurel. Kini, Sea sudah dikerubungi banyak orang dengan tatapan cemas. “Bawa ke posko aja A’a, P3K di sana,” ujar petugas. Kini Frans dan Rey sudah kembali membawa tandu.
“Sebentar,” ujar Galaksi. Napasnya masih menderu. Galaksi mendekatkan telinganya di hidung Sea, ia semakin panik kala tidak mendengar deru udara. Tak lama, ia mengambil tangan Sea dan memeriksa nadinya, Tidak terasa juga.
“Rel, bantu gue. Tolong lakukan tindakan CPR,’” ujar Galaksi pada Aurel.
Aurel yang paham dengan apa yang Galaksi maksud memilih untuk mendekat lalu mulai meletakkan kedua telapak tangannya dan menekan bagian tengah dada Sea. Galaksi menghitung dua puluh detik. Lalu Aurel melakukannya lagi.
“Napas buatan aja, Bang,” ujar Cimi panik. Pasalnya jika CPR (cardiopulmonary resuscitation) atau resusitasi jantung paru dilakukan, artinya denyut nadi Sea sudah tidak lagi dirasa.
“Coba lagi Rel,” ujar Galaksi semakin panik, ia masih mengecek nadi Sea. Aurel mengangguk lalu mengulanginya sebanyak empat kali dalam tempo dua puluh detik sekali.
“Uhuk-uhuk,” Sea terbatuk dengan air yang keluar dari mulutnya. Semua mendadak bernapas lega. Galaksi menghela napasnya panjang. Segera Aurel membantu Sea untuk duduk dengan memapah setengah badannya.
“Ya Tuhan, gue baru bisa ngirup udara,” ujar Revan. Bulir keringat dingin hinggap di keningnya. Dirinya sedari tadi diam karena tidak tahu hendak berkata apa.
“Lu bego atau gimana sih!” Ketus Erik.
“Lu kata laut kaya kolam renang?” Omel Erik. Sea tersenyum sendu.
“Rey, bawa,” ujar Aurel masih setengah panik.
“Enggak, Kak, Sea bisa jalan sendiri.”
“Berhenti keras kepala Sea!” Ujar Lala. Sea menengadah dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Gapapa, La, aku beneran udah bi—“
“BERHENTI EGOIS BISA?” Teriak Galaksi. Suasana menjadi mencekam.
“Semua balik ke tenda, siap-siap untuk pulang, ada yang mau saya bicarakan dengan Sea!” Baru saja Aurel hendak membuka mulutnya, Galaksi kembali berkata bahwa ucapannya adalah hal yang tidak bisa dibantah.
Sudah lebih dari lima belas menit Galaksi dan Sea saling diam. Duduk berjarak dengan keadaan hati yang berbeda. “Kenapa kamu nolak saat saya tolong?” Tanya Galaksi. Sea diam, matanya masih saja memperhatikan gerak ombak.
“KAMU ITU KENAPA SIH!” Bentak Galaksi lagi. Ia benar-benar tidak tau kenapa bisa selepas kontrol ini.
“Kamu bisa berenang kan? Tapi kenapa gak coba menyelamatkan diri sendiri. Bahkan di saat saya berjuang antara hidup atau pulang tinggal nama, kamu tetap menolak pertolongan saya. SAYA LAGI BICARA SEA!” Bentak Galaksi lagi.
“BISA UNTUK TIDAK EGOIS?”
Sea dengan tatapan kosongnya menarik napas, “Harusnya biarin aja. Biar aku susul Papa.”
“SEA!” Bentak Galaksi lagi. “BERHENTI INGIN MATI DI SAAT BANYAK RAGA YANG MINTA KESEMPATAN UNTUK HIDUP LAGI!”
“Dan berhenti untuk ikut campur,” jawab Sea.
