Minggu, 26 Oktober 2025
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
Jakarta Book Review (JBR)
  • Beranda
  • Resensi
  • Berita
  • Pegiat
  • Ringkasan
  • Kirim Resensi
  • Beranda
  • Resensi
  • Berita
  • Pegiat
  • Ringkasan
  • Kirim Resensi
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
Jakarta Book Review (JBR)

Awe Inspiring Us

Oleh Siti Khotijah
24 Januari 2022
di Nukilan
A A
Awe Inspiring Us

Awe Inspiring Us (Foto: Jakarta Book Review)

Antara Kecewa dan Iman Kita

Ada seorang muslimah yang bertanya saat saya mengisi Kajian Muslimah di Ul, tentang apakah saya pernah merasakan gagal dan kecewa. Bagi saya, gagal adalah sebuah hasil usaha, sedangkan kekecewaan sebuah rasa. KECEWA itulah rasa yang bersemayam di dada, saat saya merasakan karya tulis tidak menjadi juara, mendapat pengumuman tidak lolos beasiswa, suami tidak jadi bisa melanjutkan S2, dan sederet hasil ikhtiar yang tidak berbuah manis di penghujung akhirnya. Ini bukan tentang satu atau dua kali ikhtiar, bisa jadi bilangannya sudah berbelas atau berpuluh ikhtiar yang dikerjakan. Jadi kecewanya pun sudah beranak-pinak jika dijumlahkan.

Tapi saya selalu meyakini, seorang muslim itu selalu punya cara sendiri untuk menata hatinya. Saat kecewa hadir dalam perjalanan hidupnya, ia akan kuatkan imannya. Karenda kecewa itu rasa yang letaknya pun sama dalam hati kita, tentu kuatnya iman dapat menutupi secercah lubang kecewa yang terukir di sana. Karena hatinya selalu mengilhami bahwa apa yang sudah Allah beri adalah yang terbaik dibandingkan skenario buatan diri.

Jika iman itu artinya percaya, lalu pertanyaannya, sudah sejauh mana kita percaya pada ketetapan-Nya. Sedangkan maut, rezeki, dan jodoh sudah dituliskan oleh-Nya jauh sebelum kita lahir ke dunia. Maka apa yang kita terima tak akan berkurang atau bertambah karena manusia. Besaran yang didapat tentulah sudah sesuai dengan takaran-Nya. Lalu, di manakah letak iman (percaya) pada-Nya saat kecewa terus bergelayut dalam dada dan terus menggerutui ketetapan-Nya?

Kecewa itu boleh saja, sangat manusiawi kehadiranya. Namanya juga perihal hati, nggak bisa dibohongi. Hadirnya nggak bisa dibuat-buat atau dengan mudahnya diusir pergi. Perlu Iman yang menghias hati dan takwa yang menghias diri. Sikap kita menghadapi kecewa yang menjadi poin utamanya di Ssni. Memilih menggerutu sepanjang hari, menyesali ketetapan yang sudah dituliskan Ilahi, marah dengan apa yang terjadi, atau terus mencoba menata hati. Bukankah luas nikmat-Nya jauh lebih banyak dari apa yang kita minta. Bukankah pengetahuan-Nya jauh lebih luas dari apa yang terekam indera. Maka di situlah alasan kenapa tawakal perlu selalu disertakan dalam setiap ikhtiar, karena apa yang diketahui oleh seorang hamba masih jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pengetahuan-Nya.

BACA JUGA:

5 Alasan Kenapa The E-Myth Revisited Harus Kamu Baca Sebelum Bisnismu Diam-Diam Runtuh!

Ingin Bisnis Jalan Sendiri, Kamu Bisa Liburan Tanpa Cemas? Temukan Rahasianya di Buku The E-Myth Revisited

The Power Of Azan

The Culture Code

“Tapi Mbak, hati tuh rasanya sakiiit banget!” ujar seorang akhwat. Bukankah Allah sudah berikan obat penenang hati, baca kalam-Nya untuk mendamaikan sanubari. Agar iman tersiram dengan bacaan penguat diri. Agar hati semakin teryakini, bahwa hakikatnya Allah itu selalu mengabulkan doa, dengan 3 bentuk jawabannya. Entah diberikan segera, Ia tunda, atau Ia gantikan yang jauh lebih baik menurut-Nya. Maka seharusnya kecewa itu tak akan lama bersemayam dalam dada, jika ia gantikan kekecewaannya dengan untaian doa-doa, agar Allah kuatkan hatinya, berikan sabar dalam perjalanannya, dan tunjukkan kebaikan di penghujung ceritanya.

