Persaingan Merebut Hati Duren
“El, Tante pulang dulu, ya,” pamit Friska seraya membereskan tasnya yang ada di meja ruang tamu. Friska sudah selesai dengan tugasnya di sini. Tidak ada lagi alasan untuknya berada di sini. Terlebih lagi Abi seperti tidak menginginkan kehadirannya.
El yang sedang bermain Lego langsung berlari ke arah Friska. Tak peduli mainan legonya hancur karena tersenggol kakinya. El langsung memeluk kaki Friska. Menguncinya hingga Friska tidak bisa berjalan ke mana-mana.
“Ndak boleh,” larang El.
Friska menunduk, menatap El dengan senyuman. “Tante harus pulang, kan sudah ada Papa El di rumah.”
“Ikut, ikut, ikut Tante,” rengek El menggoyang-goyangkan badannya.
“Nanti Papa sendirian, loh.”
El terdiam lalu tak lama suara knop pintu yang terbuka membuat EI dan Friska menoleh ke arah kamar Abi. El langsung merapatkan badannya ke Friska. Kini Abi terlihat rapi dengan kaus hitam polos dan celana khaki. Wajahnya juga terlihat segar dan tak ada bulu-bulu halus lagi di daerah dagunya. Laki-laki berkaus hitam itu terlihat dua kali lipat lebih ganteng. Pria itu sukses membuat Friska ambyar sejak pertama kali melihatnya keluar dari kamar.
“Kamu mau ke mana?” Tanya Abi pada Friska yang tak berkedip sama sekali memandangnya.
“S-saya mau pulang, Pak,” jawab Friska berusaha mengontrol ledakan di dalam hatinya.
Abi berdecak pelan, “Saya sudah bilang jangan panggil saya Bapak.”
“Terus apa?”
Abi terlihat berpikir, dia memandangi El yang malah memeluk kaki Friska sambil menggesek-gesekan jari mungilnya di celana jeans Friska.
“Kak Abi?”
“Bang Abi?”
“Mas Abi?”
“Uda’ Abi?”
“Brother Abi?”
Friska mengabsen semua panggilan yang diketahuinya dengan satu tarikan napas. Abi sampai memandangnya dengan dahi berkerut.
“Mas Abi kedengarannya lebih baik,” ceplos Abi sontak membuat Friska melebarkan matanya sempurna. Jantungnya langsung menunjukkan reaksi tak biasa. Mendengar Abi memilih sendiri untuk nama panggilannya membuat seluruh bulu kuduk Friska berdiri.
Wajah blasteran Abi mau dipanggil mas. Dengan kakak laki-lakinya saja, Friska tidak memanggil seperti itu. Beberapa jam yang lalu, dia terlihat seperti iblis bertanduk. Tapi sekarang, setelah mendekam di kamarnya beberapa jam, dia keluar seperti seorang dewa dengan kilauan cahaya di sekitarnya. Apa di dalam kamarnya ada jimat atau sesuatu yang membuatnya bisa berubah?
“Bapak sehat?” Tanya Friska dengan mata besarnya yang melebar.
Abi mendengus, “Saya sehat dan jangan panggil saya Bapak!”
Friska langsung merapatkan bibirnya. Dia belum terbiasa dengan panggilan baru itu. Lidahnya yang tak bertulang ini belum terlatih.
“El,” panggil Abi.
“Nunduk, Pa—Mas Abi.” Friska buru-buru meralat panggilannya setelah Abi melemparkan lirikan tajamnya. Sepertinya Abi benar-benar dapat hidayah setelah beberapa jam di dalam kamarnya. Buktinya, dia mau menuruti apa yang diucapkan Friska. Bukan hanya sekadar menunduk, Abi pun berjongkok di depan EI disertai dengaan senyuman dan sorot mata yang lebih hangat.
“El nggak mau peluk Papa? Nggak kangen sama Papa?” Tanya Abi membuat El melirik-lirik kecil ke arahnya. Rupanya El masih menyimpan rasa takut pada papanya. Friska mengerjapkan matanya bingung. Dia menatap Abi dengan pandangan bingung, kagum, sekaligus terkejut.
“M-mas Abi, nggak papa, kan? Nggak kerasukan setan, kan?” Tanya Friska memiringkan kepalanya agar bisa melihat wajah Abi. Caranya memanggil Abi masih terdengar kaku. Abi mengangkat wajahnya, lalu menggeleng dengan wajah datarnya. Friska jadi ngeri sendiri. Biarpun tidak kerasukan, tapi begini saja Abi sudah lebih seram.
“El sama Papa, ya. Tante mau pulang,” bujuk Friska seraya melepaskan perlahan tangan El yang melilit kakinya.
El menggeleng kuat. Makin erat memeluk kaki Friska. “Ndak. Ndak mau!”
