Nama Dr. KH. Ahmad Nahrawi Abdus Salam memang tak begitu terkenal untuk tingkat nasional. Namun bagi masyarakat Islam di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), khususnya masyarakat Betawi, beliau sudah tak asing lagi. Lelaki kelahiran Jakarta (tepatnya di Pedurenan Karet Haji Cokong), Ahad, 30 Agustus 1931, itu merupakan ulama kenamaan yang dikenal sangat alim dan tawadu. Kepribadiannya pun sangat ramah dan selalu menghormati siapa saja. Juga sangat telaten dan sabar dalam membimbing masyarakat Islam di berbagai masjid, musala dan majelis taklim di Jabodetabek.
Pada 7 Februari 1999, sekitar pukul 08.00 pagi, ulama kebanggaan masyarakat Betawi itu wafat di kediamannya di Pancoran, Jakarta Selatan. Tentu semua orang, apalagi pihak keluarga, hampir tak percaya dibuatnya. Sebab, beberapa hari sebelum wafat, beliau masih sehat walafiat, kecuali hanya pusing-pusing kecil biasa.
Sebagai penghormatan terakhir bagi jasa-jasanya, tak heran jika seribuan masyarakat Islam se-Jabodetabek bertakziah dan salat jenazah di Masjid Al-Munawwar, Pancoran, dan Masjid Baitul Mughni, Kuningan Timur. Tampak hadir saat itu antara lain Dr. Said Agil Munawar, KH. Muchtar Nasir, KH. Masyhuri Syahid MA, KH. Abdul Rasyid Abdullah Syafi`i, tokoh Betawi H. Edy Nalapraya, para ulama, habaib, kiai, pejabat, murid, kerabat dan lain-lain.
Dr. Nahrawi dimakamkan di pemakaman keluarga di tanah kelahirannya Pedurenan, Jakarta. Pak Awi—demikian panggilan akrabnya—meninggalkan seorang istri Laila Abdurrahman, wanita asal Mesir yang dinikahinya pada 1975, juga di Mesir. Pun meninggalkan tiga orang puteri yang sangat dicintainya: Amirah Ahmad Nahrawi (lahir 1977), Du`a Ahmad Nahrawi (lahir 1980), dan Manar Ahmad Nahrawi (lahir 1984).
Dengan meninggalnya Pak Awi, masyarakat Islam Jakarta jelas merasa sangat kehilangan salah satu teladan terbaiknya. Sebab, sosok kiai seperti dia boleh dibilang sangat langka: sudah pintar, bergelar doktor lagi, kaya tapi tawadu, sabar dan telaten, serta tak bosan-bosannya membimbing murid-muridnya. “Mana ada kiai Betawi sekarang yang sekaliber dan setawadu Pak Awi?” tutur Prof. Dr. HM. Quraish Shihab, mantan menteri agama yang juga adik kelas Dr. Nahrawi di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.
Berotak Encer
Semasa anak-anak, Nahrawi sudah dikenal cinta ilmu. Oleh ayahnya, H. Abdus Salam, ia disekolahkan di TK Belanda di Cikini. Kemudian dilanjutkan ke sekolah Belanda (Hollands-Inlandse School, HIS) di daerah Petojo dan Kwitang, Jakarta Pusat. Nahrawi juga rajin ngaji dan mendalami ilmu-ilmu agama seperti Al-Quran, hadis, nahwu, sharaf, faraid, ilmu falak. Salah seorang kiai Betawi yang sangat berjasa mengajarkan dasar-dasar agama kepadanya adalah KH. Abdullah Suhaimi (ayah dari KH Abdul Azim, Mampang Prapatan). Selain itu, atas anjuran kakeknya KH. Abdul Mughni alias Guru Mughni Kuningan, Nahrawi juga sempat belajar di `Unwanul Falah dan Jami`iat Khair, dua di antara madrasah yang ngetop di Betawi saat itu.
Rupanya Nahrawi termasuk bocah yang berotak encer. Dalam mengikuti pelajaran apa pun, dia tak pernah merasa kesulitan, bahkan selalu menduduki ranking teratas. Begitu pula kemampuannya dalam berpidato. Karena sering diajak acara muludan atau Maulid Nabi Muhammad Saw., terutama oleh saudaranya KH. Abdul Razak Makmun (Warung Buncit), akhirnya Nahrawi pun ketularan bakat. “Saya sering disuruh tampil berpidato di mana-mana,” ceritanya. Karena itu, tak heran jika Nahrawi waktu itu dikenal sebagai mubalig cilik.
