Belajar sambil Kerja
Setelah beres semuanya, pada September 1952, berangkatlah Nahrawi ke Mesir bersama keempat sohib dekatnya itu. Saat daftar ke Universitas Al-Azhar, Zainuddin, Usman, Qadir dan Mukmin tak mengalami banyak kesulitan karena sudah mengantongi ijazah persamaan. Sementara Nahrawi, karena tak punya ijazah serupa dan studinya di STI mandek, harus melalui ujian yang relatif lebih sulit. Tapi alhamdulillah, ia pun lulus juga dan masuk Fakultas Syari`ah di universitas itu. “Saya pilih belajar di Mesir karena ada Universitas Al-Azhar,” tegasnya.
Sambil kuliah, Nahrawi juga terlibat aktif di—bahkan menjadi pengurus—Pemuda Indonesia Mesir (PIM) yang punya asrama sendiri hasil sumbangan pemerintah Indonesia. Dia bersama kawan-kawannya tinggal di situ. Di organisasi inilah dia bersahabat dengan Tujimah dan Baroroh Baried. Namun, suatu ketika, asrama itu pernah dimasuki pencuri dan menjarah habis segala isinya, termasuk milik Nahrawi. Ia pun hampir tak punya apa-apa, apalagi waktu itu dia kuliah dengan biaya sendiri.
Untung Allah masih sayang sama Nahrawi. Sejak peristiwa itu, selama beberapa tahun, datanglah bertubi-tubi berbagai tawaran pekerjaan kepadanya. Pada 1953, Radio Mesir membutuhkan penerjemah dan penyiar untuk siaran bahasa Indonesia. Atas ajakan kawannya, Sawabi Ihsan, Nahrawi ikut melamar bersama Tujimah dan Baroroh. Hasilnya, hanya Nahrawi dan Sawabi yang lulus. Pekerjaan ini ditekuninya sampai 1970. “Tugas penyiar itu berat sekali. Kalau perang, walau malam, kami dijemput juga. Tidak bisa tidak, karena tugas,” kenangnya.
Selain itu, suatu hari Universitas `Ainus-Syams juga membuka mata kuliah bahasa asing, termasuk bahasa Indonesia. Mereka kirim surat ke Radio Mesir untuk minta tenaga pengajar. Akhirnya Nahrawi dan Zakiah Darajat yang terpilih. Begitu pula, sejak 1956-1968, Nahrawi pernah menjadi pengajar bahasa Indonesia di Universitas Al-Azhar yang khusus diperuntukkan bagi kader-kader mereka yang akan dikirim ke Indonesia. “Saya betul-betul sibuk waktu itu. Pukul 06.00 pagi bangun. Kuliah di Al-Azhar, lalu ke `Ainus-Syams. Pukul 13.30 siaran di studio. Habis maghrib sampai isya` ngajar di Al-Azhar. Walaupun duit banyak, tapi waktu saya hampir habis,” tuturnya.
Betapapun, kuliah Nahrawi tetap tak terbengkalai. Lihatlah prestasi akademiknya. Pada 1956 dia meraih gelar LC (setingkat BA) dari almamaternya. Meraih gelar MA dalam bidang kehakiman pada 1958. Dua tahun kemudian menyabet gelar MA dalam bidang pengajaran dan pendidikan Fakultas Bahasa Arab. Lalu pada 1966 kembali meraih gelar MA dalam bidang perbandingan mazhab Fakultas Syariah. Selain dari Al-Azhar, pada 1961, Nahrawi juga sempat menyelesaikan Diploma I dalam bidang hukum dari Akademi Tinggi Liga Arab, Kairo. Sementara Diploma II-nya dalam bidang yang sama diselesaikannya setahun kemudian.
Berbagai kegiatan itu membuat nama Nahrawi semakin dikenal, baik di kalangan pelajar Indonesia, pejabat kedutaan RI, juga kawan dan gurunya di Al-Azhar. Tak heran jika Nahrawi kerap terpilih sebagai mahasiswa Indonesia yang ikut ambil peran dalam acara-acara penting bersifat internasional. Misalnya menjadi penerjemah dalam acara Muktamar Majelis Islam yang dibuka Presiden Mesir Gamal Abd. Naser. Namun, yang paling berkesan bagi Nahrawi adalah menjadi penerjemah Presiden RI Ir. Soekarno saat menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar. “Untung ada kamu, Wi!” begitu kata Bung Karno pada Nahrawi kala itu.
