BERSAHABAT DENGAN KEKURANGAN
Banyak di antara kita yang tidak jarang mengatakan bahwa sesuatu yang buruk dalam hidup itu disebut sebagai nasib. Lalu bijakkah jika segala sesuatu yang buruk terjadi kepada kita lantas dengan mudah kita menyebutnya dengan, “Ya su ahlah… memang sudah nasib”?
Namun segala kenyataan yang terjadi di dalam hidup kita bisa juga merupakan akibat atau hasil dari apa yang telah kita perbuat. Semakin positif pikiran dan perbuatan kita, maka kian positif pula nasib hidup kita. Begitu pula sebaliknya, semakin negatif dan hitam warna perbuatan dan pikiran kita, maka semakin berantakan pula nasib yang akan kita alami.
Jadi, jika ada sesuatu yang buruk terjadi dalam hidup kita, maka kita tidak bisa menyalahkan takdir secara sepihak. Idealnya, kita harus bertanya pada diri sendiri, kira-kira apa yang telah membuat hidup dan masalahnya terasa semakin berat dan menjemukan. Sebab besar kemungkinan, apa yang kita hadapi saat ini merupakan buah dari apa yang telah kita lakukan di masa lalu.
Di sisi lain, apabila kita menghadapi kenyataan yang pahit setelah kita berjuang untuk berpikir dan berbuat sebaik dan sepositif mungkin, itulah yang dinamakan takdir. Sering kali kita memang harus melalui ketetapan dari Sang Pemiliki Cerita Kehidupan, yang terkadang tidak bisa masuk di akal. “Kok bisa, saya sudah berjuang sebaik-baiknya hasilnya tetap kalah dengan mereka yang mungkin ikhtiar dan doanya biasa-biasa saja?”
Fase-fase semacam ini yang sering membuat banyak orang menjadi cepat putus asa, menanam bibit dengki dan benci, kemudian enggan untuk berusaha lebih baik lagi. Bahkan yang lebih parah adalah mempertanyakan keadilan Tuhan. Padahal, bentuk kegagalan, yang bahkan terjadi secara berulang, merupakan sebuah skenario-Nya yang disengaja untuk menguji seberapa besar keyakinan dan tekad kita dalam berjuang.
Banyak kegagalan dalam hidup fatal terjadi sebab seseorang belum mampu mengalahkan “keakuan” dirinya. Ada rasa sakif dari dalam hati jika belum bisa mendapatkan pengakuan atau apresiasi publik atas sebuah prestasi secara materi yang bisa terlihat secara kasat mata.
Jadi kalau dipikir-pikir lagi, usaha yang sebagian besar kita lakukan sebenarnya tidak jauh hanya untuk mendapatkan pujian dari orang lain. Jika tidak dapat pujian, tumbanglah dia dan enggan untuk berusaha lagi. Maka wajar apabila mereka sering harus remedi dalam ujian kehidupan di bab “kegagalan” ini.
Fenomena pahit yang terjadi dalam hidup kita setelah serangkaian panjang usaha terbaik yang telah dilakukan merupakan bentuk suratan takdir yang sudah ditetapkan, jauh… sebelum diri kita ini datang ke dunia. Ini seperti kenyataan kita dilahirkan dari orangtua yang seperti apa, dengan keadaan keluarga yang bagaimana, dan berasal dari suku apa. Semua itu sudah kita terima jadi sejak muncul ke dunia. Tidak ada campur tangan kita dalam proses penentuan takdir tersebut. Semuanya sudah mutlak terjadi dan kita tidak memiliki negosiasi untuk mengambil pilihan lain. Nah, sama halnya dengan ujian remedy dalam menghadapi kegagalan hidup berulang setelah usaha terbaik yang telah dilakukan.
