Setelah mempertimbangkan matang-matang juga mimpi mengenai memori masa lalu yang selalu menghampiri, pada akhirnya Januar memutuskan untuk melangkahkan kakinya menuju rumah. Ia tidak berniat untuk pulang, tetapi… peringatan kehilangan itu selalu saja mengusik dirinya dan membawanya untuk kembali.
Hanya untuk memperingati, tidak lebih dari itu.
Sebab, jika ia menetapkan hati untuk pulang dengan definisi yang sebenar-benarnya pulang, ia belum siap untuk kembali hancur. Sudah tidak ada lagi sisa dirinya yang dapat dihancurkan, semuanya sudah melebur bersama luka-luka lama yang tidak akan pernah terobati.
Januar melangkah masuk ke dalam rumah dan kemudian berhenti di ruang tamu. Ia berhenti di depan sebuah pigura besar yang sengaja dipajang di sana, pigura besar berisikan sebuah senyuman yang akan selalu ia rindukan.
Lama ia berdiri di depan pigura itu, sampai akhimya, ia luruh. Menangis dengan isakan yang penuh rasa sakit. Ia memang sudah pernah mengalami kehilangan orang yang rercinta, tetapi… sepahit-pahitnya kehilangan bagi orang tua adalah kehilangan seorang anak.
Rasanya, dunia mendadak runtuh dan dunianya sudah hancur lebur tak bersisa.
Januar masih menangis dan meratap di depan pigura Kavin, sampai ia tak sadar ada sebuah langkah yang mendekat lalu merangkulnya.
Januar menengadahkan kepalanya, seseorang yang kini tengah merangkulnya dan mengajaknya untuk berdiri adalah Bian. Sayangnya, niat baik Bian tak tersampaikan dengan baik di logika Januar, membuat pria itu menggeram kesal dan menepis keras tangan yang berada di bahunya. “Jangan sok peduli kamu terhadap saya.”
Bian melepaskan tangannya dari Januar, menatap Januar dengan lelah. Lagi, selalu saja seperti ini. Padahal, yang Bian inginkan di saat hari peringatan kakaknya adalah prosesi yang tenang dan membuat Kavin pun bisa nyaman beristirahat. Namun, kalau sudah begini, sepertinya harapan akan kembali bermetamorfosa menjadi kesia-siaan belaka.
“Seharusnya kamu mikir, jika kamu tidak bawa dia hari itu, dia akan tetap ada di sini!” Mata Januar menatap tajam Bian yang ada di depannya.
Mendengar ucapan yang kembali dilayangkan oleh Januar tentang hari itu, membuat Bian menaikkan sebelah bibirnya lalu terkekeh pelan. “Salah, seharusnya kalau Papa mau dengar dan ngerti. Papa bakal tau apa yang sebenarnya dia mau.”
Baku-baku di tangannya kini memutih karena kepalan tangannya yang begitu kuat. “Jangan pernah kamu mengajari saya. Jangan pernah kamu bersikap baik dengan saya. Kamu Seharusnya sadar diri, kamu yang—”
“AKU YANG BUAT MAS KAVIN PERGI. ITU KAN MAKSUDNYA? ITU KAN YANG MAU PAPA BILANG? SELALU ITU KAN YANG BAKAL PAPA BAHAS?” teriak Bian dengan segala amarahnya. Sudah cukup, Bian muak mendengar semua omong kosong yang tidak berkesudahan seperti ini. Ia hanya ingin hal seperti ini cepat berakhir. Namun, apa sesusah itu?
Mengapa papanya sangat keras kepala? Mengapa telinga papanya seolah tuli untuk menerima semua fakta yang terjadi? Mengapa… selalu dia yang salah di mata papanya?
