Siapa anak paling pintar di jagat ini? jawabnya adalah anak-anak Finlandia. Mereka hanya belajar 4-5 jam sehari, namun dapat menyimpan lebih banyak memori dan memprosesnya sebagai sikap hidup yang progresif.
Buku Teach Like Finland karya Timothy D. Walker mengungkap bagaimana pendidikan di negara Skandinavia itu diselenggarakan dengan cara yang praktis, humanis, namun efektif. Buku yang dirilis pertama kali di Indonesia oleh Grasindo tahun 2017 ini berisi 33 strategi sederhana nan efektif, yang dapat menginspirasi para pendidik dan orang tua di Indonesia.
Buku setebal 197 halaman ini merupakan catatan Timothy D Walker, seorang guru asal Amerika Serikat yang lama mengajar di Finlandia. Pada awalnya, di mata Walker, pendidikan di Finlandia tidak tampak luar biasa, bahkan terkesan amat santuy.
Namun hasil asesmen menunjukkan, siswa-siswa di salah satu negara Eropa Utara itu menjadi langganan pole position menurut Programme for International Student Assessment (PISA). PISA adalah sebuah program penilaian hasil belajar yang dikembangkan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Penilaian PISA digelar secara Internasional setiap tiga tahun sekali untuk anak-anak berusia 15 tahun ke bawah.
Pada dasarnya sistem pendidikan di negara berpenduduk kurang dari 6 juta ini berorientasi pada efektifitas dan hasil, bukan durasi belajar atau banyaknya mata pelajaran. Untuk itu mereka membuat sebuah sistem internalisasi yang dapat memaksimalkan semua reseptor, dengan memainkan jam istirahat dan berbagai pendekatan metodis serta pemanfaatan teknologi.
Para pendidik di Finlandia menyadari, penyampaian materi tidak dapat dijejalkan sedemikian rupa seperti memasukkan saus dalam botol. Setiap tahapan materi memerlukan pengendapan dan untuk itu memerlukan waktu istirahat, step by step secara konsisten.
Fungsi istirahat ini sangat penting di antara jam-jam sekolah yang berat. Metode rehat yang tepat membuat anak lebih mampu mengoptimalkan kerja memori dan melakukan penyimpanan secara maksimal.
Di Finlandia, anak-anak sekolah diistirahatkan 5 menit setiap 45 menit pelajaran. Lima menit yang berharga itu boleh digunakan untuk bermain dan bersosialisasi dengan siswa lainnya. Setelah sesi jeda selesai, mereka kembali ke dalam kelas dengan wajah ceria dan siap menerima pelajaran berikutnya.
Teknik ini dimaksudkan memberikan waktu pit stop bagi siswa di tengah-tengah sprint yang melelahkan. Meskipun hanya 5 menit namun jeda itu mampu memberikan energi yang besar untuk memasuki lap berikutnya.
Hal ini didukung penelitian ilmiah, di antarnya oleh Daniel Levitin, seorang Professor Psikologi Behavioral Neuroscience (ilmu syaraf tentang kebiasaan) di Universitas Mc Gill, Kanada. Ia menjelaskan, waktu istirahat bagi otak dengan sebuah jeda yang teratur akan mendorong kinerja otak pada produktivitas dan kreativitas yang lebih besar. Pengenduran otak sebenarnya bisa terjadi secara alamiah, misalnya pada saat siswa melamun. Namun jeda secara resmi tentu saja akan lebih produktif. Teknik ini disebut pulsing.
Hal ini sesuai dengan penelitian Amanda Moreno, seorang peneliti asal Amerika Serikat yang menyatakan, waktu jeda memberikan dampak signifikan bagi otak untuk membuat rekaman yang kuat. Waktu jeda itu disebutnya “calm spot” atau tempat tenang.
Calm spot penting diberikan kepada anak-anak sebagai kegiatan istirahat yang produktif. Dalam calm spot itu perlu juga mengajak siswa melakukan aksi bergerak dengan gembira sehingga mereka mendapatkan relaksasi.
Di Finlandia guru menyadari pentingnya memberikan waktu konsolidasi bagi memori atas semua informasi yang masuk. Maka dari itu pelajaran diberikan tahap demi tahap, dengan dibatasi waktu jeda.
Tentu saja pengaturan waktu jeda bukan satu-satunya cara membuat belajar menjadi efektif. Terdapat 32 strategi lain yang dibahas dalam buku ini, yang semuanya laksana puzle terpisah, tetapi apabila disatukan dapat membentuk figur pendidikan yang luar biasa dahsyat.
Teknik yang diperkenalkan Finlandia pada prinsipnya adalah anti tesis terhadap mekanisme pendidikan yang banyak berlaku di dunia saat ini. Di negara-negara maju pada umumnya siswa ditekan dengan tempo belajar yang lama dan tugas-tugas yang menumpuk.
Korea Selatan menjadi yang tersadis dalam mendidik anak-anaknya. Mereka harus menghadapi jam sekolah sebanyak 14 jam per hari. Sementara Cina, Jepang, dan Singapura masing-masing mengglear sekolah 7 jam per hari. Namun ketika dites, hasil yang diperoleh masih kalah dengan Finlandia yang hanya membuka kelas 4-5 jam per hari, lima hari per minggu.
Pada 4 Desember 2001, ketika metode asesmen PISA pertama kali diterapkan, Finlandia berada di peringkat teratas pada tiga area akademik, yaitu membaca, matematika, dan IPA. Di bawah Finlandia ada Jepang, Korea Selatan, dan Hong Kong. Anak-anak Finlandia tampaknya mempelajari semua pengetahuan dan keahlian yang mereka tunjukkan dalam tes tanpa bantuan tutor pribadi, kelas tambahan, dan tanpa setumpuk pekerjaan rumah.
Pada dua siklus penilaian PISA berikutnya, tahun 2003 dan 2006, Finlandia memperkuat reputasinya dengan bertahan di ranking satu dunia. Meskipun hasil akademik anak-anak berusia 15 tahun sempat terbenam tahun 2009, 2012, dan 2015, namun data PISA secara umum menunjukkan mereka konsisten menunjukkan hasil pembelajaran yang tinggi tanpa menghiraukan status sosio ekonomi orang tuanya.
Satu hal lagi, gaya pendidikan di Finlandia ternyata lebih menjanjikan kebahagiaan bagi siswa. Sebagai guru, para pengajar Finlandia telah diseting piawai menanamkan kegembiraan di dalam kelas dengan kombinasi manis antara jeda, bermain, berjalan ke alam, dan joke.
“Sebagai guru di Helsinki, saya telah mengumpulkan beberapa strategi pengelolaan kelas dari para pendidik Finlandia, yaitu: ajarkan hal-hal mendasar, gunakan teknologi, berikan pendampingan, buktikan pembelajaran, dan diskusikan soal nilai'” kata Timothy.
Judul Buku: Teach Like Finland (Mengajar Seperti Finlandia)
Penulis: Timothy D. Walker
Penerbit : Grasindo
Tebal : 197 Halaman
Cetakan I : Juli 2017
ISBN : 978-602-452-044-1