Hidup itu bukan atraksi. Anda tak perlu membuktikan apapun, kepada siapapun. Setiap individu memiliki ciri khas sendiri, dengan kekurangan dan kelebihan masing-masing. Begitulah Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda tetapi membentuk siklus sosial yang sinergis.
Buku Berdamai Dengan Diri Sendiri yang ditulis Muthia Sayekti ini memberikan jawaban komprehensif mengenai masalah krisis identitas diri yang terkadang menjadi problem hidup.
Pada dasarnya kekurangan, kesalahan, dan ketidaksempurnaan merupakan bagian inheren dalam diri manusia. Sebenarnya tidak seorang pun memiliki kesempurnaan, seperti yang terlihat dari luar.
Manusia juga diciptakan berbeda satu sama lain. Meskipun semua orang tujuan hidunya kesuksesan, tetapi definisi tentang itu sangat beragam. Pola pikir orang juga beda, pandangannya berbeda, sikap dan reaksinya beda. Maka dari itu mengekor pribadi orang lain adalah kenaifan tingkat tinggi.
Berdamai dengan diri sendiri
Dalam kehidupan yang progresif, perkembangan zaman dan teknologi berimplikasi pada perubahan tren dan pranata sosial. Misalnya saat demam K-Pop melanda, kiblat mode berubah, lalu definisi ‘cakep’ pun berubah. Karena kiblatnya adalah Korea, makan kata ‘cakep’ jadi identik dengan wajah tirus oriental, kulit putih, rambut hitam, dan kurus.
Dengan asumsi tersebut, orang yang memiliki ciri di luar itu dipaksa melabeli diri dengan ‘jelek’. Ini jelas tidak fair. Bila hal-hal seperti ini diikuti, pada akhirnya menimbulkan sindrom krisis identitas, yang berbuntut berbagai hal negatif, seperti ketidaknyamanan dan hilangnya perasaan damai dalam diri.
Semua orang memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Kekurangan sering dikaitkan dengan nasib. Ini salah besar. Yang memiliki pengaruh pada nasib adalah perbuatan di masa lalu, bukan kekurangan kodrati.
Tanamkan mindset pada diri Anda bahwa kekurangan adalah rahmat. Banyak orang cacat yang mencetak prestasi dunia, karena mereka tidak melihat kekurangan sebagai kartu mati. Contohnya Nick Vujicic, seorang motivator kondang yang terlahir tanpa kedua tangan.
Tak bisa dipungkiri, orang suka menilai, bahkan menjudge secara subyektif. Tentang itu Anda memiliki hak untuk acuh. Acuh ini jangkauannya luas, termasuk pada tren, model pakaian, bahkan pada ekspektasi orang terdekat.
Menurut Muthia Sayekti, sebenarnya berbagai problem tersebut berangkat dari satu persoalan, yaitu hilangnya identitas diri. Maka dari itu jawaban dari persoalan itu sebenarnya hanya tunggal, yaitu berdamai dengan diri sendiri.
Pribadi Otentik
Meski terlihat simpel, namun tak mudah menjadi pribadi yang otentik. Untuk menjadi otentik, orang harus mengenali diri dengan baik. Pengenalan ini diperlukan untuk menggali potensi diri yang terpendam. Hati-hatilah, kepribadian yang otentik dapat pudar karena terlalu banyak mendengarkan omongan orang.
Untuk memberi energi yang kuat pada diri, janganlah berpaku pada hal-hal negatif. Biarkan saja itu ada, tetapi fokuskanlah diri pada hal-hal positif dan peluang.
Tidak ada orang yang sama persis di dunia ini, maka jangan bandingkan dirimu dengan orang lain.
Ketika seseorang mencontoh suatu figur dan tidak dapat mengikutinya, maka akan timbul suatu fenomena yang bernama konformitas. Komormitas akan membuat seseorang merasa kerdil karena tidak sama dengan yang diimpikannya.
Intinya, jadi orang harus otentik. Buku ini mengutip resep Mike Robbins, penulis buku “Be Yourself, because everyone is already taken”, ada lima prinsip dasar yang diperlukan untuk menjadi pribadi yang otentik, yaitu know yourself, transform your fear, express your self, be bold (beranilah), lalu celebrate who you are.
Meskipun identitas diri sudah dipatok di titik tertentu, namun soal mutu, orang harus berubah menjadi lebih baik. Konsep berdamai dengan diri sendiri bukanlah pembenaran atas stagnasi hidup. Bicara soal pribadi otentik itu kaitannya dengan ciri-ciri dan kepribadian, bukan membekukan bakat atau potensi. Bagaimana meningkatkannya? Baca buku ini sampai tuntas.
Muthia Sayekti adalah alumni Sastra Inggris dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. Namanya mulai dikenal lewat antologi yang dimuat di buku Mengejar Cahaya Surga. Ini adalah buku keduanya, setelah sebelumnya menulis buku The Art of Listening.
Judul: Berdamai dengan Diri Sendiri Seni Menerima Diri Apa Adanya
Penulis: Muthia Sayekti
Genre: Psikologi
Penerbit: Psikologi Corner Yogyakarta
Edisi: Cetakan I, Maret 2020, Hard Cover
Tebal: 216 Halaman
ISBN 978-623-244-173-6
Diresensi Oleh Jakarta Book Review