Abel, Raven dan Rei yang awalnya hanya memperhatikan dari jauh, mendekat ke arah Bian dan Januar. “ITU TERUS YANG PAPA BAHAS, MAU PAPA BAHAS SAMPAI KAPAN? SAMPAI MAS KAVIN ADA DI SINI LAGI? SAMPAI MAS KAVIN BISA HIDUP LAGI”
PLAK!
“Jangan pernah kamu berbicara seperti itu kepada saya!” ujar Januar dingin dengan suaranya yang bergetar, berusaha menahan tangis setelah mendengar ucapan Bian.
“Bian capek, Pa! Bian capek jadi orang yang selalu disalahkan kayak gini! Perlu berapa kali Bian harus jelasin supaya Papa ngerti?! Kepergian Mas Kavin itu takdir, Pa! Ini semua bukan rencana “kita buat bikin dia nggak ada!” teriak Bian frustrasi, rasanya ia ingin segera menghajar Januar saat ini juga jika ia tidak mengingat bahwa yang di hadapannya tetaplah ayahnya.
BUG!
Bian melayangkan sebuah tinjuan ke kaca yang ada di sampingnya, membuat tangannya tergores dan mengalirkan darah di baku tangannya.
“Papa kira, aku nggak sedih Mas Kavin pergi? Papa kira aku nggak merasa sakit tahu fakta aku kehilangan seorang kakak? Di sini, nggak ada yang mau Mas Kavin pergi, Pa!” ujarnya yang kini sudah mulai menangis, menutupi wajahnya dengan kedua tangan yang masih berbalur darah. “Kalau aja bisa, Bian pengin mengembalikan waktu dan menahan dia buat nggak pergi, Pa! biar kita nggak perlu bikin acara peringatan kayak gini karena dia masih ada di sisi kita! Andai aku bisa, udah aku lakukan dari lama, Pa! Biar keluarga kita nggak berakhir hancur kayak gini.” Masih penuh dengan emosi Bian menarik napasnya dalam. “Terserah, lakukan apa yang Papa mau sekarang. Terserah Papa mau selalu salahi aku, terserah Papa mau tuduh aku sebagai pembunuh kakakku sendiri. Terserah!”
Usai mengucapkan segala hal yang ia tahan, Bian berlari ke kamarnya, membiarkan tangannya yang masih meneteskan darah segar itu terluka begitu saja.
Biarkan, luka di tangannya sama sekali tidak terasa sakit jika harus dibandingkan déngan luka sayatan di dalam hati kecilnya. Luka yang selama ini masih basah itu kini kembali mendapatkan goresan baru dari orang yang sama.
Dari seseorang yang selalu ia banggakan dan ia cintai. Dulu hingga sekarang.
Januar masih berdiri diam di depan pigura Kavin, sampai akhirnya Rei berjalan mendekat ke arahnya. “Papa sadar nggak kalau Papa kayak gini justru yang bikin Rei sama yang lain jadi benci sama Papa? Sampai kapan Papa mau kayak gini terus? Sampai kapan, Pa?” ucap Rei yang sudah tak tahu lagi harus apa. Sudah cukup selama ini ia hanya diam, mendengarkan, dan juga menyaksikan, tapi perlu diingat kalau dia dan yang lain juga manusia biasa yang punya rasa lelah. “Papa masih belum puas sama hal bernama kehilangan? Atau, Papa mau terus kayak gini sampai Papa benar-benar kehilangan aku dan yang lain juga? Iya?” tanya Rei yang kemudian sedikit menjauh dan terduduk diam di sofa.
“Abel nggak pernah bisa marah sama Papa, Abel juga nggak pernah bela yang lain kalau lagi Papa marahin. Abel cuma bisa diam dan dengar. Tapi, kali ini Abel nggak bisa, Pa. Abel juga sama kayak yang lain. Abel capek sama Papa. Abel juga sakit hati lihat perlakuan Papa yang kayak gini.” Kali ini giliran Abel yang bersuara.
