Masa Depan Toko Buku – “Beradaptasi atau musnah? Sebuah keniscayaan yang tak bisa ditawar-tawar lagi saat ini.”
Itulah kutipan dari H. G. Wells yang sepertinya cocok untuk direnungi para pegiat insdustri saat ini. Perkembangan teknologi yang sangat pesat tak bisa dihindari lagi. Gagal beradaptasi sama dengan menunggu kehancuran. Hal ini juga berlaku dalam industri perbukuan.
Terbaru, gerai legendaris “Gunung Agung” resmi akan menutup gerainya secara bertahap hingga akhir 2023. Gunung Agung memiliki nilai sejarah yang tinggi. Berdiri sejak 1953, Gunung Agung punya konstribusi besar meningkatkan literasi di Indonesia.
Tutupnya Gunung Agung sangat disayangkan oleh banyak pegiat buku di Indonesia. Dikutip dari republika.co.id, Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), Arys Hilman Nugraha, menyatakan duka atas tutupnya Gunung Agung setelah 70 tahun berdiri.
Tidak hanya Gunung Agung, Books & Beyond sejak April lalu telah mengumumkan penutupan gerainya di Indonesia secara permanen. Kinokuniya pun telah menutup salah satu gerainya pada tahun 2021.
Sekilas bisa kita prediksi bahwa penyebab penurunan bisnis toko buku ini adalah gagalnya proses adaptasi dari perusahaannya. Sebagaimana tertulis di awal, kegagalan beradaptasi bisa mengantarkan sebuah bisnis menuju kehancuran.
Lalu, apakah ini bisa menjadi tanda awal matinya bisnis toko buku? Apa yang harus dilakukan agar bisa survive dari situasi ini?
Perkembangan Teknologi Digital
Penyebab toko buku mulai berguguran yang paling utama adalah gagalnya adaptasi terhadap perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat. Dengan itu, kebiasaan orang pun bergeser. Pencarian informasi kini hanya sejauh menggerakkan jari, cukup mengetik kata kunci di google dan semuanya tersedia.
Hal itu juga terjadi pada transaksi jual beli buku. Orang tidak lagi tertarik untuk datang ke toko, cukup dengan membeli secara daring dan menunggu di rumah. Toko buku kini hanya berperan sebagai etalase yang dilihat, proses jual beli tetap terjadi secara daring. Datangnya pandemi COVID-19 pun sangat mendukung kebiasaan baru ini.
Menurut survei Inventure-Alvara pada Februari 2023, 42 persen responden semakin mengurangi pembelian buku di toko. Angka ini lebih tinggi daripada makan di resto dengan 36 persen atau belanja produk health & beauty dengan 22 persen.
Selain kebiasaan pembeli yang berubah, tersedianya e-book yang mempermudah pembaca juga semakin mengurangi minat orang ke toko fisik. Meskipun, angka penjualan e-book saat ini masih kalah jauh dengan penjualan buku fisik.
Survei IKAPI pada 2020 menyebut penjualan e-book di Indonesia masih kurang dari 10 persen. Di seluruh dunia, e-book penjualannya masih berkisar di 20 persen. Jadi, penjualan buku kertas masih mendominasi.
Namun, kasus di Indonesia sedikit berbeda dengan negara lain. Finlandia misalnya, penjualan e-book mereka naik hingga 200 persen, namun penjualan buku fisik mengalami peningkatan yang lebih besar. Sama halnya dengan Jepang dan Amerika, baik e-book maupun buku fisik penjualannya sama-sama melonjak naik.
Lain halnya dengan Indonesia. Meski penjualan e-book meningkat, penjualan buku fisik anjlok drastis sehingga pendapatan toko semakin menurun. Karena hal ini, penerbit pun tidak bisa lagi bertahan dengan hanya bergantung pada produk digital.
Bentuk Adaptasi Toko Buku
Dengan beberapa kasus yang telah terjadi, pegiat industri buku tidak punya jalan keluar lain selain beradaptasi. Kita harus sadar bahwa toko buku konvensional lambat laun akan tertinggal, perlu ada perubahan yang signifikan agar bisa tetap eksis.
Poin yang bisa toko fisik unggulkan adalah customer experience, pengalaman berbeda yang ditawarkan kepada pelanggan dan tidak akan mereka dapatkan ketika berbelanja daring. Ada beberapa bentuk yang bisa dicoba sebagai upaya beradaptasi. Pertama, retail-tainment. Konsep ini gabungan antara toko buku dengan coffee shop, restoran, event-space ataupun work-space.
Kedua, Community Hub. Gerai yang berbasis kepada komunitas. Dengan mengakomodasi kegiatan-kegiatan komunitas tertentu bisa membantu menghidupkan toko, seperti bedah buku, diskusi, dll. Pelanggan datang tidak hanya untuk membeli buku, bisa juga untuk mengikuti acara-acara komunitas. Tentu saja, pengelolaan komunitasnya juga perlu kita perhatikan.
Ketiga, Specific Genre Store. Dengan konsep ini, toko fokus menyediakan genre buku tertentu saja. Namun, tidak cukup dengan itu saja. Perlu ada sentuhan berbeda dari konsep toko, seperti dekorasi, gimmick, atau hal-hal lain yang bisa menjadi personal experience yang tidak pengunjung dapatkan ketika berbelanja buku secara daring.
Tentunya masih ada hal lain yang bisa toko buku upayakan agar bisa bertahan bahkan berkembang. Perlu kesadaran bersama dari para pebisnis di dunia buku agar industri perbukuan di Indonesia terus meningkat. Meningkatnya industri perbukuan juga akan memicu peningkatan literasi masyarakat lebih tinggi.