Dagang-Kuliah-Dagang
Semasa belajar di Jam`iat Khair, ada ketentuan bahwa siapa pun yang berturut-turut menduduki ranking teratas akan dikirim ke Mesir. Tentu saja Nahrawi berhak atas jatah beasiswa itu. Namun sayang, karena di Mesir ketika itu sedang perang, pengiriman akhirnya ditangguhkan. “Harapan saya waktu itu hampir pupus. Tapi alhamdulillah, semangat belajar saya tidak hilang dan bahkan semakin bertambah melalui belajar sendiri,” katanya kepada penulis selagi beliau mash segar bugar.
Setamat dari Jami`at Khair, Nahrawi sempat bingung harus melanjutkan sekolah ke mana. Sebab, saat itu di Jakarta belum ada pendidikan tinggi. Akhirnya, sambil terus belajar secara otodidak, Nahrawi belajar berdagang minyak kelapa atau minyak goreng. Nah, pada saat berdagang itulah, suatu hari Nahrawi mendengar bahwa telah dibuka Sekolah Tinggi Islam (STI) oleh Masyumi di wilayah Gondangdia, Menteng. Ia langsung daftar dan lulus seleksi. Di STI itulah Nahrawi untuk pertamakalinya merasakan belajar di perguruan tinggi. Menurutnya, STI itu hebat. Pelajarannya sudah tinggi. Di antara guru-gurunya di sana adalah HM. Rasjidi dan Sulaiman.
Sayang sekali, baru enam bulan Nahrawi menjadi mahasiswa, tiba-tiba pasukan NICA Belanda melakukan agresi. Dan STI pun kemudian dipindahkan ke Yogyakarta bersamaan dengan pindahnya Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Sebetulnya Nahrawi juga kepingin pindah ke Kota Gudeg itu untuk terus kuliah di STI. Namun ibunya, Hj. Najmiah binti Guru Mughni, melarangnya. Akhirnya studi Nahrawi pun terhenti dan ia terpaksa kembali berdagang.
Menurut Nahrawi, setelah agak maju, bisnis minyaknya itu sempat membuatnya sering ke luar kota: Karawang, Cirebon, Semarang, Solo bahkan Yogyakarta. Nahrawi juga sempat bergonta-ganti barang dagangan: dari minyak, benang, sampai hasil bumi. Usahanya itu kadang untung, kadang rugi, bahkan pernah gulung tikar. Namun saat ia “banting stir” menjadi penjahit wol dan tukang sol sepatu, yang kemudian produknya dijual di Pasar Baru, dagangannya ternyata laku.
Untuk ukuran seusianya, Nahrawi boleh dibilang cukup berhasil dalam dunia usaha. Tapi semangat belajarnya tetap tak pernah pupus. Di sela-sela kesibukannya berdagang, ia selalu belajar sendiri secara rutin. Bahkan pernah berguru kepada Syihabudin Latief, rekan ayah Nahrawi yang pernah menjadi Menteri Penerangan pada masa Kabinet Amir Syarifuddin.
Ngaji dan Bentuk IPIH
Suatu ketika, ibu Nahrawi berniat ingin naik haji dan Nahrawi diminta untuk menemaninya. Nahrawi langsung menyetujuinya dengan perjanjian kalau pulang ia tidak ikut karena ingin bermukim di Jeddah sambil mencari-cari informasi untuk bisa sekolah di Mesir. “Ini kesempatan emas yang tak boleh dilewati untuk bisa sekolah di luar negeri,” pikirnya saat itu. Nahrawi juga sempat berkonsultasi kepada Syihabudin Latief. Gurunya itu sempat bilang, “Kalau Saudara mau sekolah ke Mesir, biar saya minta rekomendasi ke Menlu H. Agus Salim, teman dekat saya. Nanti aslinya saya kirim ke Pak Rasjidi, Dubes RI untuk Mesir dan Arab Saudi.”