Tulisan ini pun pengingat bagi saya. Agar iman tak menjadi sekadar kata. Namun, kehadirannya mengilhami gerak langkah diri dalam keseharian kita. Semoga Allah jadikan kita sebagai bagian dari orang-orang yang mampu menghapus kecewa dengan takwa, selalu bersyukur atas setiap ketetapan yang dituliskan oleh-Nya di dunia, menjadi pemberat amal untuk menuju surga.

Gagal: Kenapa Bimbang?

Sebelumnya kita sudah membahas tentang rasa kecewa, kali ini kita bahas salah satu penyebabnya. lya, kegagalan yang kita temui sebagai sebuah hasil usaha. Maka tulisan ini saya buat berawal dari pengalaman pribadi. Ada pertanyaan seorang saudari jauh di Tanah Air sana. “Mbak kok hidupnya kayak sempurna banget ya. Keluarga, karir, studi, berhasil semua,” begitu ujarnya. Eh eh… memang begitu kah kenyataannya? Saya coba ceritakan kejadian yang tak jarang mewarnal hari-hari saya ya…

Di suatu siang, saya menerima email pengumuman bahwa saya terpilih dari sekian ratus applicant sebagai finalis lomba poster yang diselenggarakan di UCL, ya. Itu “UCL Populations & Lifelong Health Domain Symposium”. Ceritanya, hari Selasa, 17 Januari 2017, itulah final kompetisinya. Sudah nge-print poster (yang mahal banget), pergi pagi menuju UCL Institute of Child Health, dan makan buah saja seharian (karena menyuhalal entah di mana, nggak ditemukan). Di luar dugaan, ternyata banyak kolega dari Farr Institute yang datang, termasuk supervisor utama saya (profesor di bidang infectious disease epidemiology).

Namanya kompetisi, tentu berharap menang dooong (ya, iyalah). Singkat cerita, di akhir simposium, di tengah jantung saya berdebar kencang mempertanyakan akankah saya masuk sebagai pemenang (minimal runner up-lah) dan ternyataaa… jeng jeng! Nama saya tidak termasuk di jajaran pemenangnya. Walaupun surprisingly, saya tetap maju ke depan serta mendapat tepukan banyak orang untuk mengambil sertifikat, mewakili kolega saya yang kebetulan sudah pulang.

Sedih nggak? Ya, iya. Kecewa? Pasti ada. Saya kan juga manusia biasa. Tapi, nih tapi, sikap kita selanjutnya yang akan mendewasakan iman, Bisa saja saya menggerutu sepanjang jalan sambil menyesali kenapa Allah tidak memenangkan saya dalam perlombaan. Atau berpikir kenapa kesuksesan tidak juga datang dalam setiap ikhtiar. Bukan, saya meyakini bahwa bukan itu yang seharusnya menghiasi akhlak seorang muslim yang beriman.

Saat kegagalan datang, yang coba saya lakukan adalah Menghadirkan takwa dalam hati. Meyakini bahwa apa pun yang menimpa diri hingga hari ini semua sudah berjalan sesuai ketetapan Ilahi. Kecewa dan sedih boleh saja, namanya juga manusia, namun selanjutnya hadirkan takwa yang menempa sabar dalam dada.

Jangan dikira kegagalan saya hanya satu dua kali. Nei nei (tidak, tidak) kalau kata orang Jepang. Saya sudah merasakan gagal dan jatuh berkali-kali. Dan saya pahami itu sebagai proses pendewasaan diri. Lanjut sekolah S2 dan S3, apa ada yang tahu sudah berapa kali aplikasi beasiswa saya ditolak? Publikasi ilmiah internasional, apa ada yang tahu sudah berapa kali saya gagal ditolak untuk penerbitan? Menjalani peran sebagai mahasiswa, ibu, istri dan anak, apa ada yang tahu berapa jam waktu istirahat saya dan berapa banyak tugas yang harus dikerjakan?

