“Culture is the immune system of a group—it determines what survives.”
—Daniel Coyle, The Culture Code
Saya terbiasa mempercayakan finishing pekerjaan saya pada Fendy, sahabat saya. Lebih dari 17 tahun kami bersahabat dan bekerja sama, menjadikan Fendy sebagai bagian dari hidup saya. Sampai akhir Mei lalu, Fendy wafat. Dan suatu pagi pada bulan Juni, di tengah kesunyian tempat kerja saya di selatan Jakarta, saya digeruduk rasa galau. Berkali-kali saya menekan tombol kirim untuk slide presentasi —-yang biasanya selalu dikoreksi dan di-finishing oleh Fendy—-, tapi kali ini saya dilanda gamang.
“Kirim-enggak-kirim-enggak,” begitu pikir saya. Di satu sisi, pihak yang akan menerima file ini adalah calon tim yang akan bekerja sama dengan saya, tanpa Fendy. Dan itu membuat saya gamang. Mampukah saya dan mereka bekerja sama, bila saya tanpa Fendy?
Anda pernah mengalami kegalauan seperti saya?
Rasa Aman
Saat itulah, saya tutup laptop, lalu saya mengambil buku Culture Code-nya Coyle. “Rasa aman”. Nahh…ini kalimat Coyle yang membuat saya termenung. “Rasa aman bukan hanya soal ‘tidak dihukum’, tapi juga soal ‘berani tampil apa adanya,” kata Coyle.
Rupanya, “rasa aman” saya—ini poin pertama dari Coyle— lenyap tanpa Fendy. Setelah membaca buku Culture Code sampai selesai, saya merenung. Ternyata saya yang sering salah alamat. Saya: berpikir bahwa ‘budaya’ adalah hal eksklusif yang hanya cocok untuk lembaga besar. Dan kerja sama kami selama belasan tahun itu, telah menciptakan “budaya kerja” tersendiri untuk saya dan Fendy.
Kini saya harus bisa jalan terus, mengisi hidup dengan bekerja sama dengan orang-orang lain, dengan tim atau kelompok lain. Tapi caranya bagaimana?
Pada dasarnya, ada tiga pilar Coyle dalam buku ini: Safety (rasa aman), Vulnerability (kerentanan), dan Purpose (tujuan bersama).
Personel NAVY SEAL pun Pernah Galau
Daniel Coyle menelusuri ini melalui penelitian terhadap grup elit seperti tim Navy SEAL dan pelatih NBA Gregg Popovich—dan menyatukannya dengan contoh menarik di kantor kecil, dan bahkan keluarga sederhana.
Pada satu bab, Coyle menjelaskan bagaimana Navy SEAL membangun kepercayaan bukan lewat latihan keras atau perjuangan fisik, tapi lewat ritual terdalam: sesi curhat setelah latihan, saat mereka saling mengakui kesalahan: “Saya ragu… saya salah memahami kode.”
Dalam buku The Culture Code, Daniel Coyle membongkar rahasia bagaimana tim-tim elite seperti Navy SEAL membangun kepercayaan—dan yang mengejutkan, itu tidak dibangun lewat pamer kekuatan, latihan keras, atau kompetisi ala militer yang penuh sorak dan teriakan. Justru sebaliknya: kepercayaan yang solid di tubuh Navy SEAL tumbuh dalam momen-momen yang hening, jujur, dan sangat manusiawi.
Setelah setiap latihan atau misi, anggota SEAL duduk bersama dalam sebuah ritual yang dikenal sebagai “After Action Review” (AAR). Ini bukan pertemuan formal di mana atasan bicara dan bawahan hanya mencatat. Di sini, semua orang—dari pemimpin tim sampai prajurit paling muda—punya hak yang sama untuk bicara. Tak ada pangkat yang lebih tinggi dari kejujuran. Setiap orang diminta mengulas: apa yang berjalan baik, apa yang tidak, dan apa yang bisa diperbaiki.
