Suami-Istri
Tak ada pendingin ruangan di kafe ini. Kafe ini didirikan pada tahun 1874, masa ketika lampu minyak digunakan di mana-mana. Sejak berdiri lebih dari 140 tahun lalu, interiornya masih tampak sama walaupun kafe ini pernah direnovasi. Kafe berkonsep modern mulai dibuka pada tahun 1888. Itu berarti, kafe ini telah memulai segalanya empat belas tahun lebih awal dibandingkan yang lain.
Kopi masuk ke Jepang pada zaman Edo, tepatnya pada masa kepemimpinan Tokugawa Tsunayoshi. Namun, tampaknya kopi tidak cocok bagi lidah kebanyakan orang Jepang pada masa itu. Tak ada yang suka meminumnya. Wajar saja, kopi hanyalah secangkir air berwarna hitam yang pahit.
Seiring meluasnya pemakaian listrik, penerangan di kafe ini pun berganti dari lampu minyak menjadi lampu bertenaga listrik. Akan tetapi, karena khawatir akan merusak atmosfer interiornya, maka pendingin ruangan sengaja tidak dipasang.
Kafe ini tidak luput dari ganasnya musim panas. Walaupun di bawah tanah, pada siang hari kafe ini akan terasa sangat panas ketika suhu lebih dari tiga puluh derajat Celcius. Setidaknya, ada kipas angin terpasang di langit-langit. Kipas angin besar bertenaga listrik itu jelas baru dipasang belakangan. Tetapi kipas angin gantung itu tidak menghasilkan putaran angin kencang, hanya memberikan sirkulasi udara.
Suhu terpanas dalam sejarah Jepang tercatat 41 derajat pada tahun 2013 di Ekawasaki, Prefektur Kochi. Kipas angin tentu saja tak bisa mengatasi suhu yang kelewat panas. Meski begitu, anehnya, kafe ini tetap sejuk di tengah ganasnya musim panas. Namun tak seorang pun tahu apa dan siapa yang membuatnya terasa sejuk.
Suatu siang pada musim panas. Meski masih awal musim, suhu di luar segerah pertengahan musim panas. Di kafe, seorang wanita muda yang duduk meja konter sedang menulis. Di sebelahnya ada es kopi yang encer karena es batunya meleleh. Wanita yang mengenakan kaus putih berumbai dengan rok mini ketat abu-abu dan sandal bertali itu duduk tegak, pulpennya bergerak-gerak di atas kertas merah muda sewarna sakura.
Di balik konter, seorang wanita ramping berkulit pucat memperhatikan, matanya berbinar-binar seperti gadis muda. la adalah Kei Tokita, dan ia tampak ingin tahu isi surat itu. Sesekali ia mengintip dengan ekspresi sepolos anak kecil.
Selain wanita yang sedang menulis surat di konter, di kafe ini juga ada wanita bergaun putih di mejanya yang biasa dan pria bernama Fusagi di meja dekat pintu masuk. Seperti biasa, Fusagi membuka-buka majalah di mejanya.
Wanita yang menulis surat itu menghela napas. Secara refleks, Kei pun ikut menghela napas.
“Maaf lama,” wanita itu berkata seraya memasukkan surat yang baru saja ditulisnya ke amplop.
“Tidak apa-apa,” sahut Kei yang seketika mengalihkan pandang ke kaki.
”Mmm… Bisakah kau memberikan ini kepada kakakku?”
Wanita itu menyerahkan amplop dengan kedua tangan kepada Kei. Ia adalah Kumi Hirai, adik Yaeko Hirai, pengunjung tetap kafe ini.
”Ah. Yah, tapi kalau aku kenal kakakmu…” Kei hendak mengatakan sesuatu, tetapi langsung terdiam.
Kumi menatapnya dengan agak heran sambil menelengkan kepala.
Kemudian seolah tak terjadi apa-apa, Kei tersenyum dan berkata, ”Itu untuk kakakmu?”
