PELUKAN HANGAT BAGI YANG “TERSESAT”, PENAT, DAN INGIN MENEMUKAN CINTA
“You are loved. You are love. You are lovable,” kata Si Tikus Tanah (The Mole) kepada Si Bocah Lelaki (The Boy).
Seorang bocah lelaki (The Boy) tersesat di tengah hutan bersalju. Nyaris putus asa ia, mencari rumahnya yang nggak ketemu-ketemu. Beruntung ia bertemu dengan si Tikus Tanah (The Mole) yang ramah, pengertian, dan bijaksana. Si Tikus Tanah lalu menemani si Bocah Lelaki menyusuri sungai, demi mencari rumah si Bocah. Dari sinilah, “petualangan” dalam buku ini pun kemudian dimulai: antara seorang bocah lelaki dan tiga ekor hewan (Tikus Tanah, Rubah, dan Kuda).
Empat Karakter Mewakili Diri Kita

Mudah untuk jatuh cinta pada pandangan pertama, terhadap buku The Boy, the Mole, the Fox and the Horse, yang covernya memikat. Ralat: sangat memikat. Tapi saya juga sungguh sulit untuk tak terpikat pada cara Charlie Mackesy —penulis buku ini— menciptakan keempat karakter yang sekonyong-konyong menjadi sahabat. Anehnya, kita sebagai pembaca pun tiba tiba-tiba terlibat di dalamnya.
Setiap karakter mewakili nilai dan pelajaran hidup tertentu. Sosok si Bocah Lelaki (The Boy) dengan karakternya yang penuh rasa ingin tahu —tergambar dalam pertanyaan-pertanyaan mendalam yang ia ajukan—, baik tentang kehidupan, persahabatan, dan kebahagiaan.
Layaknya bocah, ia tulus dan baik hati. Sifatnya yang terbuka dan selalu berusaha memahami teman-temannya, di sisi lain, kepolosannya menyiratkan kerentanan. Ia kadang dilanda galau, keraguan, kecemasan, bahkan ketakutan. Lah…kok si Bocah Lelaki mirip kita? Iya, karena sebenarnya ia tak lain adalah perjalanan hidup kita.
Dalam ketakutan dan keraguannya, untungnya si Bocah Lelaki bertemu Tikus Tanah (The Mole), dalam kebingungannya mencari jalan pulang. “Sometimes I feel lost,” kata si Bocah Lelaki. “Me too,” jawab Tikus Tanah, sosok yang baik hati, penuh rasa ingin tahu, dan ceria. Tapi ia juga sosok yang simpel dalam berpikir, serta introspektif.
Karakter Si Bocah Lelaki mewakili diri kita yang kerap menggeragap, ketika sedang dihadang masalah. Bukankah kita semua kerap ragu dan gamang, terutama ketika mempertanyakan cinta dan impian yang belum teraih? Dan si Tikus Tanah yang punya kesukaan terhadap makanan (terutama kue dan cemilan), bagai metafora tentang kebahagiaan dan kesenangan dalam hidup bisa ditemukan pada hal-hal sederhana. Bukankah manusia harus menikmati hidup, dan tidak terlalu serius menghadapi segalanya?
Pertemuan Si Bocah Lelaki dengan si Rubah (The Fox) yang awalnya hampir tidak mau bicara, menggambarkan karakternya ketakutan, dan ketidakpercayaan. Ia cenderung berhati-hati dan lebih tertutup ketimbang sosok lain dalam buku ini. Rubah mewakili kita yang pernah mengalami luka, kehilangan, atau ketidakpercayaan terhadap dunia, atau kadang diselimuti kesepian. Tapi di sisi lain, “rubah” dalam diri kita mewakili kesetiaan yang berkembang melalui kepercayaan. Sama seperti ketika si Bocah Lelaki melepaskannya dari jebakan, di situlah Rubah (dan kita) belajar tentang kebaikan, kasih sayang, dan rasa percaya. Seiring waktu, melalui interaksi dengan si Bocah Lelaki dan hewan lainnya, Rubah perlahan membuka diri.