Nahrawi senang bukan kepalang atas kebaikan gurunya itu. Sebab, pemerintah Mesir ketika itu tengah memberlakukan peraturan bahwa seseorang tidak mungkin bisa sekolah di sana tanpa ada jaminan pemerintah atau pihak swasta dari negara yang bersangkutan. Nah, setelah segala sesuatunya beres, tepat pada 8 Agustus 1949, saat usia Nahrawi 18 tahun, berangkatlah ia bersama ibunya ke Makkah dengan menggunakan kapal laut.
Setelah kira-kira dua minggu berlayar di laut, dan sempat merayakan Hari Kemedekaan RI di atas kapal, sampailah Nahrawi dan ibunya di pelabuhan Jeddah. Dengan telaten dan sabar, Nahrawi kemudian membimbing ibunya menunaikan ibadah haji. Dan ketika prosesi pelaksanaan ibadah haji usai, ibunya kembali ke Tanah Air. Sementara Nahrawi tetap bermukim di Makkah. Ia pun menemui HM. Rasjidi untuk menanyakan surat rekomendasi Menlu yang pernah dijanjikan. Sayang surat itu ternyata belum sampai juga.
Sampai setahun lamanya menunggu, Nahrawi ternyata belum juga berhasil mendapatkan surat rekomendasi itu. Akhirnya, untuk mengisi waktu luangnya, ia memutuskan untuk belajar di Masjidil Haram. Sebetulnya, di Saudi Arabia ketika itu sudah ada beberapa sekolah yang bisa dan layak dijadikan sebagai tempat belajar, seperti Daarul `Ulum, Al-Falah, dan lain-lain. Namun Nahrawi sama sekali tidak tertarik masuk ke sana, karena tujuannya datang ke Timur Tengah hanya ingin sekolah di Mesir, bukan di Arab Saudi.
Keputusan Nahrawi untuk ngaji di Masjidil Haram ternyata tak sia-sia. Walau hanya belajar secara informal, ia bersyukur pernah bisa menghapal Al-Quran dalam waktu tiga bulan sepuluh hari. Ia juga sempat menghapal kitab Jam`ul Jawami` dan Matn al-Fiqh lil-Imam as-Suyuthi. “Itu semua dapat saya lakukan karena banyak sekali waktu yang terluang. Keadaan di Makkah juga sangat mendukung konsentrasi saya. Saya rajin sekali waktu itu, bisa baca Al-Quran 8 juz sehari. Setiap jam 12 malam ke atas saya mulai menghapal, tempatnya di bawah Hijir Ismail,” kenangnya.
Nahrawi juga sudah memiliki banyak teman, khususnya yang berasal dari Indonesia. Ia punya kesan bahwa saat itu para pelajar Indonesia di Makkah memiliki ciri yang—meminjam istilahnya sendiri—”kesantri-santrian” dan “keortodoks-ortodoksan”. Menurutnya, mereka kebanyakan datang dari kampung-kampung, berbeda dengan dirinya yang, meski keturunan orang Betawi, pendidikan dasarnya sudah agak “berbau luar” karena pernah belajar di sekolah Belanda. Dari situlah kemudian muncul keinginan Nahrawi untuk membentuk sebuah ikatan pelajar asal Indonesia.
Sayangnya waktu itu di Arab Saudi terdapat larangan untuk membuat ikatan atau organisasi, apalagi oleh anak-anak pelajar. Tapi untunglah, gagasan Nahrawi disokong oleh Dr. Sulaiman, staf dubes RI Saudi yang dulu—seperti halnya HM. Rasjidi—juga adalah mantan guru Nahrawi di STI. “Saya dekat sekali dengan Pak Sulaiman. Setiap ada tamu negara (dari Indonesia) datang ke Arab Saudi, saya selalu dipilih menjadi guide untuk mengantar mereka ke mana-mana,” tuturnya.