Dan yang paling penting: semua orang bicara tentang kesalahan mereka sendiri lebih dulu. Misalnya, seseorang berkata, “Gue tadi telat merespons sinyal suara, karena masih mikir posisi.” Yang lain menimpali, “Iya, dan gue juga sempat kehilangan fokus waktu kita muter ke kiri.” Tak ada yang disalahkan, tak ada yang dipermalukan. Justru saat itulah, rasa hormat antaranggota tim tumbuh—karena mereka tahu: di dalam tim ini, kerentanan bukan kelemahan, melainkan fondasi kekuatan bersama.
Coyle menulis bahwa ketika seseorang berani membuka diri, mengakui kekeliruan di hadapan orang lain, dan orang lain menanggapi dengan penerimaan alih-alih cemooh—di situlah hubungan berubah. Hubungan jadi saling percaya. Itu seperti menyebarkan sinyal tak kasatmata yang bilang: “Aku aman di sini. Aku bisa jujur. Aku nggak harus selalu jadi sempurna untuk tetap dihargai.”
Hal ini kontras dengan organisasi yang hanya fokus pada hasil atau kinerja individu. Di Navy SEAL, hasil tetap penting, tapi lebih dari itu: mereka tahu bahwa rasa aman psikologis adalah pelumas utama kerja tim. Ketika seseorang tahu bahwa timnya tidak akan membiarkannya jatuh sendirian, dia akan bertindak lebih berani, lebih terbuka, dan lebih tangguh di lapangan.
Coyle juga mencatat bahwa pelatihan fisik di SEAL memang keras—tetapi tak satupun dari itu menciptakan rasa saling percaya jika tidak dibarengi dengan ruang-ruang seperti AAR tadi. Justru dalam keheningan itulah, dalam ruang terbuka yang penuh ketulusan dan refleksi, kepercayaan tumbuh dan mengakar.
Dan mungkin, dalam kehidupan sehari-hari kita yang bukan bagian dari unit elit tempur, kita bisa meniru satu hal dari mereka: bahwa membangun kepercayaan bukan dimulai dari menjadi hebat, tapi dari berani berkata, “Tadi aku kurang tepat… aku akan belajar.” Karena nyatanya, tidak ada yang lebih kuat daripada tim yang saling menanggung beban—bukan karena dipaksa, tapi karena merasa percaya.
Di ruang terbuka itu, tanpa senjata, tanpa strategi—itu bukan hanya pelatihan. Itu adalah ritual membangun keberanian rentan—lemparan tulus yang memecahkan dinding keegoisan, dan menggantinya dengan simpul kepercayaan.
Kerentanan
Gregg Popovich. Charles dalam The Culture Code menuliskan bagaimana Popovich menanamkan rasa memiliki lewat satu ungkapan sederhana di rapat: “Saya keliru…” Dengan kata itu, ia tak meruntuhkan wibawa, namun justru mengokohkannya—di mata timnya. Karena rupanya, seseorang yang siap mengakui kekurangan bukanlah pemimpin yang rapuh, tapi sosok yang memegang kendali penuh atas segala hal—termasuk rasa tidak takut anak buahnya untuk berpikir, bertanya, bahkan memprotes.
Yang mengalir terus seperti sungai di halaman akhir adalah kisah IDEO, laboratorium desain yang terkenal. Mereka menolak hierarki: CEO bisa (harus) duduk di lantai saat sesi brainstorming, dan ide paling gila pun tidak dicela. Setiap ide—meski absurd sekalipun—diterima, dicatat, dan diluncurkan sebagai bahan eksplorasi. Dengan cara itu, budaya IDEO bukan hanya mendorong inovasi, tapi juga menanamkan satu keyakinan: semua orang punya ruang untuk bersuara.
Coyle mengajak kita menyaksikan langsung pelatihan brutal para Navy SEAL. Tapi yang mengejutkan bukan sekadar push-up di lumpur atau lari sambil membawa beban. Yang paling menentukan bukan pula kekuatan fisik, tapi kekuatan membuka diri. Ada satu momen yang diabadikan Coyle: saat seorang kandidat—yang sudah berotot dan disiplin—didorong sampai ke titik mentalnya nyaris runtuh. Tapi alih-alih berpura-pura kuat, ia menoleh ke rekannya dan berkata, “Aku gak sanggup ini sendiri.”
