“Bertahan hidup adalah perang yang sesungguhnya,” kata Ibrahim al-Baruni, seorang sastrawan Arab. Kemudian dia membuat sebuah analogi, “Setiap hari, kita menjalani hidup laksana rusa yang terus berlari dari kejaran raja hutan.” Apa yang dinyatakan Ibrahim al-Baruni 70 tahun lalu ini, semakin relevan dalam menggambarkan bagaimana kebanyakan kita menjalani hidup hari ini.
Di tengah himpitan rutinitas yang terus berkejaran, tidak sedikit pertanyaan mendasar seputar kehidupan yang mampir di benak generasi muda masa kini. Misalnya seperti, “Mengapa aku dilahirkan?”, “Apa sebenarnya tujuan hidupku ini?”, “Kenapa hidupku selalu sulit?”, “Hidup di dunia apa yang kucari?”, dan berbagai pertanyaan overthinking lainnya.
Apalagi di era sekarang, kita sudah tidak lagi perlu mencari informasi, melainkan informasi sendiri yang menyerbu gawai dan pikiran kita bertubi-tubi. Hari ini adalah era manusia dikendalikan oleh algoritma. Akibatnya? Yang depresi semakin terdorong ingin mengakhiri hidupnya dan yang merasa kehidupannya suram, semakin terpuruk.
Kondisi seperti ini tidak jarang terjadi. Banyak anak muda yang menganggap hidupnya tidak lagi berharga. Padahal dalam Islam, nyawa manusia tak ternilai harganya karena sangat istimewa. Ada sebuah peristiwa yang terjadi pada zaman semesta sebelum dunia (azali), yang menunjukkan betapa hidup seorang muslim sangat mulia. Jika kita renungkan momentum spesial ini, tentu kita akan mengerti, hidup ini sangat berharga dan tidak ada yang sia-sia.
Momentum itu bermula dari cerita sahih yang dikisahkan oleh Hakim Tirmidzi dalam buku ini. Tepatnya firman Allah swt. berikut,
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِيٓ اٰدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلٰى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوْا بَلٰىۛ شَهِدْنَا
“(Ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari tulang punggung anak cucu Adam, keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksiannya terhadap diri mereka sendiri (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.’” (QS. al-A’râf [7]: 172)
Ayat ini menunjukkan bahwa betapa hidup seorang muslim sangatlah istimewa, sebelum terlahir ke dunia mereka sudah lebih dahulu mengikat janji suci dengan Tuhannya. Sayangnya, cerita-cerita mengagumkan seperti ini tidak banyak diketahui oleh generasi kita di masa kini.
Dalam tafsirnya Ma’âlim at-Tanzîl, Imam al-Baghawi[1] menjelaskan lebih jauh makna ayat di atas. Konon, Allah mengeluarkan seluruh keturunan Adam dari punggungnya. Semuanya keluar dan berbaris di belakang ayah mereka masing-masing sampai ke Adam. Setelah itu, Allah berfirman kepada mereka,
“Tiada Tuhan selain Aku. Akulah Tuhan kalian. Jangan menyekutukan-Ku dengan suatu hal karena aku akan menyiksa siapa saja yang menyekutukan-Ku dan tidak beriman kepada-Ku. Aku akan mengirim para rasul dan beberapa kitab suci untuk mengingatkan kalian akan perjanjian ini.”
Kita, benih-benih manusia itu pun menjawab, “Kami bersaksi bahwa Engkau adalah Tuhan kami dan Tidak ada Tuhan selain Engkau.” Janji antara kita dan Allah swt. terikat sejak saat itu. Kemudian Allah menulis ajal, rezeki, dan segala momen yang akan kita temui di hidup ini.
Melihat beberapa dari keturunannya hidup belum sebahagia yang lainnya, ayah kita semua, Nabi Adam as. bertanya kepada Allah demi kita, anak-anaknya, “Ya Allah, mengapa tidak Engkau samakan saja kebahagiaan mereka?” Allah pun menjawab, “Aku sangat menyukai mereka ketika mereka bersyukur kepada-Ku.”
Jawaban Allah ini bukan berarti membiarkan sebagian hamba-Nya menderita. Bukankah dalam al-Quran dijelaskan bahwa semakin kita bersyukur, semakin Allah menambahkan nikmat-Nya (QS. Ibrâhîm [14]: 7). Artinya, dengan syukur, semua manusia yang dilahirkan di bumi berpotensi memiliki kebahagiaan yang sama. Tidak ada yang lebih rendah atau sebaliknya.