Kumi agak ragu. ”Mungkin dia tidak akan membacanya, tapi tolong berikan surat ini kepadanya.” Kumi memohon sambil membungkuk dalam-dalam.
Kei agak canggung dengan permintaan sopan itu.
”Baiklah,” jawab Kei. Ia menerima surat itu dengan kedua tangan seolah diserahi sesuatu yang sangat penting dan membungkuk sopan.
Kumi pun beranjak ke meja kasir dan meminta bon, ”Berapa?”
Kei meletakkan surat yang baru saja diterimanya dengan hati-hati di konter. Lalu ia mengambil slip pesanan dan mulai menekan tombol mesin kasir.
Mesin kasir itu mungkin mesin tertua yang masih dipakai Saat ini, meski benda tersebut belum ada saat kafe ini berdiri. Bentuknya seperti mesin tik, dan diperkenalkan kepada kafe ini pada zaman Showa, sekitar tahun 1925, Dengan berat empat puluh kilogram, mesin itu aman dari pencurian. Selain itu, mesin tersebut mengeluarkan bunyi nyaring tiap kali dipakai.
“Kopi… roti panggang… nasi kari.. mixed parfait…” Kei menekan tombol mesin kasir yang mengeluarkan bunyi nya, ring berirama. ”Es krim soda… piza…”
Tampaknya Kumi makan banyak sekali. Bahkan slip pe. sanannya tidak hanya satu. Kei mulai memasukkan slip pe. sanan kedua ke mesin kasir.
Pilaf kari… banana float… kari katsu…” Sebenarnya pesanan-pesanan itu tak perlu dibaca ulang, tapi Kei tak peduli. Sosoknya yang sedang berhitung di mesin kasir seperti anak kecil yang asyik dengan mainannya. ”Lalu ada Gorgonzola gnocchi… chicken & green cream pasta.”
“Sepertinya aku kebanyakan makan, ya?” ujar Kumi agak keras, tampaknya ia malu mendengar pesanannya dibacakan keras-keras. Mungkin sebenarnya ia ingin berkata Ayolabh, tidak perlu dibacakan keras-keras begitu.
”Memang.”
Tentu bukan Kei yang mengatakan bahwa Kumi terlalu banyak makan, melainkan Fusagi. Setelah menyimak banyaknya pesanan yang dibacakan, ia menggumamkan itu sambil terus membaca majalahnya.
Kei tidak menanggapi Fusagi, tapi dengan telinga memerah, Kumi bertanya, ”Jadi, berapa totalnya?” Namun Kei belum selesai.
”Mmm… lalu mixed sandwich… onigiri Panggang… dan tambahan nasi kari. Totalnya 10.230 yen.”
Kei tersenyum dengan mata berbinar, yang tampak hanya kebaikan di sana. y
“Baiklah, ini.” Kumi segera menyerahkan dua lembar uang kertas dari dompetnya.
“Uangnya 11.000 yen,” Kei berkata sambil kembali menekan tombol mesin kasir. Sementara itu, Kumi menunggu sambil menunduk.
Cring. Laci mesin kasir pun menyentak terbuka, dan Kei mengambil uang kembalian.
“Kembaliannya 770 yen.” Kei memberikan uang kembalian sambil tersenyum, mata bulatnya berbinar.
Kumi menunduk sopan. ”Terima kasih.”
Mungkin karena masih malu setelah mendengar semua pesanannya dibacakan, ia bergegas pergi. Namun Kei memanggilnya.
“Untuk kakakmu…” Kei melirik kakinya. ”Ada pesan yang atau lainnya?” ia bertanya dengan menggerak-gerakkan kedua tangan di udara.
”Tidak ada. Semua sudah tertulis dalam surat,” jawab Kumi tanpa ragu.
”Ah, tentu saja.” Kei mengangkat bahu, tampak sedikit kecewa. Kumi tampak terkesan dengan perhatian Kei. Setelah berPikir sejenak, ia tersenyum dan berkata, ”Kalau bisa…” “Ya?” Wajah Kei langsung semringah.