Melihat El yang tidak mau melepaskan kaki Friska membuat Ab! memejamkan matanya sejenak disertai helaan napas kecil. Ini memang salahnya, dia yang sudah membuat El menjadi jauh dan berjarak dengannya. Abi pun sudah merenung dan memikirkan apa yang harus dia lakukan untuknya dan El. Abi sudah memutuskan untuk membangun hubungan lebih baik dengan El. Terlebih lagi, El anak semata wayangnya. Andana pasti sedih melihat sikapnya selama ini pada El.
“Ikut pulang Tante. Ikut. Ikut. Ikut,” rengek El mulai mengeluarkan suara yang bergetar.
“Rumah El kan di sini sama papa,” Friska mencoba memheri pengertian pada El. Namanya anak-anak, kalau dia sudah memutuskan sesuatu pasti akan keras dengan keputusannya. Apalagi kalau sudah takut dan tidak menyukai sesuatu.
Melihat seberapa kerasnya penolakan El, hati Abi berdenyut ngilu. Anaknya, darah dagingnya. Lebih memilih bersama orang lain daripada dirinya. Hati Abi terluka, tapi dia juga tidak bisa menyalahkan El. Ini adalah kesalahannya. El begini karena sikapnya selama ini yang tidak mencerminkan menjadi seorang ayah yang baik.
“Kamu sibuk?” ‘Tanya Abi pada Friska seraya berdiri dari posisinya. Friska menggulirkan matanya ke segala arah berpikir sekaligus menghindari tatapan Abi.
“Nggak, Mas Abi.”
“Ikut saya ke mall. Gantiin baju El,” titah Abi.
“Pak, eh, Mas, serius? Mas Abi ngajak saya juga?” Tanya Friska menunjuk dirinya sendiri.
“Iya, kita lihat Jessica manggung,” jawab Abi yang seketika membuat imajinasi Friska tentang mereka yang seperti keluarga bahagia jalan-jalan di mall buyar seketika. Jessica seperti monster mimpi buruknya.
“Jessica. Jessica. Jessica,” gerutu Friska sebal seraya mengangkat El ke gendongannya. Untung Abi tidak mendengarnya.
“Ndak jadi pelgi?” Tanya El menatap Friska dengan mata bulatnya yang masih polos itu.
“Nggak. Kita mau jalan-jalan ke mall,” jawab Friska mendirikan El di atas ranjang. Friska berjalan menuju lemari baju EI, mengambil kaus polos lengan panjang berwarna biru dan celana kain panjang berwarna cokelat. Tak lupa topi hitam yang semakin memperimut penampilan El.
“Anak masa depan gue cakep amat sih. Mau diapain juga cakep,” kagum Friska pada wajah ganteng El yang sudah terlihat sejak dini
“Bibit unggul emang.”
“Bibit unggul,” El mengikuti apa yang barusan Friska ucapkan.
“Iya, El bibit unggul cowok keren masa depan,” kata Friska seraya memakaikan celana El. “Cium dulu,” katanya menunjuk-nunjuk pipi kirinya. El dengan senang hati mendaratkan sebuah kecupan di Pipi Friska. Setelah mendapatkan ciuman dari El, Friska mengangkat kedua tangannya ke atas dengan wajah semringah. Berlagak seperti baterai di dalam tubuhnya sudah terisi penuh.
“Langsung full baterainya ini,” cengirnya yang membuat El menarik wajah Friska, lalu menghujaninya dengan ciuman bertubi-tubi hingga Friska tertawa geli.
“Bial full telus,” ucap El di sela-sela ciumannya.
“Hahaha… udah, udah. Geli.”
Dari luar kamar, Abi yang sedang memandangi layar ponselnya langsung terdiam mendengar suara gelak tawa dari dalam kamar EL. Selama El tinggal di sini, dia tidak pernah mendengar El tertawa selepas itu. El hanya tersenyum saat menonton kartun. Selebihnya, El hanya diam. Saat makan, El juga tidak banyak bicara dan melakukannya sendiri biarpun makanannya berceceran. Abi benar-benar membiarkan El melakukan semuanya sendiri. Tapi, kehadiran Friska seperti memberi warna lain pada dirinya dan El. Gadis itu seakan memangkas jarak yang ada, sampai akhirnya perlahan Abi mulai mendekat.
“Apa memang sudah waktunya, Na?”
Ternyata Abi memang sudah mendapatkan kursi spesial dari Jessica yang dekat dengan panggung. Padahal acara ini hanya acara puncak dari sebuah brand kecantikan. Usut punya usut ternyata Abi termasuk salah satu investor. Di sisi lain, El tidak mau duduk sendirian. Dia duduk di pangkuan Friska dengan gorengan lumpia di tangannya. Acara ini sudah berlalu setengah jam. Friska sudah sangat bosan berada di sini. Penting banget gue lihat dia! Batin Friska.