Inilah yang dilupakan pada zaman sekarang. Banyak yang mengeluh, membandingkan nasib yang sedang dijalani dengan ilusi yang terpampang di sosial media. Hasilnya, semua ini memicu lahirnya gangguan mental, seperti kecemasan dan depresi. Padahal jika kita renungkan, kita akan bisa memahami bahwa timbulnya berbagai gangguan mental ini berawal dari ketidakpuasan atas masa kini dan terlalu mencemaskan masa depan.
Itulah titik yang seharusnya tidak perlu kita cemaskan berlebihan. Di dalam hadis dijelaskan bahwa manusia akan dimudahkan untuk mencapai alasan mengapa dia dilahirkan. Alih-alih menjelaskan bahwa kita boleh sepenuhnya pasrah terhadap takdir, hadis ini menerangkan kepada kita bahwa apa saja yang kita lakukan dan menimpa kita di dunia memiliki tujuan (hikmah) tersendiri.
Dengan meyakini hal ini, kita tidak akan mudah putus asa dan selalu bersyukur atas hidup yang sedang kita jalani. Dalam konteks ini, syukur berarti bisa menerima kondisi diri sendiri. Bersyukur bisa menyembuhkan seluruh kekhawatiran dan kerisauan hati kita. Dalam buku ini, Hakim Tirmidzi menjelaskan bahwa syukur adalah tingkat tertinggi dari keimanan seseorang karena dia menerima ketentuan Tuhan.
Buku Rahasia Semesta Sebelum Dunia yang merupakan terjemahan dari kitab Ghaur al-Umûr ini tidak hanya membahas kejadian penciptaan manusia dan perjanjian mereka dengan Allah seperti dikisahkan di atas saja. Berbagai misteri agama Islam yang belum pernah terungkap lain juga dikupas dengan detail oleh Sang Bijak Bestari ini.
Dalam buku ini, Hakim Tirmidzi akan menjawab ragam pertanyaan yang masih jadi misteri dalam pikiran kita secara mindblowing, semisal: apakah benar ada tempat-tempat tertentu yang dihuni oleh setan? Bagaimana asal muasal penamaan Iblis, Ibrahim, dan Fir’aun? Benarkah Adam diciptakan dari tanah, malaikat dari cahaya, dan Iblis dari api? Apakah benar bacaan alif lâm mîm hanyalah bunyi-bunyian tanpa makna? Apakah segala keinginan kita di surga benar-benar dikabulkan? Dan masih banyak pertanyaan menarik lainnya.
Pesan Tersirat Iblis untuk Generasi Muda
Kecerdasan Hakim Tirmidzi tidak bisa dipungkiri. Contohnya bisa dilihat dalam buku ini. Ia sangat piawai dalam membahas kisah perseteruan Adam dan Iblis di surga. Alih-alih mendasari ceritanya dengan surat al-Baqarah, ia lebih memilih surat al-A’râf. Hakim Tirmidzi sangat paham, meskipun kedua surat ini juga menceritakan Adam, tapi sudut pandang yang diambil berbeda. Surat al-Baqarah memakai sudut pandang malaikat, sedangkan surat al-A’râf memakai sudut pandang Iblis.
Jika sudut pandang malaikat menggambarkan bagaimana Adam tergoda Iblis dan diturunkan ke bumi sehingga mengesankan bahwa manusia adalah makhluk yang gampang terjerumus dan tergoda, sudut pandang Iblis menggambarkan bagaimana kedengkian Iblis melihat Allah swt. menciptakan makhluk super sempurna, yakni manusia.
Iblis yang diciptakan dari api sudah berhasil menjadi pemimpin para malaikat yang diciptakan dari cahaya. Kemudian, saat Allah memutuskan untuk menciptakan anak emas-Nya, manusia yang berasal dari tanah, Iblis tidak terima. Tabiat api yang hanya bisa eksis ketika merusak sesuatu atau membakar fuel-nya tidak bisa menerima kehadiran tanah yang selalu tenang dan tidak mudah diubah.
Inilah sudut pandang yang diambil Hakim Tirmidzi dalam menjelaskan kejadian pada zaman semesta sebelum dunia (azali). Jika dihubungkan dengan cerita di atas, mungkin Hakim Tirmidzi tidak menyangka bahwa sudut pandang positif tentang manusia ini bisa menjadi penyelamat sekaligus penyemangat hidup para remaja era sekarang. Jika saja Hakim Tirmidzi mengambil sudut pandang malaikat, mungkin kita akan merasa bahwa manusia itu adalah makhluk pecundang yang gampang dikalahkan oleh dirinya sendiri.