Mungkin bentuk pemikiran semacam ini akan sulit diterima oleh mereka yang tidak memercayai adanya Sang Pencipta dan kehidupan setelah kematian. Namun, di sini, saya ingin meluruskan bahwa kenyataan (yang mungkin kita anggap) buruk bisa jadi merupakan akibat dari pikiran dan perbuatan kita. Tetapi, jika kenyataan pahit atau kekurangan dalam diri tersebut hadir setelah usaha terbaik sudah kita lakukan, atau mungkin kenyataan itu hadir sudah sejak kita lahir, maka itu bisa kita sebut itu sebagai nasib atau suratan takdir yang memang sudah ditetapkan oleh Tuhan.
Kalau kekurangan dalam hidup yang masih bisa diubah, maka silakan untuk diubah sebisa mungkin dengan cara yang benar. Contohnya seperti apa? Sikap atau perilaku negatif kita kepada orang lain yang mungkin sering menyakiti, pola pikir negatif yang disadari atau tidak ternyata sudah membuat kita sendiri tertekan, dan masih banyak lainnya. Tapi kalau yang kodratnya tidak bisa diubah tapi tetap dipaksa untuk berubah, maka siap-siaplah untuk merasa lelah dalam kesia-siaan.
APA SAJA STH KEKURANGAN DALAM DIRI YANG TIDAK BISA DIUBAH?
Kalau kita berpikir lagi, mungkin pertanyaan semacam ini sudah mulai nampak bias untuk dijawab secara gamblang. Sekarang coba bayangkan, kalau dulu ada orang yang sejak lahir kulitnya hitam dan ingin lebih putih (mohon maaf tanpa bermaksud mengotak-kotakkan warna kulit), ya tidak semudah sekarang untuk suntik obat atau melakukan berbagai macam perawatan. Ingin memiliki hidung yang lebih mancung, bisa langsung bedah plastik. Ingin bisa mengurangi berat badan, produk berbahan herbal sampai kimia semuanya ada. Ingin lebih tinggi, juga sudah ada alatnya. Semua tersedia, asal ada uangnya. Semua bisa cantik dan tampan, asal ada modalnya
Lalu, bagaimana bijaknya dalam menyikapi semua itu?
Begini, dalam menyikapi kekurangan fisik yang kita miliki, kita harus mengubah dulu pola pikir yang ada di dalam kepala kita. Contoh, saat kita tahu berat badan kita terlalu kurus dan mudah sakit-sakitan, maka usahalah untuk menambah berat badan demi urusan kesehatan. Bangun prinsip bahwa saat tubuh ini lebih berisi, maka gerak dan pola kerja akan lebih produktif daripada sering sakit-sakitan. Sama halnya saat badan kita terlalu gemuk dan ingin mengurangi berat badan. Tanamkan pemikiran bahwa berat badan berlebih pun tidak baik untuk kinerja otak dan tubuh. Semangat dalam bekerja pastinya tidak selincah mereka yang porsi tubuhnya seimbang. Nah, dengan menanamkan pola pikir yang positif sebagai langkah awal, maka proses ikhtiar yang dilakukan pun tidak akan menjadi terdorong am.bisi semu yang melelahkan dan tanpa tujuan.
Maksudnya tanpa tujuan bagaimana? Begini, kalau kita memang berprofesi sebagai public figure yang harus selalu berpenampilan menarik dan fit on camera, maka silakan saja kalian melakukan diet dan latihan khusus demi tampil terbaik di depan layar kaca. Itu sebagai bentuk profesionalitas dan totalitas dalam bekerja. Silakan, itu tidak dilarang, justru malah sangat dianjurkan. Namun, kalau tuntatan profesi harian kita tidak mengharuskan kita memiliki berat badan layaknya model produk pelangsing yang ada di layar kaca, ya sudah… jangan menyiksa diri. Tataran kebutuhan kita hanya satu: sehat dan bahagia. Kalau sudah sehat, mau diajak berproduktif kerja model seperti apa pun insya Allah akan lebih kuat. Dan kalau sudah bahagia, bekerja tidak akan terasa seperti kerja, tapi aktivitas harian yang dibayar. Menyenangkan, ya?
