Tentang Penulis
Louise Erdrich, seorang novelis berdarah Ojibwe yang sudah lama menjadi salah satu suara paling berpengaruh dalam sastra Amerika, kembali menunjukkan kekuatan penceritaannya melalui The Sentence. Novel yang diterbitkan pada 2021 ini bukan hanya sekadar karya fiksi, melainkan juga sebuah percakapan panjang tentang identitas, sejarah, trauma, humor, dan kekuatan bertahan hidup masyarakat pribumi di tengah gempuran zaman modern.
Disebut sebagai mahakarya suara pribumi, novel ini mampu menyatukan berbagai lapisan pengalaman yang kompleks: mulai dari kehidupan sehari-hari orang-orang Ojibwe, persoalan sejarah kolonialisme, hingga gemuruh peristiwa aktual seperti pandemi Covid-19 dan gelombang protes atas pembunuhan George Floyd. Erdrich tidak hanya menulis cerita, ia merajut ruang di mana suara-suara pribumi yang kerap terpinggirkan bisa tampil dengan lantang, jujur, dan penuh nyawa.
Kisah Pribumi, Luka Sejarah, dan Ketahanan Hidup yang Tak Padam
Kisah The Sentence berpusat pada seorang perempuan Ojibwe bernama Tookie yang bekerja di sebuah toko buku independen di Minneapolis. Karakter Tookie sejak awal sudah menarik karena ia bukan sosok pahlawan yang sempurna, melainkan manusia dengan segala kerumitan masa lalu. Ia pernah masuk penjara karena sebuah kejahatan kecil namun berakibat besar, dan pengalaman itu membekas dalam dirinya.
Kehidupannya mulai menemukan arah ketika ia bekerja di toko buku yang penuh dengan nuansa literer, humor, sekaligus misteri. Dari titik inilah, cerita berkembang, terutama ketika toko buku tersebut mulai dihantui oleh arwah seorang pelanggan setia bernama Flora yang baru saja meninggal. Flora digambarkan sebagai seorang perempuan kulit putih yang terobsesi dengan budaya dan sejarah masyarakat pribumi, meski dengan cara yang kadang problematis.
Kehadiran arwah Flora membuat suasana toko buku menjadi ruang interaksi antara dunia hidup dan dunia mati, yang oleh Erdrich dipakai sebagai medium untuk menggali pertanyaan-pertanyaan lebih dalam tentang siapa yang berhak menyuarakan identitas, siapa yang benar-benar memahami sejarah, dan bagaimana cara hidup berdampingan dengan warisan masa lalu.
Salah satu kekuatan terbesar The Sentence terletak pada cara Erdrich menuliskan Tookie. Ia bukan tokoh yang steril, melainkan sosok yang penuh lapisan: kadang keras, kadang kocak, kadang getir, kadang rentan. Melalui Tookie, Erdrich memotret bagaimana seseorang bisa berjuang memperbaiki hidupnya sekaligus menghadapi luka-luka yang diwariskan sejarah kolonialisme pada masyarakat pribumi.
Tookie bekerja di toko buku yang dimiliki oleh seorang perempuan Ojibwe yang bernama Louise, nama yang jelas merupakan refleksi langsung dari sang pengarang sendiri. Dengan begitu, novel ini terasa seperti permainan meta, seolah Erdrich menulis dirinya sendiri ke dalam cerita, menciptakan garis tipis antara fiksi dan kenyataan. Hal ini memperkuat kesan bahwa The Sentence adalah sebuah cermin hidup, bukan sekadar kisah rekaan.
Tentu saja, The Sentence bukan hanya cerita tentang toko buku berhantu. Ia juga berbicara tentang bagaimana komunitas pribumi di Amerika berhadapan dengan situasi kontemporer. Ketika pandemi Covid-19 melanda, Erdrich menunjukkan bagaimana masyarakat pribumi menghadapi ancaman kesehatan, keterbatasan akses, dan dampak sosial yang jauh lebih berat dibanding komunitas mayoritas.
Ia menulis tentang rasa takut, kesepian, dan juga solidaritas yang tumbuh dalam masa-masa sulit itu. Novel ini menangkap dengan jujur suasana ketidakpastian yang dialami banyak orang, sambil tetap memberikan ruang bagi humor dan cinta, sehingga cerita tidak tenggelam dalam kesuraman.
