Pergi ke tanah suci adalah salah satu dambaan muslim di manapun berada. Selain haji, salah satu yang paling umum dilakukan adalah umrah, yaitu “haji kecil” yang rangkaian ritualnya lebih sederhana, waktunya lebih pendek, dan tidak perlu menunggu bertahun-tahun sebagai waiting list.
Umrah hanya memiliki dua ritual wajib, yaitu tawaf dan sa’i, tidak ada wuquf, jamarat, dan mabit. Maka dari itu jamaah umrah memiliki banyak waktu senggang di tanah suci, di luar jadwal ibadah. Biasanya paket umrah dilakukan selama 9, 12, atau 14 hari. Dalam rentang waktu tersebut yang biasa dilakukan jamaah adalah menjalani rukun-rukun umrah, berziarah ke Madinah, dan melakukan ibadah sekunder, seperti i’tikaf di masjidil haram.
Buku Umrah Anti Mainstream karya Nordin Hidayat ini menunjukkan cara yang lebih asyik berumrah dengan mengisi waktu-waktu kosong berbaur dengan kultur Arab Saudi. Nordin adalah orang Bandung yang bermukim di Arab Saudi sejak 2002. Sebagai pengusaha dalam bidang handling & land arrangement untuk jamaah haji plus dan umrah, ia banyak bersinggungan dengan orang lokal dan paham kultur setempat. Dari pengalamannya bertahun-tahun itu, ia mengajarkan kemungkinan-kemungkinan yang lebih bebas daripada sekedar berumrah ala orang Indonesia selama ini.
Haji adalah ibadah fisik yang memiliki nilai spiritual yang tinggi. Sebagian orang ingin melakukannya dengan cara paling unik agar menanamkan kesan lebih mendalam. Tahun 2016 seorang pria muslim Cina berhaji dengan cara mengayuh sepeda dari Provinsi Xinjiang ke Mekah sejauh 8.150 kilometer. Pada 2007, seorang warga Chechnya berusia 63 tahun menempuh perjalanan 12 ribu kilometer naik sepeda dari kampungnya ke Makkah.
Meskipun tidak seekstrim itu, Nordin Hidayat mengajak kita membuka kemungkinan lebih bebas ketika di Arab Saudi, tidak hanya terikat dengan situs-situs yang biasanya. Generasi milenial saat ini cenderung lebih bisa menikmati traveling daripada generasi old. Mereka bisa larut dalam keasyikan suasana packing, menuju bandara, transit, hingga landing di tujuan dan mengeksplorasi daerah yang dikunjungi.
Umrah bagi kebanyakan orang adalah tawaf, sa’i dan ziarah. Di Indonesia, program umrah yang paling laris adalah yang hotelnya paling dekat dengan haramain dan serba dilayani. Bila mungkin cateringnya menu Indonesia. Jamaah umrah biasanya sangat terikat ritual demi ritual dengan sangat disiplin. “Mumpung di Saudi,” katanya. Semua rukun umrah dilakukan dengan saksama, mengulanginya beberapa kali, lalu pulang ke tanah air.
Umrah dipandang sebagai perjalanan spiritual yang dianggap tidak mungkin diduakan dengan tujuan lainnya.Bagi yang menyukai umrah konservatif seperti ini, tetap akan mendapatkan pengalaman-pengalaman menarik. Namun yang biasa mereka ceritakan sepulang ke rumah adalah hal-hal pandanan mata dan pengalaman pribadi yang klise, seperti berhasil mencium hajar aswad, mencapai multazam, dan lain-lain. Jarang ada yang membawa pulang pengalaman yang terkait budaya dan tradisi Arab, serta pengalaman bersinggungan dengan penduduknya.
Hal ini berkebalikan dengan konsep umrah anti mainstream ini. Konsep baru ini meminta orang terlibat dan menikmati setiap tahapan dengan saksama. Buku ini mengusung ide dasar menjalani umrah dengan pendalaman batin, eksplorasi geogradis, budaya, dan kuliner.
Seperti melancong, umrah pun layak dinikmati sebagaimana traveling. Umrah itu bukan hanya di hotel, jalan kaki ke masjid, ikut rombongan belanja kurma, lalu pulang. Hal-hal kecil, seperti bertemu orang di lift, mengucap salam, bertegur sapa, meski hanya “min aina anta?” adalah pengalaman unik. Apalagi ikut antre di kafe, pergi ke peternakan onta dan membeli susu, menaiki kendaraan umum, memasuki pasar, adalah salah satu upaya melihat dunia Arab secara lebih komprehensif.
Setiap tahap dalam umrah itu mengasyikkan. Misalnya mulai masuk miqat dan berganti kostum ihram, lalu melakukan perjalanan ke ka’bah, bertawaf, sa’i, itu semua pada dasarnya apak tilas perjalanan sayyidah Hajar ketika ditinggalkan Nabi Ibrahim di gurun Arab atas perintah Allah. Membandingkan suasana saat ini dengan merenungi keadaan gurun saat itu saja sudah merupakan perjalanan spiritual yang menarik, dan itu mendapat pahala tersendiri. Semua itu memang aktifitas ragawi tetapi memiliki sisi batiniah yang mendalam, bagi yang bisa meresapinya.
Akan lebih hebat lagi apabila prosesi umrah ini digabung dengan perjalanan lanjutan yang juga masih dalam rangka mengagumi bagian bumi Allah yang lain, dan berta’aruf dengan penduduknya. Kuncinya ada tiga, yaitu journey, culture, and culinary, alias traveling, budaya, dan kuliner. Maka ketika umrah cobalah pergi agak jauh, misalnya ke Madain Saleh, Al-Ula, Thaif, Riyadh, atau yang lain.
Buku ini menampilkan banyak kemungkinan melakukan perjalanan lain di luar jadwal ibadah agar lebih mengenal Arab Saudi. Terdapat pula tempat-tempat yang dapat dikunjungi secara pribadi atau bersama keluarga di luar jadwal rombongan.
Sebagai mukmin yang sudah 20 tahun tinggal di Saudi, Nordin Hidayat sangat tahu situs-situs mana yang layak dijelajahi dan dengan cara bagaimana agar itu dapat dilakukan dengan bujet sehemat mungkin. Misalnya dengan memanfaatkan masjid sebagai tempat beristirahat dan menginap. Mabit atau bermalam di (pelataran) masjid adalah hal lumrah. Untuk itu jangan lupa membawa selimut dan bantal tiup.
Menggunakan transportasi lokal juga mudah dilakukan. Di dalam kota Mekah dan Madinah banyak layanan bis kota, seperti Saptco, Rawahel, Qaid, dan lain-lain. Bis Saptco dari bandara Jeddah ke Masjidil Haram misalnya, hanya 32 Real, dari Madinnah ke Mekah 77 Real.
Judul: Umrah Anti Mainstream, Cara Baru Menikmati Perjalanan Ibadah Umrah yang Tak Terlupakan
Penulis: Nordin Hidayat
Penerbit: Rene Islam
Genre: Spiritual Islam
Tebal: 276 Halaman
Edisi: Cet 1, November 2019
ISBN: 978-602-1201-77-0