Sungguh, tidak ada yang mampu mengukur lelah dan letih kita. Jika niatan kita bukan hanya untuk-Nya, sayanglah semua lelah jika hanya berakhir menjadi keringat saja, tanpa tertulis pahala amal dan kebaikan di sana. Saat gagal datang dan dipahami sebagai tindakan Allah, yang tidak sayang, tidakkah kita melihat begitu banyak kegagalan (yang jauh lebih besar) yang ditimpakan kepada nabi dan rasul kita sepanjang perjalanan? Tahu apa doa saya sebelum pengumuman pemenang disiarkan? Saya menggenggam erat tangan saya dan berkata, “Ya Allah, berikan tunduk syukurku saat menang, dan kuatkan aku ketika kalah yang menjadi jawaban.”

Seharusnya kesuksesan tidak diiringi dengan kebanggaan. Kegagalan tidak diiringi dengan penyesalan Sepanjang jalan, gagal dan menang, semua adalah takdir dari-Nya, bagian dari iradat-Nya, bahkan lebih tepatnya lagi, SEMUA ITU ADALAH MILIKNYA (pakai caption gede). Jadi kalau dikasih menang, tugas kita bersyukur karena Allah rezekikan. Saat Allah tak berikan, tak perlu menyesal karena memang bukan milik kita sejak awal. Saya mengganggapnya sebagai bahan pembelajaran sama persis dengan pengalaman saya kali itu.

Dan ternyataaa… setelah saya renungi dan resapi, simposium ini memang dibuka untuk “early career researcher”. Awalnya, saya memang iseng mendaftar karena kebetulan ada penelitian di Bali dengan topik yang sama diperlombakan di sini. Tapi, setelah saya cermati, banyak kolega-kolega saya (semua post-doctoral researcher atau dosen) yang mengikuti event ini. Setelah saya mencari-cari definisi early career researcher di UK, ternyata maknanya adalah mereka yang sedang berkarier selama rentang waktu 5-8 tahun setelah PhD-nyo, minimal sudah bergelar doktor. Jeng jeng… tersadarkanlah saya. Di situ saya langsung merasa seperti anak bawang—atau remah-remah rempeyek mungkin istilah yang paling mewakilkan. Sertifikat runner up poster competition yang saya bawa itu pun milik managing director rolect ICONIC di Farr, tentu level saya jauh di bawah mereka. Mereka yang sudah jungkir balik di dunia penelitian lebih dari 10-15 tahun lamanya. Pasca-acara, setelah saya pikir-pikir, saya adalah kompetitor termuda di sana. Saya sampai menduga, apakah mungkin panitia salah memilih ya? Karena, secara kategori pun saya tidak masuk kriteria sebagai peserta. Di sinilah saatnya saya mengambil hikmah sebanyak-banyaknya. Mengetahui kekurangan dari penelitian saya dan menyempurnakannya. Mengubah kecewa syukur karena pengalaman ditambahkan Nya. Lalu, mengubah kegagalan menjadi kesempatan baru yang terbuka. Saya akan coba terapkan apa perkataan guru nursery si kecil di sini.

Kemiskinan yang Paling Buruk

Jangan ditanya sudah berapa kali aplikasi S3 saya tidak diterima, mungkin lebih dari 10 jumlahnya. Bahkan sebelum saya lulus S2, saya sudah bergerak mencari beasiswa S3. Qadarullah… Allah belum izinkan saya hingga 2 tahun setelahnya. Yang saya yakini, selalu ada hikmah di balik setiap ketetapan-Nya. Saya diberi waktu penuh untuk menjaga anak saya selama 2 tahun pengasuhannya. Bisa juga, ketetapan-Nya ini adalah bentuk jawaban doa saya agar mendapatkan supervisor yang mumpuni dan baik perangainya. Karena bagi mahasiswa S3, lancar mandek-nya S3-nya bergantung besar pada siapa supervisornya. Hingga akhirnya Allah menjawab doa saya, saya diterima S3 bahkan tanpa proposal penelitian, supervisor menyetujui hanya dengan melihat CV saya. Lihatlah, begitu mudah terjadi jika memang sudah menjadi kehendak Zat Yang Maha Kuasa.

intinya? Jika saja saya memutuskan untuk berhenti mencoba, saya yakin pencapaian ini tak akan terjadi di depan mata. Jika tekad saya terlemahkan oleh hasil pertama, kedua, atau ketiga, tentu saya tidak bisa melihat kebaikan di akhir penghujungnya. Jika cobaan baik ringan atau beratnya mampu melemahkan azam kita, apa sudah patut kita disebut sebagai hamba-Nya, sedangkan nabi, rasul, dan orang mukmin terdahulu sudah diberi ujian yang jauh lebih berat daripada kita. Maka jangan ada frasa putus asa dalam kamus kita jangan biarkan kegagalan melemahkan tekad kita.