Jangan khawatir kalau kita tidak akan laku kalau kita tidak secantik atau setampan artis di televisi. Sebab tidak semua selera manusia itu sama. Lagipula, saat kita tidak bisa menerima kodrat pemberian Tuhan maka sama halnya kita mencemooh pada apa yang sudah diberikan oleh-Nya. Ada pepatah yang mengatakan bahwa jika kita menghina suatu karya seni atau sastra, maka sama saja kita menghina si pembuat karya. Nah, saat kita menghina manusia… sama halnya kita menghina Penciptanya. Wih, ngeri ya? ltu tadi baru berupa kekurangan yang sifatnya berupa kekurangan fisik. Masalah mulai rumit ketika kekurangan yang kita miliki berada dari dalam diri yang tidak nampak secara kasat mata. Tidak sedikit manusia hari ini yang menjadi sulit menerima kenyataan sebab kepribadiannya tidak “seragam” dengan mayoritas kebanyakan yang ada di sekelilingnya. Contohnya, ada orang yang merasa tidak nyaman ikut nongkrong duduk-duduk sore di depan rumah sambil menggosip, kemudian ia dikucilkan dan akhirnya menjadi bahan gosip itu sendiri. Hanya karena ia memiliki sifat yang tidak sama dengan lingkungannya, ia harus menjadi minoritas yang dikucilkan. Bahkan tidak jarang orang-orang yang memilih “berbeda” dan mengambil jalan sunyi ini justru menjadi public enemy. Padahal yang dilakukannya mungkin sebenarnya tidak salah, atau malah jauh lebih baik dari kebanyakan lainnya.
Ini menarik untuk dibahas. Sebab kasus semacam ini sering menjadi problema yang dilematis bagi sebagian orang. Sebab menyakitkan jika kita terlalu berpegang teguh pada prinsip dan kurang luwes untuk bernegosiasi dengan lingkungan sekitar. Namun, yang menjadi tantangan adalah sampai sejauh mana kita perlu menurunkan prinsip kita hanya untuk bisa diterima orang lain? Seberapa besarkah peran penerimaan orang lain dalam hidup kita? Di situasi dan kondisi semacam apakah opini publik begitu berpengaruh dalam hidup kita? Bisakah kita untuk sesekali mengabaikan itu semua?
Tahukah bahwa kita sebenarnya memang punya hak untuk tak acuh kepada apa yang orang lain katakan dan harapan pada kita. Ingatkah kita pada kasus banyak anak yang harus tertekan hanya karena ia berusaha keras untuk bisa memenuhi ekspektasi orangtuanya. Mereka yang mungkin sebenarnya memiliki potensi di dunia seni, harus pupus dan mengubur dalam-dalam kekuatannya hanya karena orangtuanya menginginkannya menjadi seorang perwira. Padahal itu sama sekali bukan dia. Walaupun pada akhirnya ia tetap menjalankannya dengan terseok-seok.
Ada pula kasus seseorang yang hanya ikut-ikutan apa yang sedang trend. Apa saja yang terbaru selalu saja diikuti. Padahal belum tentu barang itu cocok dan sesuai dengannya. la hanya takut dibilang ketinggalan jaman dan tidak kekinian. Tidak ada keinginan dalam hatinya untuk menjadi sosok yang unik dan menggambarkan ciri khasnya sendiri. Semua itu ia lakukan hanya demi mendapatkan pengakuan publik dan dinilai baik oleh orang-orang di sekitarnya.
Kasus-kasus tersebut di luar sana masih banyak lagi yang sebenarnya bisa diurutkan dari yang paling sepele, sampai yang krusial. Mereka menganggap bahwa menjadi berbeda adalah sebuah duka. Menurut mereka, tidak bisa sama seperti yang lain itu adalah kenyataan yang menyakitkan. Jadi sebisa mungkin mereka akan berupaya keras agar bisa mendapatkan kepercayaan orang lain dengan cara menuruti apa yang mereka harapkan.
