Jakarta, JBR (13/11) – Institut français Indonésie (IFI) menutup rangkaian program “AYO BACA!” dengan acara puncak bertajuk “Par Les Mots” atau “Lewat Kata-Kata” di bilangan Thamrin, Jakarta pada Kamis (13/11/2025). Program yang mulai digelar sejak Mei 2025 ini menjadi wadah promosi literasi, khususnya karya sastra kontemporer dan seni terjemahan melalui berbagai agenda yang menghadirkan narasumber ternama. Pengunjung dapat berpartisipasi dalam lokakarya, diskusi, sesi penulisan puisi spontan, dan menikmati beragam karya literasi.
Beberapa penulis dan tokoh sastra terlihat turut meramaikan agenda yang berlangsung sejak pukul 09:45 hingga 17:00 WIB ini. Acara puncak ini berisikan dua rangkaian agenda utama, yaitu sesi lokakarya dan sesi diskusi. Sesi lokakarya diselenggarakan setelah pembukaan acara, dari pagi hingga pertengahan hari. Setelah itu, sesi diskusi yang lebih membahas isu-isu literasi dan penulisan diselenggarakan pada siang menuju sore hari.
Selain itu, acara ini juga dimeriahkan oleh penulisan puisi spontan “Poésie on the spot” yang diselenggarakan di ruang kelas dan hall IFI Thamrin selepas jam makan siang. Penulisan puisi secara “instan” ini ditulis menggunakan mesin tik, menambah kesan estetik.

Konselor Kerja Sama dan Kebudayaan IFI, Julie Dupéroir optimis agar acara-acara literasi seperti “AYO BACA!” dapat diselenggarakan setiap tahunnya. Walaupun program ini adalah program perdana di IFI, tetapi IFI mengupayakan pertukaran budaya dan pengetahuan melalui kegiatan literasi semacam ini dapat diperbanyak.
“Program ini adalah program perdana, tetapi tidak berhenti di sini. Kami mengupayakan kegiatan di bidang literasi dan penerjemahan diperbanyak dalam serangkaian acara-acara. Semoga kegiatan ini terus berkembang, khususnya kegiatan literasi antara Prancis dan Indonesia,” tutur Julie.

Selain itu, Jules Irmann selaku Direktur IFI dalam sambutannya menyampaikan bahwa program “AYO BACA!” yang telah dimulai pada bulan Mei 2025 ini membuahkan banyak sekali hasil. Dari Penghargaan Sastra Frankofon yang telah melibatkan 38 pembaca Indonesia dengan berbagai profesi. Lalu, ada perpustakaan keliling atau BiMo yang berkeliling di beberapa kota di Pulau Jawa. Terakhir, menciptakan wadah dengan mempertemukan pembuat dan penikmat sastra di Indonesia.
“Puncak rangkaian acara ‘AYO BACA!’ ini bernama Par Les Mots didedikasikan sebagai wadah dialog antara penerjemah, penulis, penerbit, dan pembaca,” tegas Jules.

Sebelumnya, rangkaian dalam program “AYO BACA!” ini diresmikan secara langsung oleh Menteri Kebudayaan Prancis, Rachida Dati di Bentara Budaya Jakarta (28/5/2025). Peresmian tersebut juga dilakukan ketika Presiden Prancis, Emmanuel Macron melakukan kunjungan ke Indonesia. Program ini bertujuan untuk mendorong terjemahan sastra, menumbuhkan minat baca pada generasi muda, dan sebagai upaya menjembatani distribusi karya-karya literasi antara Prancis dan Indonesia.
Program “AYO BACA!” ini lahir dalam serangkaian perjanjian dan roadmap yang berawal dari Deklarasi Borobudur mengenai strategi budaya antara Prancis dan Indonesia. Strategi itu disepakati oleh presiden dari kedua negara. Visinya jelas, yaitu untuk menumbuhkan rasa ingin tahu pembaca muda dan memperkuat jembatan antara scene sastra Prancis dan Indonesia.
Rangkaian Acara “Par Les Mots”
Sesi lokakarya dibagi menjadi tiga topik pembahasan dan terbagi dalam dua area di IFI Thamrin, yaitu mediatek dan ruang kelas IFI Thamrin. Lokakarya topik pertama menghadirkan narasumber dari Himpunan Penerjemah Indonesia yang diwakili oleh Dr. Safrina Noorman, M.A. yang merupakan dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Pada sesi pertama ini, Safrina Noorman membahas topik “Dari Kata ke Dunia: Seni Menerjemahkan”.
Dr. Safrina Noorman fokus menyoroti perkembangan sastra terjemahan di Indonesia dalam aspek historis. Dalam diskusinya, ia membahas tentang bahasa Sunda yang sudah melewati banyak perubahan dan model karya hingga saat ini. Menurutnya, bahasa Sunda lahir dari kebutuhan budaya yang membawa nilai-nilai lokal, sedangkan bahasa Indonesia yang menjadi bahasa persatuan di negeri ini berawal dari kebutuhan politik.

