Senin, 17 November 2025
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
Jakarta Book Review (JBR)
  • Beranda
  • Resensi
  • Berita
  • Pegiat
  • Ringkasan
  • Kirim Resensi
  • Beranda
  • Resensi
  • Berita
  • Pegiat
  • Ringkasan
  • Kirim Resensi
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
Jakarta Book Review (JBR)

Tarian Maut Ana de Armas

Mengambil struktur sederhana khas film balas dendam, Ballerina menampilkan yatim piatu yang jadi mesin pembunuh sadis.

Oleh Jalal
8 Juni 2025
di Film, Resensi
A A

Ballerina jelas adalah spin-off yang sangat dinantikan oleh siapa pun yang menggemari semesta John Wick seperti saya. Film ini membawa penontonnya ke dalam dunia gelap para pembunuh bayaran global, namun kali ini melalui sudut pandang seorang perempuan muda bernama Eve Macarro (diperankan oleh Victoria Comte saat kecil, dan Ana de Armas saat dewasa).

Kalau John Wick kembali ke masa lalunya yang kelam lantaran anjing pemberian mendiang istrinya dibunuh, film ini menuturkan Eve sebagai protagonis utama berusaha menuntaskan dendam atas kematian ayahnya. Dengan balutan aksi brutal, visual yang sangat kelam namun indah, dan seluruh atmosfer khas John Wick, Ballerina menawarkan pengalaman sinematik yang bakal memacu adrenalin.

Kisahnya dimulai dengan Eve yang menjadi yatim piatu gegara ayahnya—seorang pembunuh bayaran yang, sama dengan John Wick, ingin keluar dari dunia itu, demi sang anak—dibunuh secara brutal oleh kelompok kriminal saingan yang memiliki tato “X” di pergelangan tangan mereka. Eve kemudian diasuh oleh Winston Scott (Ian McShane), manajer The Continental yang sudah sangat diakrabi seluruh penggemar John Wick. Winston menyerahkan Eve kepada The Director (Anjelica Huston), pemimpin Ruska Roma, sebuah organisasi yang memadukan seni balet dan pelatihan membunuh dalam satu atap disiplin keras.

Dua belas tahun berlalu, Eve telah tumbuh menjadi pembunuh ulung dengan latar belakang balet yang membentuk kelincahan dan ketepatan gerakannya. Namun, dendam atas kematian ayahnya tetap membara. Ketika Eve menemukan petunjuk baru tentang pelaku pembunuhan ayahnya, ia menentang perintah The Director dan memburu kelompok rival hingga akhirnya tiba di sebuah desa pegunungan bersalju di Eropa Tengah, tempat sekte pembunuh yang dipimpin The Chancellor (Gabriel Byrne) bersembunyi. Di situ Eve menuntaskan dendamnya, sekaligus menyelamatkan seorang anak yang nasibnya mencerminkan sejarah hidupnya sendiri.

Salah satu kekuatan utama film ini jelas terletak pada aksi dan koreografi pertarungannya. Film ini tetap setia pada tradisi John Wick yang menampilkan perkelahian brutal dengan tangan kosong maupun senjata tajam, tembak-menembak dengan berbagai senjata api yang digunakan secara kreatif sekaligus destruktif secara maksimal. Di sini de Armas tampil total, memperlihatkan kemampuan fisiknya yang tangguh dan ekspresi emosional yang kuat. Saya kira, setelah de Armas mencuri perhatian para penggemar Bond lewat aksinya sebagai Agen Paloma “yang baru berlatih tiga minggu”, ia sudah membuktikan kapasitasnya sebagai bintang laga yang kapabel. Tapi Paloma menjelma menjadi Eve di sini, dan de Armas semakin menunjukkan bahwa dia mumpuni untuk peran seperti ini.