Selain pandemi, The Sentence juga merekam dentuman sosial besar yang terjadi di Minneapolis setelah kematian George Floyd. Erdrich tidak menghindar dari kenyataan getir tentang rasisme sistemik dan kekerasan polisi. Ia menempatkan tokoh-tokohnya dalam pusaran peristiwa tersebut, menunjukkan bagaimana pengalaman orang-orang pribumi sering kali bersinggungan dengan pengalaman komunitas kulit hitam dalam menghadapi diskriminasi.
Alih-alih membuat perbandingan kaku, Erdrich menghadirkan lapisan solidaritas yang tulus, sebuah pengakuan bahwa perjuangan melawan penindasan tidak bisa dipikul oleh satu kelompok saja, melainkan harus dipahami sebagai perlawanan kolektif. Inilah salah satu sisi yang menjadikan novel ini sebuah mahakarya: ia tidak sekadar mendokumentasikan sejarah, tetapi merasakannya, menafsirkannya, dan menghidupkannya kembali lewat suara-suara karakter yang nyata.
Erdrich dikenal sebagai penulis yang lihai menggabungkan unsur realisme dengan keajaiban, dan The Sentence adalah contoh nyata. Kehadiran arwah Flora di toko buku mungkin tampak seperti gimmick, namun sesungguhnya ia adalah simbol dari sejarah panjang kolonialisme budaya, di mana orang-orang kulit putih kerap mengklaim pengetahuan atau pengalaman tentang kebudayaan pribumi tanpa benar-benar menghayatinya. Flora yang menghantui toko buku tidak bisa tenang karena di masa hidupnya ia belum mampu memahami garis batas antara penghargaan dan apropriasi.
Ia mewakili hantu masa lalu yang terus mengganggu masa kini, mengingatkan bahwa persoalan identitas dan representasi bukanlah sesuatu yang bisa diselesaikan begitu saja. Melalui interaksi Tookie dengan arwah Flora, Erdrich mengajak pembaca merenungkan siapa yang berhak menceritakan sejarah suatu komunitas, dan bagaimana warisan kolonial bisa terus hidup dalam bentuk-bentuk baru yang tak kasatmata.
Penilaian terhadap buku The Sentence
Selain itu, gaya penulisan Erdrich dalam novel ini penuh dengan lapisan humor dan ironi yang membuat tema-tema berat menjadi lebih mudah diakses. Tookie sering kali melontarkan komentar yang jenaka bahkan dalam situasi sulit, sebuah strategi yang tidak hanya mencerminkan kepribadiannya, tetapi juga tradisi bertahan hidup masyarakat pribumi melalui humor.
Di sini, Erdrich menunjukkan bahwa tawa bisa menjadi bentuk perlawanan, bahwa humor adalah senjata untuk menghadapi luka dan trauma. Dengan cara itu, The Sentence tidak pernah jatuh menjadi kisah penderitaan belaka; ia justru menjadi kisah tentang kekuatan hidup, tentang kemampuan untuk tetap berdiri dan tertawa meski dunia berkali-kali mencoba meruntuhkan.
Dalam konteks lebih luas, The Sentence juga bisa dibaca sebagai perayaan literasi dan buku. Toko buku yang menjadi pusat cerita bukan hanya ruang jual beli, melainkan ruang perjumpaan, tempat di mana orang-orang bisa menemukan diri mereka melalui cerita. Erdrich, yang dalam kehidupan nyata juga memiliki toko buku bernama Birchbark Books di Minneapolis, tampaknya menjadikan novel ini sebagai surat cinta bagi dunia literasi.
Ia ingin menunjukkan bahwa buku bisa menjadi teman, penolong, bahkan penyelamat di masa-masa paling sulit. Dalam situasi pandemi dan protes sosial, toko buku dalam cerita tetap berdiri sebagai ruang komunitas, tempat orang bisa berbagi pengalaman dan harapan. Dengan begitu, The Sentence bukan hanya mahakarya suara pribumi, tetapi juga ode bagi kekuatan cerita itu sendiri.