”Tolong sampaikan bahwa Ayah dan Ibu sudah tidak marah,”
”Ayah dan Ibu sudah tidak marah,” Kei mengulang pesan itu dengan lantang. “Ya, tolong sampaikan.”
Baik,” Kei menjawab riang seraya mengangguk dua kalj dengan mata berbinar.
Kumi melihat sekeliling ruangan, membungkuk sopan sekali lagi, lalu meninggalkan kafe.
Ting tong.
Kei bergegas ke pintu untuk memastikan Kumi telah mening. galkan kafe, lalu berbalik dan mulai berbicara ke arah konter yang kosong.
“Jadi, kau bertengkar dengan orangtuamu?”
Tiba-tiba terdengar suara serak dari bawah meja konter, meski tak semestinya ada orang di sana.
”Aku sudah tidak dianggap anak mereka lagi,” Hirai berkata, muncul dari bawah konter.
“Kau pasti dengar, kan?”
”Dengar apa?” .
”Katanya ayah dan ibumu sudah tak marah lagi.”
”Entahlah…”
Hirai keluar dengan terbungkuk-bungkuk seperti neneknenek, mungkin akibat terlalu lama berjongkok di bawah konter. Seperti biasa, rambutnya dirol. Ia mengenakan kami sol bermotif macan tutul, rok ketat merah jambu, dan sandal.
”Kelihatannya dia adik yang baik.”
Hirai mengangkat bahu.
”Orang lain sudah pasti akan beranggapan begitu.” Ja lantas duduk di meja konter, tempat Kumi duduk beberapa saat lalu. Dikeluarkannya rokok dari dompet bermotif macan tutul dan dinyalakannya rokok itu. Asap rokok mengepul di udara. Hirai memandanginya dengan raut tak biasa, seolah pikirannya sedang berada di tempat yang sangat jauh.
”Ada masalah apa?” tanya Kei. Ia mengitari Hirai, menuju belakang konter.
“Dia membenciku,” Hirai bergumam sambil mengepulkan asap rokok.
”Maksudmu?” tanya Kei dengan mata terbelalak.
“Dia tak mau mewarisinya.” Kei menelengkan kepala, tak memahami ucapan Hirai.
“Penginapan itu…”
Keluarga Hirai mengelola sebuah penginapan tradisional mewah yang terkenal di kota Sendai, Prefektur Miyagi. Orangtua Hirai bermaksud mewariskan penginapan itu kepadanya. Namun, tiga belas tahun lalu ia pergi dari rumah. Sejak itu, adiknyalah yang mewarisi penginapan tersebut. Orangtuanya masih hidup, tapi karena faktor usia, Kumi-lah yang sehari-hari mengelola tempat itu. Setelah mengambil alih, Kumi acap kali mengunjungi Hirai di Tokyo untuk membujuknya kembali ke rumah orangtua mereka.
”Sudah kubilang aku tidak akan kembali. Tapi dia datang lagi dan lagi,” Hirai berkata kesal sambil menghitung jumlah kunjungan adiknya dengan kedua tangan. “Dia kelewatan gigihnya.”
”Tapi kan kau tidak perlu bersembunyi.”
”Aku tak ingin melihatnya.”
”Melihat apa?”
”Wajahnya.”
Kei menelengkan kepala dengan heran.
“Jelas-jelas tertulis di wajahnya. Aku terpaksa mewarist benginapan karena kakakku. Andai saja kakakku mau kembali, aku pasti bisa bebas,” Hirai menjelaskan dengan wajah berapi-api.
”Masa? Padahal itu tidak terlihat sedikit pun di wajahnya,” timpal Kei serius.
Hirai memahami sifat Kei yang cenderung polos.
“Ah, sudahlah!” tukas Hirai. Diisapnya rokok itu sambil cemberut. ”Pokoknya semua ini salahku. Aku yang salah.”