Akhirnya, inilah yang dikhawatirkan oleh Mike Robbins bahwasanya nilai otentik dari diri kita menjadi pudar karena terlalu mendengarkan apa yang orang lain katakan. Padahal jauh dalam diri kita, hati kita selalu membisikkan apa yang sebenarnya lebih baik untuk kita pilih dan lakukan. Kata hati tidak pernah berdusta dalam menuntun kita untuk menjadi diri kita yang sebenarnya, bukan menjadi kita yang sesuai harapan orang lain. Sayangnya tidak semua orang bersedia mendengarkan bisikan-bisikan itu.
Apabila setiap dari diri kita tidak enggan untuk menelisik jauh dan mencari jati diri kita yang sebenarnya, maka tidak sulit jika kita ingin berdamai dengan kekurangan yang kita miliki.
Coba bayangkan, kalau saya tidak berbesar hati mendengarkan kata hati saya bahwa saya memang tidak ditakdirkan sebagai seorang model atau artis, saya hari ini masih diet ketat hanya untuk menjadi kurus. Kalau saya malas mendengarkan apa yang kata hati saya bisikkan, maka saya pun lebih tertarik untuk mengejar karier sebagai seorang birokrat daripada menulis dan mendidik anak-anak di sekolah. Padahal saya tahu, bakat saya sebenarnya tidak di sana dan belum tentu saya akan merasakan pengalaman yang lebih baik jika saya bersikukuh untuk bisa bekerja di sana. Hanya agar dipandang keren oleh banyak orang dan memiliki gaji yang lebih banyak daripada sekarang.
Menuruti ekspektasi orang lain adalah sesuatu yang semu, melelahkan, dan tidak ada habisnya. Pernah ada kutipan menohok yang pernah saya baca, bunyinya kalau tidak salah begini, “belajarlah untuk mengontrol dirimu sendiri, sebab kalau tidak maka orang lain akan melakukannya.” Ini terbukti betul. Tidak sedikit orang yang hidup di bawah kendali orang lain. Apa yang diharapkan orang lain, maka itulah yang menjadi harapannya. Bahkan ia tidak sempat mencicipi kemerdekaan dalam membuat harapan sendiri, menciptakan mimpi-mimpi sendiri, yang sebenarnya jauh lebih potensial daripada harus terus menuruti ekspektasi orang lain.
Kenapa kok bisa sampai banyak orang dengan mudah dikendalikan orang lain?
Sebab ia tidak percaya dengan dirinya sendiri. la tidak benar-benar yakin bahwa dirinya mampu lebih baik untuk berdikari mewujudkan mimpi-mimpinya dalam hidup. Yang ia lihat dalam dirinya hanya kekurangan-kekurangan yang menurutnya sudah menjadi nasib dan tidak bisa diubah. la lupa bahwa kekurangan dan kelebihan sudah diciptakan satu paket yang tidak dijual terpisah. Mereka terlalu fokus pada apa yang tidak mereka miliki dan lalai pada anugerah besar yang sebenarnya masih bisa mereka gali. Padahal apa enaknya meratapi kekurangan yang memang sudah suratan takdir?
Bukankah lebih baik kita memperbaiki takdir-takdir lain yang sekiranya masih membutuhkan campur tangan kita untuk mengubahnya?
Kalau kata sastrawan Haruki Murakami, “sakit itu pasti tapi menderita itu pilihan.” Jadi, semua itu kembali ke cara kita memandang kenyataan. Hidup ini memang berat, namun ingin dibawa enjoy atau drama, semua itu keputusannya ada di tangan kita.
Semua itu diawali karena mereka enggan untuk berdamai dengan kekurangan dirinya sendiri. Sampai akhirnya ada orang lain yang datang dan berpura-pura ingin mendamaikan hatinya dengan cara menanamkan harapan-harapannya ke dalam hidup mereka. Dan selanjutnya, sudah bisa kita bayangkan sendiri akan seperti apa dan bagaimana jalan ceritanya.