Di tengah kota yang hiruk pikuk, ada tiga warna kecil yang mengatur ritme hidup kita: merah, kuning, hijau. Tapi anehnya, yang paling diingat dan disebut orang justru lampu merah. Mungkin karena hanya merah yang bisa membuat semua orang berhenti. Ia punya kuasa untuk menahan laju, menundukkan ego, dan menyelamatkan jiwa—tanpa harus bersuara.
Lampu lalu lintas pertama hadir di London tahun 1868, masih berupa lampu gas. Tapi karena meledak dan melukai petugas, ia ditinggalkan. Barulah di Cleveland, 1914, lahir versi elektrik dengan dua warna: merah dan hijau. Kuning ditambahkan belakangan, sebagai jeda penentu. Sejak itu, tiga warna itu bukan hanya penjaga jalan, tapi juga penanda perjalanan batin manusia.
Bagi seorang salik, lampu merah adalah isyarat langit. Ia berkata: berhentilah, bukan karena kau kalah, tapi karena belum tiba waktunya. Seperti cinta yang tertahan, seperti doa yang belum dijawab. Merah mengajarkan adab menunggu, bahkan ketika semua jalan tampak terbuka.
Kuning adalah muhasabah—saat hati bertanya, “Sudah siapkah aku melaju?” Dan hijau? Itulah saat di mana izin turun, bukan karena kau layak, tapi karena Dia ridha.
Hidup sejatinya adalah perjalanan antara tiga warna: menahan diri, bersiap, dan berserah. Dan mungkin kita menyebutnya lampu merah, karena dalam hidup, yang paling sulit bukan mengebut… tapi berhenti sejenak mengambil jeda dan menyaksikan mereka yang di seberang justru melaju. Kemampuan menahan diri menunggu giliran kita tiba itu memang harus ditempa.
Dan kalau dirimu lampu itu, aku rela berhenti setiap kali dirimu menyala. Biarlah kunikmati warna-warni indah lampu hidupmu, sayang. Karena tanpa cintamu, rasanya seperti mati lampu…
اللَّهُمَّ أَحْيِ قُلُوبَنَا بِالرَّحْمَةِ، وَزَيِّنْ أَرْوَاحَنَا بِالشُّعُورِ، وَارْزُقْنَا مَنْ إِذَا صَمَتْنَا فَهِمَ، وَإِذَا بَكَيْنَا احْتَضَنَ، وَإِذَا دَعَوْنَا لَبَّى
“Ya Allah, hidupkanlah hati kami dengan rahmat-Mu, hiasilah jiwa kami dengan rasa. Karuniakanlah pada kami seseorang yang saat kami diam, ia mengerti; saat kami menangis, ia memeluk; dan saat kami berdoa, ia turut mengamini.”