Yang terjadi setelah itu bukan penilaian buruk, melainkan lonjakan solidaritas. Yang lain merunduk, menjawab, “Kita bareng. Gue cover lo.” Dan di situlah, tim itu naik kelas. Mereka tak lagi hanya sekelompok individu terlatih. Mereka sudah menjadi satu tubuh.
Coyle menyebut ini sebagai vulnerability loop. Dua orang atau lebih saling menunjukkan keterbukaan (kadang lewat pertanyaan, kadang lewat kegagalan kecil), lalu yang lain menanggapi dengan empati atau dukungan. Loop ini mempercepat pembentukan rasa aman psikologis. Bukan karena semua orang sempurna, melainkan karena semua orang boleh gagal, dan tetap diterima.
Contohnya sangat kontras di dunia kerja. Ada perusahaan teknologi besar yang mempercayai superstar culture—semua tampak hebat, rapi, dan tanpa cela. Tapi hasil tim mereka stagnan. Mengapa? Karena tidak ada ruang untuk berkata, “Aku bingung. Ada yang bisa bantu?”—pertanyaan sederhana, tapi mustahil diucapkan di ruang yang penuh gengsi.
Sebaliknya, Coyle menemukan bahwa tim-tim elite yang berfungsi luar biasa—termasuk Pixar, IDEO, hingga Zappos—membangun ritual kecil untuk menyuburkan kerentanan. Di IDEO, mereka menggelar sesi brainstorming di mana semua ide “bodoh” justru dirayakan. Di Pixar, mereka punya Braintrust Meeting, tempat para animator senior saling menguliti ide mentah tanpa rasa malu. Kenapa? Karena mereka percaya satu sama lain. Mereka tahu, kritik bukan perendahan, tapi tanda bahwa kita mau tumbuh bersama.
Dan Coyle mematahkan mitos besar dalam budaya maskulin: bahwa “toughness” harus tanpa air mata. Justru, tim Navy SEAL yang paling solid bukan yang paling pendiam. Tapi yang tahu kapan harus berkata, “Gue takut.” Karena di sanalah muncul reaksi timbal balik: “Gue juga. Tapi kita bareng-bareng.”
Menurut riset Google Project Aristotle (yang juga disitir oleh Coyle), hal paling penting dalam performa tim bukanlah IQ tertinggi, gelar akademik, atau jam kerja. Tapi psychological safety—perasaan bahwa aku bisa menjadi diriku sendiri, dan takkan dihakimi. Dan ini hanya tumbuh bila pemimpin atau anggota pertama yang berani rapuh.
Jadi, kerentanan bukan aib. Ia adalah pembuka pintu keintiman tim. Dan bukan hanya di militer. Dalam rumah, dalam kerja, bahkan dalam cinta, kepercayaan lahir bukan karena kita selalu benar—tapi karena kita tak takut menjadi salah, di hadapan mereka yang kita percayai.
Sudahkah Kita Punya Tujuan Bersama?
“Anak-anak yang tahu untuk apa mereka bangun tiap pagi, tumbuh menjadi manusia yang tidak mudah tumbang saat badai datang,” demikian kutipan dari percakapan seorang guru tua di Kyoto, yang diam-diam mengajarkan “purpose” pada murid-muridnya melalui teh pagi dan sapuan lantai kayu.
Dalam dunia parenting modern, kata purpose sering dianggap sebagai wacana elit: terlalu filosofis untuk anak-anak, terlalu dewasa untuk usia dini. Padahal, sense of purpose adalah benih yang paling awal disemai dalam keluarga—bukan saat anak masuk universitas, tapi sejak ia diajak menyiram tanaman di pekarangan, lalu ibunya berkata pelan: “Kita siram karena bunga ini punya tugas menyambut kupu-kupu.”
Riset dari University of California mengungkap, bahwa otak manusia—terutama prefrontal cortex, bagian yang mengatur keputusan dan tujuan hidup—sudah aktif sejak anak berusia 6–7 tahun. Artinya, usia sekolah dasar adalah masa emas untuk memperkenalkan konsep “untuk apa aku melakukan ini” bukan hanya “aku disuruh melakukan ini.” Anak yang diberi ruang bertanya dan dimaknai dalam tindakannya, cenderung membentuk inner compass—kompas batin yang membuat mereka tak mudah hilang arah meski hidup penuh peta palsu.