BACA JUGA:

Mitos, Mitigasi, dan Krisis Iklim: Membaca Narasi Putri Karang Melenu dan Naga Sungai Mahakam

The Great Gatsby: Kemewahan, Cinta, dan Kehampaan

Hector and The Search for Happiness: Perjalanan Menemukan Arti Kebahagiaan

The Sentence: Kisah Pribumi, Luka Sejarah, dan Ketahanan Hidup yang Tak Padam

Adegan-adegan pertarungan dikemas dengan variasi menarik: mulai dari duel tangan kosong yang intens, penggunaan granat dan sabuk peledak, hingga salah satu momen klimaks ketika Eve mengamuk dengan flamethrower membakar musuh-musuhnya. Salah satu adegan penting adalah pertarungan di desa pegunungan bersalju, di mana Eve harus bertarung di lantai licin, menggunakan kait baja dan bahkan sepatu es sebagai senjata mematikan. Koreografi pertarungan yang menggabungkan elemen balet memang tidak cukup dominan—kalau berharap judul film ini memberi petunjuk gaya berkelahi Eve—namun kalau diartikan dengan lebih longgar, jelas semuanya memberikan sentuhan unik pada gaya bertarung Eve dengan kecepatan, presisi, dan timing yang nyaris seperti penari balet profesional.

Sebagai pusat cerita, Eve digambarkan sebagai sosok yang teguh, keras kepala, penuh dendam, tangguh, namun tetap menyimpan kerentanan. Comte dan De Armas berhasil memerankan karakter ini dengan bahasa fisik yang meyakinkan dan tatapan mata yang penuh makna, meski naskah sesungguhnya tidak memberi mereka ruang yang memadai untuk eksplorasi psikologis yang lebih dalam. Para penonton akan bisa bersimpati pada Eve belia yang mengalami nasib mengerikan. Namun, Eve dewasa terasa kurang dieksplorasi, sehingga sulit untuk benar-benar terhubung secara emosional dengan perjalanan batinnya, kecuali soal dendam itu.

Penampilan Anjelica Huston sebagai pemimpin Ruska Roma menjadi salah satu momen paling diingat dalam film ini. Dengan satu kata tegas yang diucapkan pada saat yang tepat, ia mampu mencuri perhatian dan menghadirkan aura otoritas yang menggetarkan. John Wick sekalipun tunduk pada otoritasnya, termasuk ketika diberi tugas yang sungguh tidak menyenangkan. Sementara, dalam pembicaraan yang penuh ancaman dengan tokoh antagonis terpenting, Huston memberikan aura ketenangan yang luar biasa, menegosiasikan situasi terbaik yang bisa diperoleh Ruska Roma.

Sebagai sponsor dan pelindung Eve, Winston tetap menjadi jembatan antara dunia lama John Wick dan petualangan baru Eve. Kehadirannya memberikan kontinuitas naratif sekaligus nuansa nostalgia bagi penonton lama. Nuansa yang sama—ditambah kesedihan karena tak akan bisa dilihat lagi pada film-film berikutnya—adalah karakter Charon yang diperankan Lance Reddick. Tokoh ini mati dibunuh di awal John Wick 4, dan aktor pemerannya benar-benar meninggal dunia setelah peran itu. Ballerina adalah kesempatan terakhir untuk menyaksikan karakter yang sangat suportif pada John Wick ini.

Sebagai antagonis utama, The Chancellor yang diperankan oleh aktor kawakan Gabriel Byrne ini digambarkan sebagai pemimpin sekte pembunuh yang kejam dan penuh rahasia. Byrne jelas adalah aktor yang sangat baik. Namun, sayangnya, karakternya tidak pernah benar-benar dikembangkan untuk menjadi ancaman yang kompleks dan lebih mengerikan lagi, sehingga konflik utama dalam film ini malah terasa kurang menggigit.

Keanu Reeves kembali sebagai John Wick dalam kapasitas pendukung. Ia hadir sebagai mentor singkat bagi Eve, menyampaikan nasihat-nasihat singkat yang penuh makna namun tetap misterius. Selain itu, ada tugas khusus dari The Director yang harus dia kerjakan, namun dengan pertimbangan tertentu ia tak menuntaskannya. Peran Wick di sini lebih sebagai pengingat akan dunia yang lebih besar, bukan sebagai penggerak utama cerita. Meski demikian, kehadiran Reeves tetap menjadi daya tarik tersendiri bagi para penggemar lama. Beberapa komentar penonton awam menyatakan bahwa kehadiran Reeves sudah cukup untuk menjadi alasan menonton film ini.

