Mataram – Ketua Umum Nahdlatul Wathan Diniyyah Islamiyah (NWDI), Tuan Guru Bajang (TGB) HM Zainul Majdi, merilis buku yang bertajuk “Tuan Guru Bajang dan Covid-19”, Senin (31/1/2022) di Pancor, Lombok Timur. Buku yang diluncurkan bertepatan dengan penutupan muktamar NWDI ini berisi hal-hal yang berkaitan dengan Covid-19.
“Di dalam buku yang membahas tentang Covid-19 ini juga berisi bagaimana memandang Covid-19 dari sudut pandang sebagai seorang muslim, juga seperti apa Islam membekali kita dengan nilai-nilai,” ungkapnya.
Ketua Organisasi Internasional Alumni Al Azhar (OIAA) Cabang Indonesia ini juga menyampaikan bahwasanya Islam selalu mengajarkan ketika ada musibah. Tantangan yang tak pernah diprediksi namun bisa sewaktu-waktu menimpa manusia.
“Islam mengajarkan seperti apa kita menyikapi dan menanggulangi terkait musibah dan wabah,” jelasnya.
Selain itu, dalam buku ini juga mencerminkan tentang nilai dari NWDI, nilai yang selama ini membesarkan dirinya maupun jamaah NWDI lainnya. Niali ini secara langsung membentuk jati diri serta karakter sebagai seorang mukmin, Muslim, dan disaat yang bersamaan juga sebagai kader NWDI.
Dalam kesempatan yang sama, Febrian Putra selaku penulis buku ini mengungkapkan buku tentang Covid-19 ini juga berisi pandangan-pandangan Ketua Umum PB NWDI seputar Covid-19. Di awal pandemi muncul, terjadi beragam pandangan yang menyeret antara agama dan kesehatan. Muncul narasi-narasi yang membenturkan antara hasil medis dengan agama. “Di sini TGB pun memberikan pandangan dan panduan dari sisi agama,” ujarnya.
Beberapa contoh benturan antara agama dan kesehatan seperti ketika awal pembatasan, masih ditutup, Shalat Jumat ditiadakan, pasar dibuka, hingga proses vaksinasi.
“Ada denggungan yang tercuat di publik bahwa shalat jamaah tak boleh ditinggalkan. Masjid ditutup, kok pasar dibuka. Sampai soal vaksin itu haram. Nah di sini TGB memberikan pemahamannya dari segi agamanya,” terangnya.
Dalam penyusunan buku ini terinspirasi dari buku Flu Spanyol yang berisi tentang kisah yang merajalela pada 100 tahun lalu. “Jika berbicara tentang pandemi, dunia ini mengalami pandemi setiap 100 tahun sekali. Jika dulu berbicara tentang bagaimana cara penanganannya, sedangkan saat ini pandemi justru dibenturkan dengan pandangan keagamaan,” pungkasnya.
“Bila bicara siklus, pandemi dunia ini terjadi 100 tahun sekali. Jika dulu riuh tentang penanganan, di era sekarang seolah membenturkan pandangan keagamaan,” katanya. (ST/JBR)