“…there is no longer a reason for the daily roll call, of the need to be seen with your butt on your seat in the office.”
— Remote: Office Not Required, Jason Fried & David Heinemeier Hansson
Eric tinggal di Jakarta, bekerja untuk sebuah redaksi berita, dengan desk-nya di Jawa Timur. Jam kerjanya mulai ketika bulan sudah santai, tak berebut muncul di tengah sisa mentari senjai. Ia tipe yang memilih jadwal yang sesuai, tanpa terbirit bekerja. Pun selesai bekerja, ia menikmati pagi bersama keluarga.
Film “dokumenter kecil” tentang hidupnya berputar di layar imajinasiku: ia produktif bukan karena harus. Tetapi karena ingin dan boleh. Remote menuliskan kisah seperti ini, bukan untuk menyanjung gaya hidup, tapi untuk membuktikan bahwa kepercayaan dan kebebasan membuat kualitas manusia lebih tajam—bukan kabur.
Kantor sebagai “Pabrik Gangguan”
Banyak orang yang kini justru merasa bahwa kantornya adalah “pabrik gangguan”, yang justru membuat orang menjadi susah untuk menyelesaikan pekerjaan. Stephen misalnya, ia desainer dari Sydney. Dulu setiap lima menit, fokusnya dalam bekerja terpecah oleh suara obrolan di pantry. Ide-idenya tercerai, otaknya lelah. Lalu ia pulang dengan perasaan gagal.
Setelah Stephen pindah dan bekerja remote, ia mulai menyelesaikan proyek panjang—satu ilustrasi publikasi pun memakan waktu beberapa pekan, tapi ia malah berhasil dengan fokus mendalam dan detail tajam. Remote mengatakan padanya dan kita semua: bukan tempat yang membuatmu produktif, melainkan ritme dan ruang untuk bekerja.
Fried dan Hansson sebagai duet penulis buku ini, tak hanya menyenandungkan kebebasan. Mereka malah merobek mitos bahwa “Kreativitas hanya lahir face-to-face”. Keduanya membantah dengan membuktikan bahwa “basecamp” dan bukan kantor secara fisik, tetap berkali lipat produktif, meski lokasinya tersebar.
Namun mereka tak bersembunyi dari tantangan: pekerja remote bisa merasa sendiri. Salah seorang manajer menceritakan bagaimana timnya sempat kehilangan taste rasa “kebersamaan”. Responding to that, Remote mengusulkan virtual water cooler, check-in rutin, dan pertemuan tatap muka tahunan—untuk merawat koneksi manusiawi yang tak bisa digantikan sempurna lewat layar.
“The True Challenge of Working Remotely”
Banyak orang mengira tantangan terbesar bekerja dari rumah adalah koneksi internet, atau keterbatasan komunikasi jarak jauh. Tapi buku ini menyibak lapisan lebih dalam: tantangan sejatinya adalah rasa sunyi. Rasa kehilangan manusia lain yang biasanya hadir di seberang meja kerja, suara kecil yang memecah keheningan, atau sekadar obrolan ringan di lorong kantor. Kesunyian ini tak terlihat, tak terdengar, tapi terasa—menyelinap di sela jam kerja dan menggerogoti semangat diam-diam.
Jason dan David memotret kesunyian ini dengan jujur. Mereka mengaku, tak semua orang cocok bekerja sendirian di rumah sepanjang waktu. Ada tipe orang yang justru bertumbuh dari energi sekitar, dari desakan tak langsung, dari sapaan kecil yang mengingatkan bahwa ia bagian dari sesuatu yang lebih besar. Oleh karena itu, mereka tak menyarankan kerja jarak jauh sebagai dogma, melainkan sebagai pilihan sadar. Mereka menyarankan perusahaan tidak hanya memberi alat dan SOP, tapi juga memastikan ada budaya keterhubungan: virtual campfire, obrolan kasual daring, dan bahkan check-in harian bukan sebagai kontrol, melainkan pelukan digital.
Yang mereka tekankan bukanlah menghapus kesunyian, tapi mengakuinya dan bersiap menyikapinya. Karena kerja jarak jauh adalah ruang luas—dan hanya bisa ditempati dengan kesadaran penuh akan sunyi, dan keberanian untuk tetap hadir di tengahnya.
“Stop Commuting Your Life Away”
Dalam bab ini, buku ini bicara bukan hanya pada para profesional. Tetapi pada semua manusia yang pernah terjebak dalam kemacetan kota, dan merasa hidupnya mengalir lewat jendela kendaraan.