Sedangkan si Kuda (The Horse) punya karakter yang berani tapi tenang, terbuka, juga berani ambil risiko. Kuda mengajarkan si Bocah Lelaki tentang keberanian, meskipun ketakutan itu ada. Karakter si Kuda yang bisa diandalkan dan dipercaya, bahkan paling bijaksana di antara mereka berempat, juga mengingatkan kita bahwa ketakutan dan kelemahan adalah hal yang wajar, bahkan merupakan bagian dari perjalanan hidup manusia. “We don’t know about tomorrow,” said the horse, “all we need to know is that we love each other,” kata si Kuda.
Bagi Kuda yang secara tampilan kuat dan simbol kegagahan, tak perlu paksa diri untuk membuktikan siapa kita kepada dunia. Cukup menjadi diri sendiri, karena kekuatan sejati bukan hanya tentang fisik, tetapi juga tentang menerima diri sendiri apa adanya.
Sepanjang cerita, si Bocah Lelaki kadang mengungkapkan perasaan bingung dan ragu. Namun pengalaman yang ia alami selama perjalanan, mengajarkan bahwa pertemanan dan kasih sayang adalah hal terpenting. Ia sadar: bersama teman-teman yang ia cintai, ia tidak sendirian. “But we love you, and love brings you home,l kata Tikus Tanah si doyan ngemil, seolah mengingatkan bahwa cinta adalah kompas yang selalu membawa kita kembali ke tempat yang aman.

Segala Peristiwa, Membentuk Perjalanan Hidup Kita
Perjalanan, ibarat suatu proses kehidupan. Pertemuan demi pertemuan dengan orang-orang lain dalam kehidupan nyata kita, tergambar dalam buku ini sebagai persahabatan si Bocah Lelaki dengan ketiga hewan tersebut. Mereka —juga kita— dipersatukan oleh kesedihan, kehilangan, luka, maupun renungan tentang kehidupan. Dan semua itu, kadang tanpa kita sadari: berkontribusi pada tumbuhnya cinta, ataupun rasa memiliki.
Akuilah, bahwa kita adalah orang-orang yang gagap menjalani hidup, dan membutuhkan “rumah” sebagai tempat untuk meletakkan kegelisahan. Rumah tempat menyandarkan punggung di sofa, jika perlu: dengan kaki naik ke meja. Tanpa “rumah”, ada dari kita yang sedang merasa “tersesat” ataupun menyimpang dari jalur utama, ada juga yang tengah dibelit masalah tanpa terlihat jalan keluar.
The Boy adalah hati dari cerita ini—melalui perjalanannya, kita ikut merenungkan hidup dan makna kebersamaan. Melalui pertanyaan-pertanyaan yang Tikus Tanah ajukan sepanjang perjalanan, mewakili pertanyaan kita kepada hati nurani kita sendiri.
The Boy, the Mole, the Fox and the Horse adalah lebih dari sekadar buku ilustrasi. Ia adalah sebuah perjalanan emosional yang membawa pembaca ke dalam kedalaman hati, memperkenalkan kita pada sisi-sisi kehidupan yang mungkin telah lama terlupakan. Dengan pesan yang lembut namun kuat, buku ini mengingatkan kita tentang kekuatan dari kesederhanaan, tentang pentingnya berbagi kebaikan, dan tentang keberanian untuk mencintai tanpa syarat.
Mackesy tidak hanya bercerita dengan manis, melainkan ia gambarkan emosi-emosi halus melalui ilustrasi yang menggelitik rasa. Setiap gambar, dengan gaya yang sederhana, bukan melukiskan dunia dengan warna mencolok atau kontras keras. Dunia yang disajikan Mackesy adalah dunia yang sederhana, tempat keindahan melekat pada hal-hal kecil.
Benar jika ada yang berpendapat bahwa buku ini bukan sekedar sebuah cerita, melainkan sebuah pelukan hangat di tengah dinginnya hujan. Seolah berbicara dalam bahasa yang lembut, seakan mengajak pembaca untuk berhenti sejenak, menghirup udara dalam-dalam, dan merenung.
Jika ada yang membandingkannya dengan Le Petit Prince-nya Antoine de Saint-Exupéry, atau buku fabel paling terkenal dari Persia yakni “Kalīlah wa Dimnah”, silakan saja. Bagi saya, buku The Boy, The Mole, The Fox and The Horse yang diterbitkan Rene Book, adalah gabungan keduanya. Memikat tanpa terasa berat! (*)