Novel ini juga memperlihatkan betapa eratnya hubungan antara individu dengan komunitas dalam tradisi pribumi. Tookie bukan sekadar individu yang berdiri sendiri, ia selalu terkait dengan orang-orang di sekitarnya: suaminya Pollux, seorang mantan polisi yang juga Ojibwe; teman-teman sekerja di toko buku; pelanggan; dan tentu saja, arwah Flora.
Semua karakter ini membentuk jalinan yang memperlihatkan cara komunitas berfungsi dengan solidaritas, dengan konflik, dengan humor, dengan cinta. Dalam pandangan pribumi, identitas seseorang tidak pernah lepas dari jaringan sosialnya, dan Erdrich berhasil menerjemahkan nilai itu ke dalam cerita yang modern namun tetap berakar pada tradisi.
Gaya Penulisan dari Erdrich yang memukau
Yang membuat The Sentence begitu kuat sebagai suara pribumi adalah keberaniannya untuk berbicara jujur tanpa harus menggurui. Erdrich tidak berusaha memberi definisi tunggal tentang apa artinya menjadi Ojibwe atau menjadi pribumi di Amerika hari ini. Sebaliknya, ia menunjukkan keberagaman pengalaman: ada yang lucu, ada yang getir, ada yang spiritual, ada yang politis.
Dengan begitu, novel ini menolak stereotip dan menghadirkan keutuhan kemanusiaan. Ia mengingatkan pembaca bahwa masyarakat pribumi bukan sekadar bagian dari masa lalu atau objek eksotisme, melainkan bagian dari kehidupan Amerika hari ini, dengan suara-suara yang nyata dan relevan.
Secara artistik, The Sentence berhasil menyatukan banyak lapisan narasi tanpa kehilangan arah. Ia adalah cerita hantu, sekaligus cerita cinta, sekaligus catatan sejarah, sekaligus refleksi atas pandemi, sekaligus kritik sosial, sekaligus perayaan literasi. Erdrich menulis dengan detail yang kaya, penuh nuansa, sehingga pembaca bisa merasakan kehangatan rumah, keseraman arwah, dan hiruk pikuk jalanan Minneapolis dalam satu tarikan napas.
Inilah yang membuat novel ini layak disebut mahakarya: kemampuannya menjahit berbagai elemen menjadi satu kesatuan yang hidup. Pujian terhadap The Sentence datang dari berbagai kalangan, dan tidak heran jika novel ini memenangkan National Book Award for Fiction pada 2021. Penghargaan itu bukan hanya pengakuan atas kualitas sastra, tetapi juga atas pentingnya menghadirkan suara pribumi di panggung utama literatur Amerika.
Erdrich menegaskan bahwa cerita-cerita pribumi bukanlah catatan kaki, melainkan pusat dari pemahaman kita tentang Amerika. Dengan The Sentence, ia menghadirkan sebuah karya yang bisa berdiri sejajar dengan karya-karya besar dunia, sambil tetap setia pada akar budayanya.
The Sentence adalah kisah tentang bagaimana manusia menghadapi kalimat-kalimat yang ditulis untuk mereka: kalimat hukum yang menjebloskan Tookie ke penjara, kalimat sejarah yang diwariskan kolonialisme, kalimat penyakit yang menyapu dunia, dan kalimat-kalimat dalam buku yang bisa menyelamatkan atau menghantui.
Di atas semua itu, ia adalah kisah tentang kemampuan untuk menulis ulang kalimat, untuk menentukan sendiri jalan hidup, dan untuk memberi suara pada yang sebelumnya dibungkam. Erdrich dengan brilian menunjukkan bahwa kalimat bukan hanya rangkaian kata, tetapi juga takdir dan bahwa takdir bisa diubah jika kita berani menuliskannya ulang.
Dengan begitu, The Sentence berdiri sebagai sebuah mahakarya suara pribumi. Ia berbicara dengan lantang tentang rasa sakit, cinta, humor, dan harapan. Ia menghadirkan pengalaman pribumi bukan sebagai fragmen masa lalu, melainkan sebagai denyut kehidupan masa kini. Ia menolak bungkam di tengah dunia yang sering kali ingin melupakan. Ia adalah suara yang tidak bisa diabaikan, suara yang harus terus didengar.
—
Penulis Ringkasan: T.H. Hari Sucahyo
Kirim resensi atau ringkasan buku yang kamu baca di sini.