Saya menyodorkan satu fakta yang sulit dibantah: orang-orang telah mengorbankan dua jam setiap harinya—hanya untuk berada “secara fisik” di kantor. Dua jam yang bisa digunakan untuk tidur lebih baik, menyapa keluarga, menulis jurnal, atau sekadar mendengarkan napas sendiri.
Dengan nada setengah menggoda, Jason dan David bertanya: “Apakah kau benar-benar perlu duduk di kursi kantor demi pekerjaan yang bisa diselesaikan lebih baik dari rumah?” Mereka tak sedang menggugat kantor, tapi menyentil kenyataan bahwa mobilitas sering disamakan dengan produktifitas. Padahal tidak semua kehadiran berarti kontribusi.
Bagi mereka, menghentikan kebiasaan commuting adalah bentuk pembebasan kecil. Bukan pemberontakan, tapi pemulihan. Pemulihan ritme biologis, pemulihan waktu pribadi, dan pemulihan makna dari apa itu ‘bekerja’. Karena bekerja bukan hanya hadir secara tubuh—tapi hadir secara utuh, dengan pikiran jernih, tubuh tak lelah, dan jiwa tak tercerai.
Dan di sanalah, kerja jarak jauh bukan sekadar metode—tapi filosofi. Filosofi yang memanusiakan waktu.
Bab: “Managing Remote Workers”
Inilah bab yang sering dihindari oleh para manajer konvensional: bagaimana memimpin ketika bawahan tak terlihat? Bagaimana membangun kepercayaan saat semua komunikasi terjadi lewat layar?
Jason dan David mengupasnya dengan lembut. Mereka mengajak para pemimpin untuk melepaskan ketergantungan pada pengawasan, dan menggantinya dengan sistem transparansi. Dalam kerja remote, tidak ada ruang bagi mikromanagement. Karena yang bisa dipercaya, adalah hasil. Dan hasil hanya bisa tumbuh jika para pekerja diberi ritme sendiri.
Alih-alih memantau jam masuk atau status online, manajer diajak untuk membuat tujuan yang jelas, tenggat yang masuk akal, dan dialog yang manusiawi. Mereka memperkenalkan cara-cara baru dalam memelihara tim: pembaruan rutin lewat tools seperti Basecamp, log harian yang bisa dilihat siapa saja, serta pembicaraan pribadi yang tak melulu soal kerja—tetapi juga tentang bagaimana perasaan tiap anggota tim minggu ini.
Dalam bab ini, tercermin satu nilai: bahwa memimpin adalah menahan diri untuk tidak menguasai. Bahwa kepercayaan adalah bentuk tertinggi dari kepemimpinan. Dan bahwa dalam dunia kerja jarak jauh, pemimpin sejati bukan yang paling keras bersuara—tapi yang paling tenang menjaga arah layar timnya, bahkan saat kapal tidak berlabuh di satu pelabuhan pun.
Menurut saya, buku Remote bukan propaganda nomaden digital. Ia adalah buku tentang kemanusiaan yang tersentuh ketika kepercayaan diberikan tanpa penghakiman. Tentang bagaimana seseorang seperti Eric dan Stephen menemukan ritme hidup yang lebih sesuai dengan jiwa, tanpa melepas tanggung jawab. Tentang bagaimana sebuah perusahaan bisa membangun cerita bersama, walau jarak memisahkan fisik: lewat protokol overlap waktu, transparansi tugas, dan nilai saling percaya .
Buku ini relevan untuk banyak orang, siapapun kecuali ojek online. Karena esensi ‘remote’ bukan hanya soal bekerja dari rumah, tapi tentang bagaimana menjaga rasa dalam karya—agar setiap kata dan kalimat tetap tulus, meski belum disentuh jemari dariku langsung, dalam genggaman nyata.
Untuk generasi yang merindukan ruang dan kebebasan, namun juga keintiman, Remote memberi satu janji: “Kau bisa tegak berdiri, produktif, dan terhubung… tanpa pertimbangan jarak kantor.”
Remote mengingatkan saya bahwa bukan jarak geografis yang membuat hati jauh. Tetapi ketika kepercayaan dibatasi. Dan ketika kepercayaan dibebaskan, hidup dan kerja bisa mengalir bersama—dalam harmoni yang sederhana. Toh buat saya, kekompakan kerja bisa tumbuh lewat tindakan, bukan pertemuan kantin dan minum kopi rame-rame.
Apakah Anda percaya bahwa “Jika tidak diawasi, maka orang (karyawan, anak buah) bakal malas-malasan?” Tergantung sih. Di Indonesia, mungkin masih begitu.








