Anggota DPD RI Jimly Asshiddiqie meluncurkan dua buku. Pertama berjudul Teokrasi, Sekularisme, dan Khilafahisme. Kedua Oligarki dan Totalitarianisme Baru.
Acara peluncuran berlangsung di Kantor Komisi Yudisial, Jakarta.
Lewat buku itu, mantan ketua Mahkamah Konstitusi tersebut menjelaskan dinamika bernegara saat ini, juga posisi Indonesia, apakah sebagai negara teokrasi, sekular, atau khilafah.
Beberapa tahun terakhir kalangan akademisi juga membicarakan kaitan oligarkhi dengan kenegaraan. Semua tema itu menjadi diskusi. Cendekiawan selalu termotivasi untuk membahasnya. Juga mengaitkan kata kunci tadi dengan dinamika keindonesiaan.
Komentar Ketua MPR
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menilai tema besar dalam buku itu menggugah kesadaran. Juga komitmen kolektif masyarakat Indonesia. Mereka terdorong membicarakan bangsa ini dan mengaitkannya dengan persoalan mendasar dalam kehidupan.
“Ada diskusi tentang berbagai persoalan mendasar dalam kehidupan berbangsa,” ujar Bamsoet, sapaan akrab Bambang Soesatyo, saat menjadi pembicara kunci dalam acara peluncuran dua buku tadi.
Dalam buku Teokrasi, Sekularisme, dan Khilafahisme, Jimly menggugah kesadaran kolektif mengenai persoalan hubungan negara dan agama. Pada dasarnya, sebagai negara Pancasila, pengamalan agama dan penyelenggaraan negara Indonesia berjalan beriringan dan saling menguatkan. Agama dan negara sama-sama berjalan beriringan dan saling menguatkan.
Lebih lanjut, melalui buku Teokrasi, Sekularisme, dan Khilafahisme, Bamsoet menilai Jimly menyajikan kumpulan tulisan yang bertautan dengan eksistensi paham ketuhanan dan keagamaan dalam konteks kehidupan bernegara.
Di dalamnya pula, kata dia, terdapat relasi antara hukum agama dan sistem hukum nasional.
Bamsoet menyebutkan berbagai paham tersebut hadir sebagai mazhab pemikiran yang sejak akhir abad ke-20 kembali mengemuka. Semuanya adalah gagasan yang diasumsikan menjadi prinsip ideal untuk dipraktikkan pada zaman modern saat ini.
“Buku karya Prof. Jimly lainnya, Oligarki dan Totalitarianisme Baru, menyetir dinamika kualitas kehidupan demokrasi di Tanah Air yang tercermin dari pasang surut capaian indeks demokrasi. Itu mengisyaratkan bahwa kematangan dan kedewasaan berdemokrasi kita masih labil, belum mencapai pada titik kemapanan,” lanjutnya.
Buku kedua Jimly Asshiddiqie
Dalam buku Oligarki dan Totalitarianisme Baru, Jimly menggugah kesadaran kolektif bahwa Indonesia telah bersepakat, kekuasaan negara dan pemerintahan, terutama kekuasaan untuk mengelola serta memanfaatkan sumber daya material negara, tidak boleh hanya dikendalikan atau dikuasai oleh segelintir kelompok elite.
Dalam kesempatan yang sama, Bamsoet mengapresiasi kontribusi Jimly yang terus menggalang tanggung jawab intelektual bagi transformasi hukum dan sosial di Indonesia untuk mewujudkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara lebih baik.
“Prof. Jimly tidak pernah lelah menggalang tanggung jawab intelektual untuk turut memberikan kontribusi pemikiran dalam usaha transformasi hukum dan sosial menuju Indonesia yang lebih baik,” ujar dia.
Di samping itu, lanjut dia, Jimly sebagai tokoh bangsa juga tidak pernah lelah mewacanakan narasi serta wawasan kebangsaan untuk menggugah kesadaran kolektif bangsa Indonesia tentang berbagai persoalan mendasar dalam kehidupan berbangsa.