Ia juga menyoroti tokoh-tokoh penerjemah di kalangan bahasa Sunda, seperti R. A. Lasminingrat dan Godi Suwarna. Menurutnya, tokoh-tokoh tersebut memiliki andil besar dalam perkembangan sastra di Indonesia.
“Saat Indonesia belum merdeka, kontribusi bahasa sunda terhadap penerjemahan karya-karya literasi begitu besar” ujar Safrina.
Topik acara selanjutnya adalah “Puisi dan Estetika Terjemahan”, dibawakan oleh Isadora Fichou. Isadora adalah seorang dosen di INALCO (Institut national des langues) Paris. Ia membahas terkait bagaimana proses perjalanan ketika menerjemahkan karya Chairil Anwar dalam bentuk kompilasi berjudul “Nous les chiens traqués” atau “Kita Anjing Diburu”.
Dalam penerjemahan karya-karya Indonesia banyak sekali padanan kata yang tidak sesuai dengan bahasa Prancis. Ia menjelaskan bagaimana cara menerjemahkan agar sesuai dengan versi orisinilnya. Ada kalanya, penerjemah memerlukan berbagai referensi kata dan konteks agar versi terjemahan tidak jauh berbeda dengan versi aslinya.
“Ada beberapa yang tidak saya terjemahkan, tetapi untuk menggantinya saya menuliskan ‘catatan kaki’ di laman paling bawah. Lalu, untuk dua padanan kata yang berbeda menjadi satu, biasanya saya mencari makna yang paling mendekati, walaupun sangat sudah melakukan itu karena tidak ada ‘kata’ yang sepadan di bahasa terjemahannya.” papar Isadora kepada reporter Jakarta Book Review.

Sesi diskusi bersama Leila S. Chudori, Laksmi Pamuntjak, dan Kanti W. Janis

Sesi diskusi diramaikan oleh tiga penulis perempuan terkemuka, Leila S. Chudori, Laksmi Pamuntjak, dan Kanti W. Janis. Mereka mendiskusikan proses penulisan dan peran perempuan dalam sastra kontemporer. Mereka menjadi narasumber di dalam dua topik pembicaraan, yaitu “Cerita di Balik Kata” dan “Perempuan & Pena: Perspektif Bersilang”.
Tiga penulis perempuan tersebut membagikan kisah perjalanan menulis mereka. Dipandu oleh Debra H. Yatim yang juga seorang penulis, editor, dan penerjemah, sesi yang membawa tema penting ini berjalan dengan sangat baik.
Laksmi Pamuntjak bercerita bahwa awal perjalanan menulisnya dimulai dalam menghasilkan tulisan-tulisan reportase. Ia membagikan hasil reportase tersebut di media pemberitaan, seperti Tempo dan juga The Jakarta Post. Dengan berlatar pendidikan di bidang sosial politik, Laksmi Pamuntjak bersyukur belajar mengenai politik dan wilayah teritorial. Menurutnya sebagai penulis dan juga mengetahui minat di bidang yang lain, dapat membuat sebuah karya bisa berkembang.
“Pengalaman penulis saya dan karya-karya yang lain dapat berkembang karena menggabungkan antara point of view yang saya dapatkan, pengalaman saya, dan juga pendidikan saya,” cerita Laksmi.
Leila S. Chudori punya kisah yang hampir sama. Penulis novel mega bestseller “Laut Bercerita” ini juga membagikan proses perjalanannya sebagai penulis. Ia mengawali karirnya Sebagai seorang jurnalis di Tempo dan berada dalam satu periode yang sama ketika Laksmi Pamuntjak berada di media tersebut.
Leila menyampaikan bahwa novelnya, “Laut Bercerita” telah terbit dalam 4 bahasa, Jepang, Arab, Melayu, dan Inggris. Ia menceritakan anak-anak muda yang membaca karya-karyanya adalah mereka yang ingin mengetahui sejarah bangsa Indonesia yang tidak diceritakan dalam buku pelajaran sejarah secara resmi.
“Sekarang banyak ya anak-anak muda yang berani bersuara di media sosial apapun bentuknya. Mereka membaca karya-karya tulisan saya karena ada cerita (sejarah) yang tidak dituliskan atau tidak detail di dalam buku sejarah pelajaran mereka,” tegas Leila.

Kanti W. Janis punya kisah lain. Ia menyadari bahwa proses dari karya-karyanya dimulai sejak kecil. Berawal dari catatan buku hariannya miliknya, ia menciptakan cerita-cerita lain dengan menampilkan lebih banyak ilustrasi atau gambar yang dibuatnya.
Sebagai seorang penulis dan juga advokat, Kanti juga aktif dalam mempromosikan pendidikan dan kesadaran warga di Indonesia. Ia mendirikan perpustakaan dan mengadvokasi hak-hak penulis adalah bentuk upaya untuk memajukan karya-karya sastra kontemporer.
Perspektif penulis dan penerbit dalam menciptakan sebuah karya sastra

Rangkaian acara “Par Les Mots” hari ini diakhiri dengan kehadiran para penerbit dan penulis dalam diskusi bertema penulisan, terjemahan, dan distribusi internasional. Dengan melibatkan Gramedia sebagai penerbit dari Indonesia, Denoël sebagai penerbit dari Prancis, dan Nuril Basri sebagai penulis asal Indonesia. Kehadiran penerbit dan penulis pada agenda akhir tersebut dilaksanakan secara hybrid.
Penerbit menjadi atensi khusus sebagai wadah pertukaran budaya dan literasi antar negara. Namun, kesamaan visi antara penerbit dan penulis menjadi satu hal yang tidak dapat dipisahkan. Seperti karya-karya sastra yang akan diterjemahkan ke dalam bahasa lain, hal itu membutuhkan hak cipta, penerjemah, editor, dan keselarasan visi penerbit.
Reporter: Dimas Yusuf
Editor: M. Farobi
Foto: JBR