“Mas Abi,” panggil Friska lalu melipat bibirnya menahan senyum. Entah kenapa setiap kali dia memanggil Abi seperti itu bibirnya selalu ingin tersenyum. Friska tidak bisa berbohong kalau dia benar-benar senang. Rasanya seperti dia memiliki kedekatan khusus dengan Abi.
“Iya,” balas Abi tanpa menoleh sedikit pun ke arah Friska.
“Aku bosen,” ucap Friska.
Abi yang semula hanya menatap layar ponselnya mulai menoleh ke arah Friska dengan alis sebelah yang terangkat naik. Aku? Entah kenapa terdengar menyenangkan di telinga Abi.
“Ajak El jalan-jalan aja. Nanti saya nyusul,” saran Abi membuat Friska memajukan bibirnya perlahan. Dia kecewa Abi tidak mengikutinya menggunakan aku.
“Nggak papa?” Tanya Friska. Biar sedikit kecewa, Friska memakluminya, Abi memang tidak cepat beradaptasi. Tidak secepat dirinya yang mudah beradaptasi dengan sesuatu yang baru. Apalagi menyangkut kesenangan hati, Friska lebih cepat dari jaringan 5G.
“Iya,” seperti biasa, singkat, padat, dan jelas. Friska mengangguk, lalu mengajak El keluar dari area acara. Dia menggandeng tangan El. Berjalan bersisian seperti ibu dan anak meninggalkan Abi yang perlahan mengulas senyuman di wajahnya.
Friska menggandeng tangan El sambil menggoyang-goyangkannya. Dilihat sekilas, mereka lebih cocok sebagai kakak-adik. Penampilan Friska masih terlihat seperti remaja metropolitan masa kini. Ia sama sekali tak terlihat seperti sudah merencanakan pernikahan. Masa depan seseorang memang tidak ada yang tahu. Apa yang sedang dipikirkan dan direncanakan hanya dia sendiri yang tahu. Jadi, jangan menila kedewasaan seseorang hanya dari cara dia berpakaian. Tapi, dari caranya berpikir.
Friska mengajak El bermain di playground anak-anak. Dia membebaskan El bermain ke mana saja, selama masih dalam pantauannya, El juga tidak bermain jauh-jauh. Dia masih beradaptasi dan tidak bisa jauh dari Friska. Dilhat dari betapa senangnya El bermain dengan anak-anak seusianya, membuat Friska tanpa sadar memandangi El dengan mata berkaca-kaca. Entah kenapa dia jadi terharu melihat wajah semringah El berlarian ke sana-sini.
Waktu pertama kali memasuki playground tadi wajah E] langsung berseri-seri. Matanya berbinar senang memandang area playground yang berwarna-warni dan penuh dengan anak-anak. Sepertinya ini kali pertama El bermain di playground. Menurut Friska, El memiliki pola pikir yang lebih cepat dari anak seusianya. El anak yang tenang dan tidak cerewet. Mungkin karena hubungannya dan Abi yang jauh membuat pola pikirnya terbentuk begitu saja. Belum lagi dia tidak mempunyai teman seusianya sekarang. Lingkungan sekitar juga bisa membentuk pola pikir anak sejak dini.
Tiba-tiba suara dering ponsel di dalam sling bag kecilnya membuat lamunan Friska terpecah. Dia segera mengambil ponselnya lalu melihat nama Ardan Sabian sebagai pemanggil.
“Halo.”
“Saya tunggu di Hokben.”
“Sama siapa di sana?”
“Jessica.”
Wajah Friska langsung berubah masam, lalu langsung memutuskan sambungan telepon tanpa menunggu sahutan Abi. Dipandanginya layar ponselnya yang masih menunjukkan nomor Abi dengan bibir mengerucut.
“Jessicambing!” Dengus Friska sambil mengganti nama kontak Abi. Biar kesal, tapi Friska tetap mengganti nama kontak Ahi dengan nama casum masdep. Kesal-kesal begini, doa tetap harus dijalankan. Semoga saja setiap dia membaca nama kontak Abi akan jadi doa.
“Zaquel Bima Sabian yuhu… Udah ditunggu Papa, Nak,” seru Friska.
Sontak membuat beberapa pasang mata ibu-ibu yang ada di dekatnya menoleh ke arahnya. Antara tak percaya, bingung, heran, kagum juga. Apalagi setelah melihat El berlari menghampirinya. Semakin tak percaya mereka dengan Friska yang masih terlihat seperti gadis remaja sudah mempunyai anak sebesar itu. Friska hanya cuek dengan pandangan orang-orang. Dia memang tidak peduli dengan apa yang orang katakan dan nilai. Toh, mereka hanya melihat dari luar, tidak tahu apa-apa dengan cerita hidupnya.