Bertawakallah pada-Nya dan biarkan Ia yang menunjukkan jalan-jalan terbaik-Nya…

“The low points in life are meant to bring you down to your knees & forehead…. So that you can rise from it as a stronger and better Muslim!”

“Saat mengejar impian terasa begitu berat dan melelahKan…. Saat peluh dan penat mengias jauhnya jarak kepada tujuan…. Saat penantian mengenai takdir-Mu mulai memunculkan ragu… Moka ku jadikan sujud Khusyuk-ku sebagai bukti benghambaan pada-Mu…. Maka ku ceritakan sedih dan harapku dalam untaian air mata beriring doa-doa syahdu…. Agar Engkau tahu, bahwa keimanan terhadap janji-Mu terus terpatri Kuat dalam hatiku. Yang hanya dengan izin-Mu, segolanya dapat terjadi, setidak mungkin apa pun tt sesulit apa pun terlihat dalam pandangan hamba-Mu…”

Penasaran dengan kelanjutan kisahnya? Tenang, Kamu bisa mendapatkannya di Jakarta Book Review Store. Untuk pembelian bisa klik di sini.

Jakarta Book Review memiliki banyak koleksi buku bermutu lain yang tentunya dengan harga terjangkau, penuh diskon, penuh promo, dan yang jelas ada hadiah menariknya. Tidak percaya? Buktikan saja.

SendShareTweetShare
Sebelumnya

Jangan Lelah Berproses

Selanjutnya

Fakultas Hukum Unej Rilis 12 Buku Karya Dosen

Siti Khotijah

Siti Khotijah

Redaktur Jakarta Book Review

TULISAN TERKAIT

5 Alasan Kenapa The E-Myth Revisited Harus Kamu Baca Sebelum Bisnismu Diam-Diam Runtuh!

5 Alasan Kenapa The E-Myth Revisited Harus Kamu Baca Sebelum Bisnismu Diam-Diam Runtuh!

20 Juni 2025
Ingin Bisnis Jalan Sendiri, Kamu Bisa Liburan Tanpa Cemas? Temukan Rahasianya di Buku The E-Myth Revisited

Ingin Bisnis Jalan Sendiri, Kamu Bisa Liburan Tanpa Cemas? Temukan Rahasianya di Buku The E-Myth Revisited

18 Juni 2025
The Power Of Azan

The Power Of Azan

18 April 2022
The Culture Code

The Culture Code

7 April 2022
Selanjutnya
Selanjutnya
Fakultas Hukum Unej Rilis 12 Buku Karya Dosen

Fakultas Hukum Unej Rilis 12 Buku Karya Dosen

Terbaru

Mitos, Mitigasi, dan Krisis Iklim: Membaca Narasi Putri Karang Melenu dan Naga Sungai Mahakam

Mitos, Mitigasi, dan Krisis Iklim: Membaca Narasi Putri Karang Melenu dan Naga Sungai Mahakam

20 Oktober 2025
Menulis dalam Berbagai Medium: Sesi Diskusi Bersama Dea Anugrah dan Aya Canina

Menulis dalam Berbagai Medium: Sesi Diskusi Bersama Dea Anugrah dan Aya Canina

16 Oktober 2025
Merayakan Dewasa dan Lukanya: Kilas dari Penulis

Merayakan Dewasa dan Lukanya: Kilas dari Penulis

15 Oktober 2025
Cover buku "The Great Gatsby"

The Great Gatsby: Kemewahan, Cinta, dan Kehampaan

9 Oktober 2025
Hector and The Search for Happiness: Perjalanan Menemukan Arti Kebahagiaan

Hector and The Search for Happiness: Perjalanan Menemukan Arti Kebahagiaan

6 Oktober 2025
The Sentence: Kisah Pribumi, Luka Sejarah, dan Ketahanan Hidup yang Tak Padam

The Sentence: Kisah Pribumi, Luka Sejarah, dan Ketahanan Hidup yang Tak Padam

30 September 2025

© 2025 Jakarta Book Review (JBR) | Kurator Buku Bermutu

  • Tentang
  • Redaksi
  • Iklan
  • Kebijakan Privasi
  • Kontak
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
  • Masuk
  • Beranda
  • Resensi
  • Berita
  • Pegiat
  • Ringkasan
  • Kirim Resensi

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In