Ia juga lelah, sangat lelah. Di rumah ini Abel selalu menjadi pihak yang tidak peduli dan fokus bersenang-senang bersama dengan saudaranya. Namun, bukan artinya ia tidak memendam luka. Ia sama hancurnya dengan yang lain.
Bahkan, mungkin lebih hancur karena ia harus berpurapura baik-baik saja setiap saat untuk menghibur yang lainnya.
“Kalau boleh jujur, aku sekarang benci banget sama Papa.” Abel menghela napasnya kasar kemudian beranjak dan pergi naik ke lantai dua.
Keadaan di ruang tamu masih diam tanpa suara. Tak lama kemudian, Jeje ikut berdiri dan maju ke arah Januar. “Papa kalau mau marah-marah mending Papa nggak usah pulang,” ucapnya di hadapan Januar. “Papa di kantor aja, deh. Jeje selama ini diam kalau Papa terus-terusan ungkit ini sama Jeje atau yang lain. Tapi, Jeje udah mulai malas dengar Papa bahas ini,” lanjutnya yang kini sudah mulai menahan air mata, suaranya bergetar. Januar masih menatap lurus ke arah Jeje, berniat untuk mendengarkannya. “Papa kira Jeje nggak sedih ditinggal Mas Kavin? Jeje juga sedih, bukan cuma Papa. Tapi, Jeje mohon Papa jangan kayak gini. Kasihan Mas Kavin kalau tahu kita begini karena dia, pasti Mas Kavin jadi sedih dan tidur dengan nggak tenang,” ucap Jeje yang kini sudah mengeluarkan air mata, lalu ia segera ditarik oleh Raven.
Sebelum mereka melangkah, Raven kembali bersuara. “Raven nggak tau lagi harus gimana dan pakai cara apa. Raven nggak pernah mau adu argumen sama Papa. Raven juga selalu diam selama ini. Bahkan, waktu Raven bangun dari koma dan Papa nggak pernah ada, Raven juga tetap diam, nggak menuntut apa pun,” ujar Raven. “Tapi, Pa, Raven sama yang lain juga manusia. Raven sama yang lain juga bisa capek. Capek sama Papa yang nggak pernah mau nerima bahkan mempersulit keadaaan,” ucapnya terakhir kali sebelum akhirnya menarik Jeje dan Atha untuk naik ke lantai dua yang diikuti oleh Rei yang kini sudah memegang kotak P3K.
Meninggalkan Januar yang kini terjatuh dan menangis.
Menangisi takdir yang benar-benar kejam pada dirinya. Atau, memang hanya dialah yang kejam?
Aghita dan Kavin telah pergi. Dan kini, anak-anaknya yang lain pun benci dengannya dan perlahan pergi menjauh.
Kini, dunianya benar-benar hancur berkeping-keping. Entah karena takdir, atau keegoisan dirinya sendiri. Januar pun ragu untuk menentukan mana jawaban yang benar akan hal itu.
Yang jelas, dirinya kini benar-benar sendirian.
Atha terduduk diam di atas kasurnya, menyaksikan bagaimana hancurnya hari peringatan Kavin membuat ia kalut dan menggigit bibirnya keras-keras. Ia masih tidak habis pikir tentang apa yang ia lihat tadi. Papanya benar-benar seperti manusia yang Atha tidak kenali. |
Karena, sekeras itu papanya untuk menerima apa yang terjadi.
Apakah Papa tidak tahu kalau saat ini, semua orang sudah lelah dengan keadaan? Atau semua ini berakhir jika ada sebuah kehilangan lagi?
Tidak. Atha tidak mau merasakan kehilangan lagi. Sudah cukup. Sudah cukup dahulu ia kehilangan Kavin dan juga hampir kehilangan Raven. Tak perlu ada yang lain lagi.
“Atha? Kamu baik-baik aja kan?” Sebuah suara muncul dari arah pintu, membuat Atha yang tengah duduk meringkuk menolehkan kepalanya, ada Kavin di sana, berdiri dengan tatapan penuh rasa bersalah tersirat di wajahnya yang lesu.