Selain itu, ada karakter Lena yang diperankan oleh nomine Oscar Catalina Moreno, tangan kanan The Chancellor, dan Daniel Pine (Norman Reedus) yang adalah jembatan informasi penting bagi Eve dalam mencari para pembunuh ayahnya. Kedua pemain ini, serta peran pendukung lainnya, tampil baik, walau tak bisa dinyatakan sangat mengesankan. Tokoh Pine, menurut gosip yang beredar di kalangan blogger film, direncanakan akan tampil kembali di film berikutnya—bila benar dibuat—lantaran hubungannya yang kuat dengan Eve.

Secara naratif, Ballerina mengambil struktur sederhana khas film balas dendam: seorang anak yatim piatu yang tumbuh menjadi mesin pembunuh demi menuntut balas. Tema keluarga, takdir, dan konsekuensi tindakan diulang-ulang dalam dialog, namun tidak pernah benar-benar didalami secara emosional. Hubungan antara Eve dan The Director, serta dinamika antara Ruska Roma dan kelompok rival, lebih banyak disampaikan lewat eksposisi daripada interaksi yang membekas. Mungkin cuma butuh tambahan 5 hingga 10 menit untuk bisa membuat film ini menjadi lebih baik dalam narasi, sekaligus mengembangkan mitologi John Wick, tetapi kesempatan ini tak diambil oleh Len Wiseman, sang sutradara.

Dari segi visual, Ballerina tetap mempertahankan estetika dunia John Wick: pencahayaan neon, tata artistik yang gelap namun elegan, serta “tata panggung” di mana seluruh adegan berlangsung sungguh mengesankan. Adegan di klub malam dengan lantai dansa es, hingga pertempuran di desa bersalju, menghadirkan suasana yang stylish dan memanjakan mata.

Namun, di balik kemegahan visual, beberapa kritikus yang saya baca menyatakan bahwa film ini terlalu mengandalkan formula dan gaya dari film-film sebelumnya. Pengaruh Chad Stahelski terasa begitu dominan, sehingga Ballerina dianggap gagal menemukan identitas sinematiknya sendiri. Beberapa adegan aksi memang inovatif bahkan spektakuler, namun terasa lebih sebagai rangkaian laga belaka, daripada bagian dari perjalanan karakter yang organik. Dalam hal ini, Stahelski berhasil membuat laga dan dialog yang terus membuat orang memahami karakter John Wick semakin dalam; sementara Wiseman tampak menjadi murid pintar dari Stahelski, namun belum semumpuni gurunya dalam membangun narasi.

Sebagian besar kritikus sepakat bahwa kekuatan utama Ballerina terletak pada kemampuan fisik dan laga yang ditampilkan de Armas. Koreografi pertarungan yang inovatif, penggunaan senjata yang kreatif, dan visual yang sungguh memanjakan mata menjadi daya tarik utama film ini. Namun, di sisi lain, banyak yang menyoroti kelemahan naskah yang tipis, karakterisasi yang dangkal, dan kurangnya eksplorasi psikologis yang membuat perjalanan Eve terasa kurang menggugah. Beberapa pengulas bahkan menilai bahwa Ballerina lebih terasa seperti rangkaian video game daripada film aksi dengan karakter yang hidup—sebuah komentar yang “keterlaluan” namun saya bisa sangat memahaminya.

Meski demikian, para kritikus juga menyatakan bahwa film ini tetap berhasil menghadirkan hiburan laga yang memuaskan bagi para pencinta genre ini. Ballerina jelas juga berhasil memperluas semesta John Wick, namun belum mampu berdiri sepenuhnya sebagai karya yang mandiri dan beridentitas kuat. Dengan naskah yang masih sangat bisa dikembangkan, karakter utama sangat terbuka untuk dijelaskan isi benak dan batinnya, juga tokoh antagonis yang kurang menggigit, film ini dinyatakan oleh beberapa kritikus lebih cocok dinikmati sebagai hiburan aksi semata, bukan sebagai drama balas dendam yang menggugah emosi. Dalam hal ini, saya tak setuju. Emosi yang ditunjukkan Comte di hari kematian ayahnya, bagaimanapun, cukup tampil dalam amarah de Armas.

