Jakarta – Wartawan senior, Bambang Wiwoho menunjukan eksistensinya dalam menulis dengan meluncurkan enam buku selama pandemi Covid-19. Mantan wartawan Suara Karya dan Panji Masyarakat ini percaya bahwa faktor usia dan keterbatasan lainnya bukan menjadi penghalang untuk terus berkarya. Tiga buku pertamanya, yaitu “Orang Jawa Mencari Gusti Allah”, “Pageblug Corona”, dan “Membaca Nusantara dari Afrika” telah terbit pada November 2020 dan Maret 2021. Sedangkan tiga lainnya telah diluncurkan pada, Sabtu (15/1/2021) bertepatan dengan peringatan Peristiwa Malari ke-48.
Dilansir dari detik.com Wiwoho mengatakan buku Triloginya tentang Tonggak-Tonggak Orde Baru ini diluncurkan bertepatan dengan peringatan Malari dan ulang tahun Indonesian Democracy Monitor (INDEMO) ke-22.
Buku pertama dari Trilogi ini berjudul Jatuh Bangun Strategi Pembangunan, yang membahas bagaimana Presiden Soeharto dan tim ekonomi mengutamakan pertumbuhan ekonomi. Hal itu dibuktikan dengan masuknya perusahaan-perusahaan multi nasional yang melakukan investasi besar-besaran dengan leluasa di Indonesia pada akhir 1960-an. Strategi ini bertujuan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi baru kemudian dilakuykan pemerataan sesuai teori “menetes ke bawah”. Tapi yang terjadi kemudian strategi pertumbuhan ini secara cepat dan kasat mata mempertontonkan ketidakadilan di dalam masyarakat.
“Strategi tersebut melahirkan persekongkolan kekuatan ekonomi dengan kekuasaan politik. Ironisnya sekarang berulang, terjadi kekuatan oligarki yang merupakan persekongkolan pengusaha-penguasa,” kata Wiwoho.
Buku kedua berjudul, Musuh Terbesar: Kesenjangan Bernuansa Sara & Ekstremisme antara lain mengulas cara Presiden Soeharto merekrut para menterinya, penggalangan citra di masa Orde Baru (Orba), RUU-RUU (Rancangan Undang-undang) yang digarap puluhan tahun, hingga gerakan kebangkitan Islam.
Selama masa Orba, pemerintah dengan sokongan Golkar dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) menguasai tujuh puluh persen suara di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tapi nyatanya tak serta-merta bisa meloloskan pembahasan setiap RUU. Setidaknya ada dua RUU yang menyita waktu bertahun-tahun bahkan sampai 20 tahun untuk bisa disahkan. Wiwoho menyebut RUU Perkawinan dan RUU Pancasia sebagai Asas Tunggal.
“Sebenernya bisa saja disahkan, namun perlu adanya pendekatan humanis dengan duduk bersama, membongkar dan menyusun kembali draf yang ada,” ungkapnya.
Buku ketiga, ia beri judul Kejatuhan Soeharto dan Ancaman Pembelahan Bangsa. Dalam buku ini disebut lengsernya Soeharto mirip dengan kejatuhan Amangkurat I. Amangkurat I jatuh oleh pemberontakn yang diprakarsai oleh putranya sendiri, sedangkan Soeharto turun oleh desakan massa dan orang-orang terdekatnya yang mendadak mundur.
Sebagai informasi, dalam acara peluncuran buku triloginya ini dihadiri oleh berbagai tokoh, seperti tokoh dari Malari, dr Hariman Siregar, belasan aktivis dan politisi seperti Jumhur Hidayat, Syahganda Nainggolan, Eggi Sudjana, dan Fahri Hamzah.
Hingga saat ini Bambang Wiwoho telah menulis lebih dari 50 judul buku. Selain enam judul buku di atas, adapula Memoar Jenderal Yoga dan Operasi Woyla. (ST/JBR)