Namun, Hakim Tirmidzi tidak mengambil sudut pandang itu, ia menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang super sempurna, sampai-sampai makhluk yang menjadi pemimpin para malaikat iri dengannya, berusaha menghasutnya, dan sangat senang melihat kehancurannya.
Dengan mengambil sudut pandang ini, Hakim Tirmidzi juga bisa mengulik keistimewaan kita yang lain: mendapatkan pancaran Nur Muhammad. Inilah mengapa Hakim Tirmidzi juga mengutip ayat berikut,
نُوْرٌ عَلٰى نُوْرٍ يَهْدِى اللّٰهُ لِنُوْرِهٖ مَنْ يَّشَاۤءُ
“Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis). Allah memberi petunjuk menuju cahaya-Nya kepada orang yang Dia kehendaki.” (QS. an-Nûr [24]: 35)
Artinya, dalam diri kita sudah ada sebuah cahaya yang menjaga kita dari segala keburukan. Cahaya ini kadang redup sehingga membuat kita mudah tergoda akan kemaksiatan dan terkadang terang benderang sehingga semua laku kita mencerminkan sifat Ilahiah. Oleh karena inilah, al-Quran, ibadah, dan segala yang berkaitan tentang Tuhan memberikan nyaman dalam hati. Sebab, cahaya semua hal itu terkoneksi dengan cahaya yang ada di lubuk hati kita.
Dalam buku ini, Hakim Tirmidzi ingin menjelaskan kepada kita, manusia adalah makhluk yang sangat hebat sehingga Iblis pun iri kepada kita. Oleh karena itu, musuh kita yang sebenarnya adalah Iblis. Hal inilah yang membuat beliau ikut menjelaskan siapa itu Iblis, bala tentaranya, dan bagaimana cara kita untuk mengalahkan godaan mereka.
Buku yang sedang Anda pegang ini tidak hanya membahas mengenai Adam dan Iblis. Sesuai dengan judulnya, Hakim Tirmidzi mengungkap beragam kejadian menakjubkan dan menjawab ragam misteri seputar ajaran dan doktrin Islam. Semuanya dijelaskan oleh Hakim Tirmidzi dengan sangat jelas. Tak hanya deskriptif, ia juga menjelaskan dengan gaya analogi dan storytelling ciamik.
Buku ini sangat layak dibaca bagi siapa saja, baik mahasiswa, santri, guru, orang tua, maupun masyarakat umum dalam bidang apa pun. Sebab buku Hakim Tirmidzi kali ini tidak hanya membahas mengenai cerita sejarah atau kejadian sejak zaman azali, tapi ia juga memberikan tutorial menghadapi ajakan Iblis dan hawa nafsu serta menggambarkan bagaimana keadaan hati serta seluruh anggota tubuh kita tatkala godaan hawa nafsu mulai mencemari hati nurani.
Dengan menghadirkan terjemahan buku Hakim Tirmidzi ini, Turos Pustaka ingin mengajak para pembaca untuk menyelami analisis dan penafsiran Sang Bijak Bestari. Kejadian dan tema yang sangat jarang dimunculkan oleh ulama pada masa itu bahkan hingga masa kini. Ditambah analisis yang sangat mendalam dari berbagai sudut pandang keilmuan membuat buku ini adalah mahakarya yang luar biasa.
Identitas Buku:
Judul: Rahasia Semesta Sebelum Dunia
Penulis: Hakim Tirmidzi
Penerbit: Turos Pustaka
Tebal: 368 halaman
Cetakan: Januari 2023
ISBN: 978-623-7327-79-0
[1] Ulama yang mendapat julukan Ruknuddin (Tiang Agama) dan Muhyissunah (Penghidup Sunah Nabi) ini memiliki nama lengkap Abu Muhammad Husain bin Mas’ud bin Muhammad al-Baghawi asy-Syafi’i. Lahir di Desa Baghsyur 1041 M dan wafat di Baghdad pada 1122 M. Seorang ahli tafsir, hadis, dan fikih. Beliau pernah bermimpi bertemu Nabi saat selesai menulis kitab penjelasan hadis berjudul Syarh as-Sunnah.