Friska datang bersama El saat Jessica dan Abi sudah menikmati makanan mereka. Entah apa yang mereka bicarakan sebelum kedatangan Friska. Wajah Jessica yang duduk di samping Abi terlihat suram, tapi Friska tidak peduli. Dia duduk saja bersama El di depan keduanya. Friska memesankan El makan dan minum yang dia inginkan. Bagusnya El selalu bertanya lebih dulu pada Friska gambar yang dia tunjuk. Jadi dia tidak menunjuk asal yang dia inginkan. Friska cukup kagum dengan cara orang tua Abi mendidik El.
“Main apa tadi El?” Tanya Jessica pada EI.
“Pelosotan, lali-lalian, banyak,” jawab El sambil memainkan sedotan di gelas minumnya.
“Jangan mainin sedotannya El,” tegur Abi dengan tatapan biasa, tapi mampu membuat El langsung menciut di kursinya. Friska berdecak pelan. Cara Abi menegur El benar-benar tidak ada manis-manisnya.
“Sedotannya dimasukin gelas ya, kan buat minum. Nanti kotor, baju El juga jadi kotor kena airnya,” ucap Friska dengan lembut. “Bilangin anak tuh gitu. Hindari kata jangan,” sindir Friska sambil membersihkan baju El yang terkena percikan air dari sedotan yang dimainkannya.
“Setiap orang tua punya caranya sendiri mendidik anaknya,” balas Jessica dengan nada yang tergolong ketus.
“Setiap orang juga punya hak untuk menegur orang tua yang salah,” Friska melemparkan lirikan tajamnya pada Jessica tak mau kalah.
Abi jelas saja tersindir dengan ucapan Friska. Kata-katanya jejas saja mengatakan bahwa Abi sebagai orang tua yang salah. Tapi, Abi sama sekal tidak merasa marah. Dia malah menatap Friska dan Jessica bergantian. Seolah menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Selama ini, Jessica selalu dominan dan tak ada yang berhasil mengalahkan argumentasinya. Abi ingin tahu seberapa kuat Friska melawan Jessica. Dari sinilah, Abi akan memutuskan sesuatu yang berhubungan dengan masa depannya nanti.
“Kamu jangan sok tahu! Anak kecil bau kencur aja sok tahu soal mendidik anak!” Ucap Jessica tajam. Friska berdecak pelan. Dia melirik El yang hanya diam di kursinya. Friska tahu, meski diam, tapi El menyimak apa yang orang sekitarnya bicarakan.
“Lebih baik saya sok tahu daripada nggak tahu sama sekali. Toh, kesoktahuan saya nggak merugikan siapa-siapa.”
Jessica meletakkan alat makannya dengan cukup nyaring ke atas meja. Dia mulai terusik dengan Friska. “Lambat laun kesoktahuan kamu itu akan jadi bom buat kamu sendiri.”
“Oh, ya? Saya nggak takut.”
“Kamu—”
“Jes,” tegur Abi memotong. Jessica yang sudah mengangkat telunjuknya ke arah Friska menurunkan kembali telunjuknya. “Jaga sikap kamu. Ada El di sini.”
Jessica menoleh ke arah Abi dengan kilat marah. “Kamu belain dia?”
“Aku melindungi El,” jawab Abi netral. Jessica menatap marah ke arah Friska. Sementara Friska sendiri hanya membalas dengan alis sebelah yang terangkat naik. Dalam hati sudah menyumpahserapahi Jessica. Dia menjaga lidahnya karena Abi, El, dan tempat umum.
“Friska.”
Begitu namanya dipanggil oleh seseorang, Friska langsung menoleh. Dalam hitungan detik, dia langsung melebarkan matanya kaget. Hana—kakak perempuannya.
“Lo dicariin Mama. Nggak pulang-pulang,” katanya setelah berdiri di samping meja. Hana beralih menatap Abi, Jessica, dan El bergantian.
“Klien lo?” Tanyanya. Friska meringis pelan. Belum sempat dia menjawab Jessica sudah menyambar lebih dulu.
“Iya, saya mau ngadain acara sama calon suami saya,” katanya sambil merangkul Abi. Abi sendiri langsung melepaskan rangkulan Jessica secara perlahan.
“Mi,” panggil El menarik lengan baju Friska.
Hana yang mendengarnya mendelik. “Mi? Mami?”
Friska langsung menggeleng panik. Dia belum siap ketahuan keluarganya. Apalagi Hana, habislah dia setelah ini. Hana pasti akan langsung menyebarkan ini ke keluarganya.
Matilah kau, Friska!