“Nggak. Adek nggak baik-baik aja,” ucap Atha, menggelengkan kepalanya pelan berulang kali.
“Maaf. Maafin Mas Kavin,” ucap Kavin sembari menghampiri Atha untuk duduk di sebelah adiknya. Ia ikut menekuk kedua kakinya lalu menumpu tangannya di sana.
Kepala Kavin menoleh, masih mendapati Atha yang menggeleng pelan di antara tumpukan kedua tangannya. “Bukan salah Mas Kavin.” Atha kemudian menutup wajahnya dengan kedua tangannya, kembali menumpahkan rasa sakitnya dalam bentuk tangisan kuat. Sudah cukup selama ini ia menahan tangisnya. Sudah cukup ia berpura-pura baik-baik saja. Sekarang, Atha hanya ingin mengeluarkan apa yang selama ini ia pendam. “Adek bingung. Udah kehabisan cara untuk bikin Papa kembali kayak dulu lagi, Mas. Papa terlalu… abu-abu. Adek nggak bisa tebak apa yang sebenarnya dia mau dan rasakan. Adek bingung, Mas. Adek harus apa sekarang? Semuanya makin hancur!”
Kavin hanya diam, membiarkan si bungsu mengeluarkan semua yang ia rasakan selama ini. Karena sejujurnya, baru kali ini Adek menyerah seperti ini. Baru kali ini… Adek tampak begitu marah dan putus asa. Dan, Kavin tahu apa alasannya. Hanya saja, jika ia harus menjawab pertanyaan Atha mengenai apa yang harus si bungsu lakukan, Kavin pun sama buntunya. Sulit untuk menemukan jawaban pasti karena benang yang kini terbentuk sudah sangat kusut dan sulit untuk terurai.
“Kenapa Adek harus jadi pengecut kayak gini? Adek pengin iadi berani, Mas. Adek juga pengin semuanya cepat selesai. Tapi, kenapa Adek harus jadi seorang pengecut?” teriak Atha frustrasi.
Kavin yang mendapati wajah adiknya yang sudah dipenuhi oleh air mata itu hanya dapat menggeleng, berusaha menepis pikiran buruk yang kini bersarang di kepala adiknya. la berusaha mendekati Atha, tetapi… tidak ada yang dapat ia lakukan. Untuk merengkuh adiknya yang tubuhnya kini bergetar hebat pun, ia tidak mampu. “Adek jangan ngomong gitu.”
Di tengah tangisnya, Atha memukuli dada dan juga kepalanya berulang kali. Berusaha memindahkan rasa sakit di hatinya ke seluruh tubuhnya. Di mana pun, asal sakit itu tidak lagi terasa di hati. “Adek pengecut, kalau Adek bisa ngomong, Pasti masalah ini udah selesai, Mas,” lanjutnya, menutupi kedua mata basahnya dengan tangan besarnya.
“Kenapa Adek nggak coba kalau. memang Adek merasa kayak gitu2” tanya Kavin.
Atha yang awalnya menutup wajahnya kini mulai sedikit membuka tangannya, menatap ke arah Kavin. “Kalau memang Adek merasa semuanya bakal selesai ketika Adek ngomong. Ya udah, Adek ngomong. Bilang semuanya sama Papa, karena cuma Adek yang bakal didengar sama Papa,” ucap Kavin lagi sebelum akhirnya mengelus pelan puncak kepala Atha.
Penasaran dengan kelanjutan kisahnya? Tenang, Kamu bisa mendapatkannya di Jakarta Book Review Store. Untuk pembelian bisa klik di sini.
Jakarta Book Review memiliki banyak koleksi buku bermutu lain yang tentunya dengan harga terjangkau, penuh diskon, penuh promo, dan yang jelas ada hadiah menariknya. Tidak percaya? Buktikan saja.