JBR, Jakarta (24/9) – Acara pameran dan perayaan literasi terbesar di Indonesia, yaitu Indonesia International Book Fair (IIBF) 2025 resmi dibuka pada Rabu (24/9) di Assembly Hall, JCC Senayan, Jakarta. Acara ini berlangsung selama 5 hari, dari tanggal 24-28 September 2025. Dengan mengusung tema “Exploring Content, Enlightening Mind” IIBF 2025 menegaskan posisinya sebagai poros pertemuan intelektual, budaya, dan bisnis kreatif di Asia Tenggara.
Pada tahun ini, IIBF 2025 diikuti oleh 13 peserta Internasional dari berbagai negara. Terdapat 82 peserta pameran buku (stand) yang termasuk 19 diantaranya adalah penerbit independen.
Di tengah-tengah peralihan zaman dari hal yang konvensional menjadi digital. Buku menjadi objek yang terdampak dari peralihan zaman tersebut. Buku sudah mulai banyak ditinggalkan dan tergantikan oleh konten-konten video pendek yang beredar di media sosial. Hal tersebut adalah tantangan bagi para pelaku di industri penerbitan. Bukan hanya produknya yang mendapatkan pajak lebih tinggi dari tahun sebelumnya, tetapi profesi penulis, editor, hingga percertakan harus bertahan di tengah-tengah perubahan zaman.
5 Tantangan bagi industri penerbit buku di Indonesia
Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) menyoroti 5 hal yang menjadi tantangan bagi para pelaku industri penerbitan. Yang pertama, minat baca masyarakat yang meningkat, tetapi belum merata. Melirik data dari Kementerian Pendidikan di tahun 2025, 65% usia anak sekolah membaca minimal 1 buku non-pelajaran per bulan, dengan durasi 30 menit per harinya. Durasi tersebut meningkat 15 menit dari data tahun 2022. Meskipun demikian, pemahaman terhadap buku yang dibaca masih sangat kurang.
Kedua, kesenjangan akses antarwilayah. Akses buku di Indonesia belum menyebar secara merata. IKAPI membandingkan antara Jakarta dan Papua. Di Jakarta akses perpustakaan begitu banyak dan beragam. Berbeda dengan wilayah Papua, dimana lingkungan sekolah pun banyak yang tidak mempunyai akses perpustaaan dan buku.
Ketiga, distraksi digital. Anak-anak dan remaja di Indonesia menghabiskan rata-rata 4 jam untuk bermain smartphone. Di sisi lain, mereka hanya menghabiskan waktu sekitar 30 menit untuk membaca buku.
Keempat, harga buku dan daya beli. Di tahun 2025, buku cetak naik 12% dari tahun sebelumnya. Hal ini membuat harga buku melambung tinggi, sedangkan masih banyak upah minimum di beberapa provinsi yang tidak naik signifikan dan daya beli masyarakat sedang menurun.
Kelima, pembajakan digital. IKAPI menyebutkan bahwa 1 dari 3 buku yang diedarkan di platform digital terkena pembajakan. Hal itu menyebabkan kerugian bagi penerbit buku hingga penulis buku.
Penguatan kebijakan literasi menjadi salah satu langkah bagi IKAPI. Dalam hal ini, pemberian insentif bagi penerbit buku lokal, serta penghapusan pajak bahan baku. Selain itu, peningkatan program literasi di sekolah dan daerah terpencil menjadi upaya dalam menumbuhkan minat baca di daerah.
14 negara berpartisipasi dalam Indonesia Right Fair (IRF)
Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. IIBF yang diselenggarakan ke-45 ini menghadirkan program IRF (Indonesia Right Fair) yang diberlangsungkan pada 3 hari pertama. IRF merupakan ajang transaksi hak cipta yang diikuti 80 penerbit dan agen naskah dari Indonesia dan berbagi negara lainnya.
Di dalam program ini, para penerbit buku dapat mencari buku-buku yang potensial yang akan diterbikan di masing-masing negara. Negara-negara kawasan Asia Tenggara, Pakistan, Turki, Uni Emrat Arab, hingga Britania Raya turut berpatisipasi dalam program ini.
Kerjasama antar penerbit dengan transaksi hak cipta dapat memperluas jaringan dan juga meraih pembaca lintas negara. Diharapkan program ini dapat menjadi peluang bagi industri penerbit buku untuk tetap menyelaraskan antara idelisme dengan kebutuhan pasar.
Reporter: Dimas Yusuf
Editor: Abdul Rahman Ma’mun
Foto: JBR