Di situs Rotten Tomatoes, kita bisa lihat bahwa secara kolektif para kritikus memberi nilai film ini 75%; sementara penikmat film memberi 94%. Dengan ruang perbaikan yang ada, saya mau memberi film ini angka 80%. Ballerina membuktikan bahwa dunia John Wick masih menyimpan banyak potensi untuk dieksplorasi melalui karakter-karakter baru. Namun, agar spin-off semacam ini benar-benar berkesan, diperlukan naskah yang lebih matang, karakterisasi yang lebih mendalam, dan sampai batas-batas tertentu, keberanian untuk keluar dari bayang-bayang formula lama. Dan saya percaya sepenuhnya bahwa ekspektasi itu bakal bisa dipenuhi.

Penerbangan Jakarta – Banjarmasin QG 480
Minggu, 8 Juni 2025, 10:00

Topik: BallerinaJohn WickKeanu Reeves
SendShareTweetShare
Sebelumnya

Al Gaddafi Pergi Haji: Di Mana Kita Harus Mulai Meragukannya?

Selanjutnya

TRANSISI: Buku Terlupakan yang Bisa Jadi Titik Balik Hidupmu

Jalal

Jalal

Provokator Keberlanjutan, ESG and CSR Strategist, dan penggila buku, film, dan duren. Pengarang buku "Mengurai Benang Kusut Indonesia: Jokowinomics di Bawah Cengkeraman Korporasi" (2020).

TULISAN TERKAIT

Mitos, Mitigasi, dan Krisis Iklim: Membaca Narasi Putri Karang Melenu dan Naga Sungai Mahakam

Mitos, Mitigasi, dan Krisis Iklim: Membaca Narasi Putri Karang Melenu dan Naga Sungai Mahakam

20 Oktober 2025
Cover buku "The Great Gatsby"

The Great Gatsby: Kemewahan, Cinta, dan Kehampaan

9 Oktober 2025
Hector and The Search for Happiness: Perjalanan Menemukan Arti Kebahagiaan

Hector and The Search for Happiness: Perjalanan Menemukan Arti Kebahagiaan

6 Oktober 2025
The Sentence: Kisah Pribumi, Luka Sejarah, dan Ketahanan Hidup yang Tak Padam

The Sentence: Kisah Pribumi, Luka Sejarah, dan Ketahanan Hidup yang Tak Padam

30 September 2025
Selanjutnya
Selanjutnya
transisi buku

TRANSISI: Buku Terlupakan yang Bisa Jadi Titik Balik Hidupmu

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Try Sutrisno

Peluncuran Buku “Filosofi Parenting Try Sutrisno” Sajikan Formula Pola Asuh Keluarga Indonesia

15 November 2025
Tahap Akhir “AYO BACA!” Institut Prancis Indonesia: Soroti Dunia Literasi dan Sastra Kontemporer

Tahap Akhir “AYO BACA!” Institut Prancis Indonesia: Soroti Dunia Literasi dan Sastra Kontemporer

14 November 2025
Buku “The Girl with the Dragon Tattoo” Jadi Best Crime & Mystery versi Goodreads

Buku “The Girl with the Dragon Tattoo” Jadi Best Crime & Mystery versi Goodreads

29 Oktober 2025
Mitos, Mitigasi, dan Krisis Iklim: Membaca Narasi Putri Karang Melenu dan Naga Sungai Mahakam

Mitos, Mitigasi, dan Krisis Iklim: Membaca Narasi Putri Karang Melenu dan Naga Sungai Mahakam

20 Oktober 2025
Menulis dalam Berbagai Medium: Sesi Diskusi Bersama Dea Anugrah dan Aya Canina

Menulis dalam Berbagai Medium: Sesi Diskusi Bersama Dea Anugrah dan Aya Canina

16 Oktober 2025
Merayakan Dewasa dan Lukanya: Kilas dari Penulis

Merayakan Dewasa dan Lukanya: Kilas dari Penulis

15 Oktober 2025

© 2025 Jakarta Book Review (JBR) | Kurator Buku Bermutu

  • Tentang
  • Redaksi
  • Iklan
  • Kebijakan Privasi
  • Kontak
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
  • Masuk
  • Beranda
  • Resensi
  • Berita
  • Pegiat
  • Ringkasan
  • Kirim Resensi

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In