Sebuah studi di Journal of Positive Psychology (2014) menunjukkan bahwa remaja yang memiliki purpose dalam hidupnya, menunjukkan tingkat kortisol (hormon stres) yang lebih rendah dalam situasi tekanan tinggi. Mereka juga cenderung memiliki retensi memori lebih baik, serta kemampuan menyaring distraksi—karena mereka tahu, apa yang penting bagi mereka.
Tapi bagaimana purpose itu ditanam? Budaya Jepang mengenal konsep ikigai—“alasan untuk bangun setiap pagi”— sebagai cara menanam purpose. Bukan dengan motivasi bombastis, tapi dengan ritme hidup yang teratur, dan tugas-tugas sederhana, yang dilakoni dengan ketekunan.
Di Finlandia, sistem pendidikan mereka menghindari kompetisi akademik berlebihan, justru menekankan pencarian meaning dalam pelajaran. Anak-anak diajak menggali makna dari proyek, bukan sekadar nilai. Dan di beberapa komunitas suku di Amerika Latin, anak-anak diajari bahwa merawat hewan ternak atau menumbuk jagung bukan sekadar pekerjaan rumah, melainkan kontribusi bagi keberlangsungan seluruh komunitas.
Dalam ruang yang lebih personal, riset parenting dari Dr. William Damon di Stanford membagi purpose menjadi dua: self-oriented dan beyond-the-self. Anak-anak yang diajari bahwa “aku belajar agar aku pintar” hanya bertahan sampai kegagalan pertama datang. Tapi anak yang mengerti bahwa “aku belajar agar suatu hari bisa membantu orang lain”—ia akan berjalan lebih jauh, dan bertahan lebih lama.
Daniel Coyle dalam The Culture Code pernah mencatat bahwa tim-tim luar biasa tidak selalu dimulai dari mimpi besar, tapi dari rasa “aku dibutuhkan”—bahwa keberadaanku punya arti bagi orang lain. Di sinilah purpose tidak lagi sekadar cita-cita, melainkan keterikatan emosional dengan peran kita di dunia ini.
Kesan Saya
Buku Culture Code mengingatkan saya, bahwa budaya yang “hidup”, terlahir dari hal-hal kecil, yang dapat muncul pada seulas senyuman saat meeting. niat, ketulusan, pengakuan atas kesalahan, dan rasa bersama. Ia membuktikan bahwa setiap pemimpin, dari militer hingga ruangan rapat kecil, bisa membangun tempat di mana hatinya merasa “dipanggil pulang”.
Bisa juga dalam keberanian seseorang mencoba ide baru di tengah kerumunan. Karena pada akhirnya, budaya kuat bukan milik mereka yang punya uang banyak atau gedung besar. Ia adalah milik mereka yang setiap pagi berani berkata: “Aku menghargai ide ini… aku menghargai kamu… kita bersama.” Dan bukan karena dijanjikan besar—tetapi karena merasakannya hidup, dari hati.
Budaya adalah tempat manusia bertahan. Budaya adalah pelukan yang tak terlihat, namun memberi rasa ada. Budaya adalah tempat di mana keberanian tumbuh—bukan karena terencana, tapi karena setiap orang tetap dikenali, tetap memiliki ruang.
Dan membaca buku ini laksana mendengar bisikan lembut di antara hiruk-pikuk hidup: bahwa budaya bukan sesuatu yang ‘terbangun’, tetapi yang dipeluk, dihidupi, dan dijaga setiap hari. Ia bukan produk akhir, tapi proses terus-menerus—yang bisa dimulai bahkan dari meja kecil di sudut studio.
Seperti eksperimen Marshmallow Challenge: anak TK yang tak takut gagal menang karena mereka tak peduli gagal. Mereka bermain. Mereka belajar. Tidak seperti eksekutif yang terlalu memikirkan harga dan risiko. Bukankah ini persis seperti kita? Ketika Anda mencoret satu ide, bukan karena bodoh—tapi karena kita berani mencoba?