Nahrawi akhirnya berhasil membentuk organisasi pelajar bernama Ikatan Pelajar Indonesia Hijaz (IPIH). Tujuannya antara lain melayani jemaah haji dari Indonesia. Juga melatih anggota IPIH berbagai keterampilan: cara berpidato, bergaul, belajar, dan lain-lain. Menurut Nahrawi, kawan-kawannya saat itu antara lain Zainuddin Mansyur (mantan anggota DPR RI), Usman Yahya (mantan rektor IAIN Ar-Raniri, Aceh), Abdul Qadir Bugis, dan Mukmin Mercik. Relasi Nahrawi pun kian luas, termasuk dengan pejabat Arab dan kedutaan RI. Misalnya Imron Rosyadi, Idham Khalid (tokoh NU dari Cipete), Abi Suja, Hasan Nasir (gurunya di STI), Hasyim (Palembang), dan lain-lain.
Kedua nama terakhir inilah yang kemudian membuat jalan ke Mesir makin terbuka bagi Nahrawi. Hasyim mengusulkan Nahrawi datang saja ke Mesir sebagai turis, baru masuk sekolah. Dia pun usul agar Nahrawi ajak teman-teman lain. Nahrawi amat senang dan langsung mengajak Zainuddin, Usman, Qadir, dan Mukmin. Namun karena bokek, Nahrawi—dibantu kawan-kawan IPIH seperti Noer Hasan, Salam Jaelani, dan lain-lain—terpaksa cari fulus dulu: dari menjahit pakaian haji, sampai jadi guide jemaah haji sambil jual es dan kacang goreng! “Selama dua bulan, kami betul-betul banting tulang. Tapi syukurlah, semua berjalan lancar,” kenang Nahrawi. (Bersambung bagian 2)
Riwayat Hidup
Nama: Ahmad Nahrawi Abdus Salam
TTL: Jakarta, 30 Agustus 1931/16 Rabiul Awal 1350 H
Nama Ayah: H. Abdus Salam
Istri: Laila Abdurrahman
Anak: Amirah, Du`a, Manar
Pendidikan
- Taman Kanak-kanak Belanda, Cikini
- HIS Petojo dan Kwitang
- Madrasah `Unwanul Falah dan Madrasah Jam`iat Khair
- Sekolah Tinggi Islam (STI), Menteng (tidak tamat)
- Meraih gelar LC Fakultas Syari`ah Universitas Al-Azhar, Mesir (1956)
- Meraih gelar MA Bidang Kehakiman Fakultas Syari`ah Universitas Al-Azhar, Mesir (1958)
- Meraih gelar MA Bidang Pengajaran dan Pendidikan Fakultas Bahasa Arab Universitas Al-Azhar, Mesir (1960)
- Meraih gelar Diploma I Bidang Hukum Akademi Tinggi Liga Arab, Mesir (1961)
- Meraih gelar Diploma II Bidang Hukum Akademi Tinggi Liga Arab, Mesir (1962)
- Meraih gelar MA Bidang Perbandingan Mazhab Fakultas Syari`ah Universitas Al-Azhar, Mesir (1966)
- Meraih gelar Doktor Bidang Perbandingan Mazhab Fakultas Syari`ah Universitas Al-Azhar, Mesir (1970)
Pekerjaan
- Penerjemah dan penyiar seksi siaran bahasa Indonesia di Radio Mesir (1953-1970)
- Dosen bahasa Indonesia Akademi Bahasa Asing Cabang Universitas `Ainus-Syams, Mesir
- Dosen bahasa Indonesia Akademi Bimbingan dan Kader Al-Azhar Cabang Universitas Al-Azhar, Mesir (1958-1968)
- Staf KBRI Damaskus (1970-1974)
- Penerjemah dan penyiar seksi siaran bahasa Indonesia Radio Arab Saudi, Jeddah (1974-1988)
- Dosen Fakultas Syari`ah IAIN Jakarta (1991)
- Mengajar di berbagai pengajian, khususnya di Forum Al-Bahtsu wat-Tahqiq (1994-wafat)
Kegiatan Organisasi
- Menjadi Ketua Ikatan Pelajar Indonesia Hijaz (IPIH) (1950-1952)
- Menjadi pengurus organisasi Pelajar Indonesia Mesir (PIM) (1953-1960-an)
- Menjadi pengurus Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Damaskus (1970)
- Salah seorang anggota Majelis Syuriah PBNU (1992-1998)
- Salah seorang anggota Komisi Fatwa MUI (1992-wafat)
- Ketua Umum Yayasan KH. Abdul Mughni Kuningan (1998-wafat)
- Salah seorang anggota Dewan Syura DPP PKB (1998-wafat)