“Bagaimana saya bisa tidak ikut campur di saat kamu hendak bunuh diri dalam kegiatan yang saya pimpin? Apa kamu meninggalkan otakmu di Jakarta sampai kamu tidak lagi bisa berpikir bagaimana kelanjutan masa depan saya jika kamu mati hari ini? Bagaimana psikis saya jika saya gagal bertanggung jawab atas seluruh nyawa yang saya bawa ke sini? Kamu mikir sampai sejauh itu gak?”
Lalu mereka diam. Galaksi melihat sudut mata Sea yang memancarkan banyak kesedihan, tangannya terangkat mengacak rambut Sea,
“Kamu itu kenapa?” ‘Tanya Galaksi lembut. Hancur sudah pertahanan diri Sea, ia menangis menutup wajahnya. Tidak tanggung-tanggung, tangisnya mengeluarkan suara keputusasaan.
“Harusnya, biarin Sea pergi.” Tubuh Sea bergetar.
Galaksi berdiri dan duduk lebih dekat dengan Sea. Ia menarik Sea ke dalam rengkuhannya. “Dan membuat saya hidup dalam belenggu kehilangan? Belum juga saya miliki kamu, dan harus kehilangan, begitu? Sea, dengar baik-baik, saya tidak akan mengulangi perkataan saya. Mulai detik ini, tetaplah hidup demi saya. Kalau kamu kehilangan arti rumah, kamu bisa jadikan saya menjadi tempat untuk kamu pulang. Kalau kamu butuh keluarga, keluarga saya terbuka untuk kamu. Jangan pernah sembunyi di bumi, Sea, kesedihan akan tetap menemuimu,” ujar Galaksi.
Sea semakin terisak, kali ini ia sudah membalas pelukan Galaksi. “Sea gak niat bunuh diri. Tapi, Sea hiks hiks hiks, Sea rasa ini adalah kesempatan untuk Sea bertemu Papa.”
“Gak gitu caranya, Sea. Setiap orang ada masanya dan setiap masa ada orangnya. Jika seseorang pergi dari hidupmu untuk selamanya, artinya masanya sudah berakhir. Dan akan ada pendatang baru yang nanti mengisi hidupmu. Siklus itu terus terjadi. Hidup ini cuma ibarat lembaran, akan selalu ada sub judul baru dengan tokoh-tokoh baru.
Jangan memaksakan waktu, semua udah diatur. Kamu hanya harus belajar arti penerimaan. Terima kalau masanya sudah berakhir dan terima kenyataan kalau hidup terus berputar,” ujar Galaksi mengusap kepala Sea.
“Sea tau, Sea paham tapi kenapa semuanya pergi di waktu yang sama? Kenapa Sea dibiarkan kehilangan pijakan secara mendadak.”
“Tidak ada yang abadi di muka bumi ini, pun kamu, ataupun saya. Seingin-inginnya manusia untuk terus saling menemani, ada waktunya untuk mereka merasakan patah di kalimat pisah.” Sea menghamburkan tubuhnya lagi di pelukan Galaksi. “Kamu hanya perlu yakin diri kamu, kalau akan tiba waktunya kamu bahagia. Semua musim di kehidupan pasti ada waktunya, Ya.”
“Terima kasih, Kak,” lirih Sea. Galaksi mengangguk, membiarkan Sea terus menangis di rengkuhannya.
“Sea? Jika bersama bisa membuatmu lebih kuat, kenapa kamu masih ragu untuk mengizinkan saya menetap di kehidupanmu?”
“Kak? Makasih,” ujar Sea kembali merebahkan kepalanya di bahu kiri Galaksi. “Makasih udah nolong Sea. Makasih udah mau mencoba yakini Sea kalau masih ada yang sayang sama Sea. Sea udah yakin Kak, buat terima Kakak, tapi tolong temenin Sea ngelewatin semuanya.”
Galaksi tidak bisa mengekspresikan wajah bahagianya, ia terus tersenyum dan sesekali menggigit bibir bawahnya, lalu tangannya tidak tinggal diam untuk mengacak rambut Sea.