Staf KBRI Syiria dan Gelar Doktor
Pada 1970, Nahrawi sempat bekerja sebagai staf Kedutaan Besar RI di Damaskus, Syiria. Di sana ia juga aktif dalam Perkumpulan Pelajar Indonesia (PPI). Ia pernah ditugaskan mendampingi Wakil Presiden RI H. Adam Malik dalam suatu kunjungan kenegaraannya di Damaskus. Selain itu, Nahrawi juga pernah menjadi wakil pemimpin redaksi majalah intern berbahasa Arab yang diterbitkan kedutaan. Lewat majalah ini informasi mengenai Indonesia bisa diketahui oleh negara-negara Arab.
Sejalan dengan itu, studi tingkat doktoral Nahrawi di Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar tak ditinggalkan begitu saja. Setelah bersusah payah gonta-ganti pembimbing (musyrif) dan penguji disertasi, pada 1970 ia berhasil meraih gelar doktor dalam bidang fikih perbandingan dengan yudisium tak tanggung-tanggung: sangat memuaskan (Summa Cum laude). Nahrawi ketika itu menulis disertasi tentang fikih Imam Syafi`i dan perbandingan mazhabnya yang lama dan yang baru (Al-Imam As-Syafi`i fi Madzabihi al-Qadim wal al-Jadid). Pembimbing terakhirnya, Syaikh Abdul Khaliq, sempat memuji disertasinya itu. “Menurut saya, kitab ini adalah kitab yang terbaik mengenai Imam Syafi`i pada masa sekarang.”
Setelah empat tahun bekerja di Syiria, suatu hari Nahrawi menerima dua tawaran pekerjaan: menjadi dosen di Universitas Malaya (Malaysia), dan menjadi penyiar siaran bahasa Indonesia di Radio Kerajaan Arab Saudi, Jeddah. Nahrawi akhirnya memilih yang terakhir. Ia pun pamit ke atasannya di KBRI Syiria, waktu itu dijabat Pak Ubani. “Saya masih ingin Saudara di sini. Tapi Saudara lebih tahu kepentingan Saudara. Jadi, saya izinkan. Tapi kalau ada apa-apa, Saudara bisa kembali ke sini,” begitu pesan Pak Ubani kepada Nahrawi.
Menikah dan Menulis Buku
Sambil mempersiapkan diri ke Saudi, pada 1975 Nahrawi singgah ke Mesir untuk menikahi Laila, gadis Mesir yang saat itu masih berusia 16 tahun. Laila bukan orang asing bagi Nahrawi. Dia adalah adik tiri dari tiga anak asuh Nahrawi (Mona, Fatma, dan Mahmud). Ia mengasuh ketiga anak itu karena ibu mereka ditinggal wafat suaminya yang asli Medan. Karena merasa iba itulah, sementara rezeki Nahrawi berkecukupan, ia akhirnya mengasuh mereka. Dan Laila pun, yang merupakan hasil perkawinan kedua ibunya dengan H. Abdurrahman, kemudian diambil menjadi istrinya.
Setelah menikah, berangkatlah Nahrawi bersama Laila ke Jeddah untuk menjadi penyiar dan penerjemah siaran bahasa Indonesia di Radio Kerajaan Arab Saudi. Selain itu, tak banyak urusan penting yang dilakukan Nahrawi. Paling-paling melaksanakan ibadah haji dan membina rumah tangga. Hingga suatu ketika, pada 1988, terbetik keinginan Nahrawi untuk kembali ke Indonesia. Namun karena rumahnya di Indonesia belum selesai dibangun, untuk sementara ia dan keluarga terpaksa tinggal di Mesir. Dalam penantian yang ternyata memakan waktu dua tahun itu, Nahrawi memilih kegiatan untuk belajar, menulis, dan menerbitkan buku.