Untuk kesekian kali, Kei menelengkan kepala, tampak bertanya-tanya.
”Astaga! Sudah jam segini,” Hirai berkata dramatis lalu mematikan rokoknya di asbak. ”Aku harus membuka barku.” Ia bangkit dan meregangkan pinggang. ”Pinggangku sakit setelah sembunyi tiga jam.” Hirai menepuk-nepuk pinggangnya dan berjalan ke luar, sandalnya berkelepak.
”Oh ya, suratnya…” Kei teringat akan surat yang dititipkan. Diambilnya surat itu dan diberikannya kepada Hirai.
“Buang saja!” sahut Hirai tanpa menghiraukannya sama sekali.
“Kau tak ingin membacanya?”
“Aku tahu apa isinya. Aku tak sanggup mengurus penginapan sendirian. Pulanglah! Pekerjaan bisa kaupelajari pelan-pelan…. Paling-paling isinya begitu.” Hirai mengeluarkan dompet sebesar kamus dari tas bermotif macan tutulnya. Ia meletakkan sejumlah uang untuk kopi pesanannya di konter.
”Daaah!” ujarnya, lalu buru-buru meninggalkan kafe
Ting tong.
“Mana mungkin kubuang begitu saja… ” Kei memandangi surat Kumi dengan wajah kebingungan.
Ting tong.
Bel berbunyi saat Kei sedang termenung. Kazu Tokita pun masuk tak lama setelah Hirai keluar. Kazu, sepupu Nagare Tokita, adalah pelayan di kafe ini. Ia mahasiswi institut kesenian yang bekerja paruh waktu saat tidak ada kuliah.
Ia baru saja kembali setelah pergi belanja bahan-bahan bersama Nagare. Kedua tangannya penuh dengan tas belanja. Kunci mobil bergemerincing di gantungan kunci yang tercantel di jari manis kirinya. Ia mengenakan celana jins dan kaus, dan tampak jauh lebih muda dibandingkan saat sedang bekerja memakai dasi kupu-kupu dan celemeknya.
Selamat datang!” sambut Kei ramah, masih dengan surat di tangan.
”Maaf ya kami lama sekali.”
“Tidak apa-apa, toh sedang sepi.”
”Aku akan segera ganti baju.”
Kazu lebih ekspresif daripada saat berdasi. Sambil bergurau menjulurkan lidah, ia pergi ke ruangan belakang.
Kei masih memegangi surat Kumi. ”Mana Nagare?” ia bertanya kepada Kazu di ruangan belakang sambil memandang ke arah pintu masuk.
Yang bertugas belanja bahan di kafe ini adalah Kazu dan Nagare. Meskipun yang dibeli sebenarnya tidak banyak, mes teka tetap pergi bersama karena Nagare sangat teliti untuk urusan bahan. Karena sangat teliti, mereka sering berbelanja Sampai melebihi anggaran. Itu sebabnya Kazu selalu ikut, subaya bisa mengawasi. Saat mereka berdua pergi berbelanja, Kei menjaga kafe sendirian. Kadang ketika Nagare tidak menemukan bahan yang diinginkannya, ia akan pergi minum-minum.
”Oh, katanya dia akan sedikit terlambat,” sahut Kazu polos.
”Pasti minum-minum lagi, kan?”
Kazu menjulurkan kepala keluar. ”Baiklah, giliranku,” katanya dengan sedikit merasa bersalah.
Penasaran dengan kelanjutan ceritanya?
Sudah makin penasaran dengan kelanjutan ceritanya? Tenang, Kamu bisa mendapatkan bukunya di Jakarta Book Review Store.
Jakarta Book Review memiliki banyak koleksi buku bermutu lain yang tentunya dengan harga terjangkau, penuh diskon, penuh promo, dan yang jelas ada hadiah menariknya. Tidak percaya? Buktikan saja.