Buku pertama yang diterbitkan Nahrawi di Mesir adalah disertasinya yang telah mengantarkannya bergelar doktor. Judul lengkapnya Al-Imam Asy-Syafi`i fi Mazhabaihi al-Qadim wal-Jadid. Pengarangnya tertulis di situ Dr. Ahmad Nahrawi Abdus Salam Al-Indunisi. Kata “Al-Indunisi” dalam sampul buku itu sempat dipersoalkan penerbit. Kalau kata itu ditulis dikhawatirkan buku kurang laku. Atau mungkin mereka ragu apa benar ada orang Indonesia bisa mengarang dalam bahasa Arab yang baik. Tapi Nahrawi tetap bersikeras. “Ah, tulis saja. Laku atau tidak, habis perkara. Yang penting nama Indonesia lebih dikenal lagi di sini,” tegas Nahrawi kepada penerbit.
Nahrawi juga sempat berguru ilmu baca Al-Qur’an (qira’ah) kepada seorang ahli qira’ah di sana. Ia serius mendalami qira’ah tujuh (qira’ah sab`ah). Sambil belajar, ia mencoba menulis dengan caranya sendiri bagaimana belajar qira’ah yang baik dan mudah. Ternyata tulisan itu dipuji gurunya, sehingga ia kian semangat untuk menyelesaikannya. Akhirnya naskah buku berbahasa Arab itu selesai ditulis dengan judul Qira’ah Sab`ah. Dua buku lain yang ditulis Nahrawi adalah Siratun-Nabi minal Qur’an was-Sunnah dan Ilmul-Falaq.
Di tengah keasyikannya menulis itulah, datang kabar dari Indonesia bahwa rumah Nahrawi di Pancoran sudah siap-huni. Tak pelak lagi, Nahrawi langsung mengambil keputusan untuk segera kembali ke Tanah Air. “Kalau memikirkan materi terus, kalau tunggu-tunggu ketiga buku saya itu terbit, tidak akan ada habisnya. Jadi, lebih baik saya pulang saja,” katanya. Maka, tepat pada pertengahan April 1990, berangkatlah Nahrawi bersama keluarganya menuju Indonesia yang sudah 41 tahun ditinggalkannya.
Mengabdi di Masyarakat
Sekembalinya ke Jakarta, Nahrawi lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengabdi bagi masyarakat dan agama. Ia mengajar dan berceramah di berbagai masjid, musalla, dan majelis taklim di sekitar Jabotabek. Pada 1991, atas permintaan Dr. Said Agil Munawar dan Dr. HM. Quraish Shihab, Nahrawi sempat mengajar di Fakultas Syariah IAIN (kini UIN) Jakarta. Namun, karena fisiknya sudah makin melemah, apalagi menurutnya jalan menuju IAIN Ciputat sangat macet, akhirnya ia berhenti. Pada 1992-1998, Nahrawi juga pernah menjadi salah seorang anggota Majelis Syuriah PBNU.
Sampai akhir hayatnya, nama Nahrawi masih tercatat sebagai staf pengajar di Pascasarjana Universitas Islam Djakarta (UID). Ia juga masih memberikan kuliah subuh setiap Sabtu di forum Al-Bahtsu wat-Tahqiq, sebuah forum dua-mingguan yang khusus membahas kitab karya Nahrawi yang diikuti oleh ratusan ustaz dan kiai di Jakarta. Selain itu, ia pun masih duduk sebagai salah seorang anggota Komisi Fatwa MUI Pusat sejak 1992. Dua jabatan lain yang juga masih diembannya sejak 1998 adalah Ketua Yayasan KH. Abdul Mughni dan Anggota Dewan Syura DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Jabatan terakhir ini tentu menarik, mengingat baru kali inilah Nahrawi secara formal ikut aktif—meski di balik layar—dalam dunia politik nasional. Menurutnya, ia beberapa kali ikut terlibat dalam rapat-rapat penggodokan salah satu partai orang NU itu, terutama dalam soal ajakan kepada para kiai untuk ikut berpolitik. “Berpolitik bagi kiai bukan persoalan. Terserah di partai apa saja. Toh itu tidak dilarang agama. Yang penting, kita sportif dan tidak main kotor,” tegasnya kepada penulis dua minggu sebelum wafatnya.