Pada tahun 1950-an, Atlantic & Pacific Tea Company (A&P) adalah toko retail terbesar di Benua Amerika. Perusahaan yang berdiri tahun 1859 ini memiliki model bisnis yang sempurna sebagai penjual sembako termurah (h 85). Saat itu ada kompetitor yang kurang diperhitungkan, yaitu Kroger. Bisnisnya sama, dengan skala kurang dari separuh A&P.
Sepertinya tidak ada persaingan yang sengit, tetapi tahu-tahu pada tahun 1960 Kroger sudah berada sejajar dengan A&P. Berarti hanya dalam 10 tahun Kroger telah berkembang dua kali lipat dan A&P tidak membesar. Kemudian 25 tahun berikutnya Kroger telah melejit jauh di depan dengan penjualan 80 kali lipat dibanding A&P.
Menurut Jim Collins dalam buku Good to be Great, keterlambatan mengantisipasi perubahan dapat mengarahkan perusahaan ke jurang kehancuran dalam waktu singkat. Faktanya, Amerika telah berubah setelah era perang dunia. Perekonomian yang maju dengan budaya konsumerisme yang tinggi tidak membutuhkan barang-barang dengan harga termurah. Publik lebih suka toko modern yang sama sekali berbeda. Mereka menginginkan roti hangat yang baru dipanggang, bunga, aneka makanan instan, obat flu, hasil bumi, dan barang-barang trendi.
Baik A&P maupun Kroger adalah perusahaan tua. Masing-masing berusia 111 tahun dan 85 tahun. Keduanya memiliki pengetahuan yang kuat tentang wilayah-wilayah pertumbuhan di Amerika, dan keduanya mengetahui dengan pasti bagaimana keadaan di sekitar mereka berubah. Namun ketika perubahan terjadi, respon keduanya jauh berbeda.
Terdapat fakta-fakta keras (the brutal issue) yang diantisipasi oleh Kroger dengan cara mengubah sistem secara keseluruhan, sementara yang lebih besar, yaitu A&P malah membenamkan kepalanya ke dalam pasir (h 86).
Setelah A&P di-overlap, mereka mencari solusi instan yang tidak didasari pengetahuan tentang akar masalahnya. Mereka melakukan pertemuan motivasi (pep rallies), meluncurkan program, mengikuti tren, memecat CEO, merekrut CEO, dan memecatnya lagi. Barang-barang dijual dengan pemangkasan harga radikal agar konsumen kembali ke pangkuannya.
Tetapi semuanya tak membuahkan hasil. Publik tak memerlukan harga murah, tetapi belanja yang nyaman dan model toko yang lebih berkelas. Pemangkasan harga malah mengakibatkan penghematan biaya, dan itu membuat toko lebih kumuh, lebih gelap, dan pelayanan yang buruk.
Jim Collins menganalisa perusahaan-perusahaan yang superior di kelasnya. Perusahaan hebat selalu memiliki target yang sangat spesifik dan berfokus mengarahkan energi untuk mencapai hal yang spesifik tadi. Penghalang besar sebuah organisasi menjadi hebat adalah karena mereka sudah cukup bagus. Bagus itu musuhnya hebat (h 1). Kebanyakan perusahaan yang eksis dan bertumbuh itu sudah bagus, tetapi mereka belum hebat. Maka harus ada transformasi dari Good menjadi Great.
Collins meneliti sederet perusahaan terkemuka, seperti Abbott, Fannie Mae, Circuit City, Gillette, Kimberly-Clark, Kroger, Nucor, Phillip Morris, Pitney Bowes, Walgreens, dan Wells Fargo. Ternyata yang paling berperan membuat perusahaan menjadi superior adalah tiga hal, yaitu Disciplined People, Disciplined thought, dan Disciplined action. Aspek lain, seperti kompetensi CEO, teknologi, merger dan akuisisi, ternyata tidak memberikan pengaruh besar dalam membuat perusahaan menjadi superior.
Kepemimpinan Rendah Hati
Untuk menggerakkan sebuah organisasi dari good to be great, trigger-nya adalah pemimpin. Orang inilah yang akan membangkitkan dan membangun tiga budaya disiplin tadi. Collins menemukan suatu sifat umum dari mereka, yaitu determinasi yang tinggi dan biasanya rendah hati. Mereka pada umumnya memiliki komitmen jangka panjang kepada perusahaan tempat mereka mencari nafkah.
Di dapat dari mana orang seperti ini? Ternyata pada umumnya mereka berasal dari dalam struktur organisasi perusahaan itu sendiri. Itu terbukti pada Darwin E. Smith, CEO Kimberly Clark. Dari profil pendiam, rendah hati, dan tak diunggulkan, ia sukses mengubah perusahaan tua yang stagnan selama 20 tahun menjadi perusahaan consumer goods berbasis kertas terbaik di dunia. Revenuenya mengalahkan Coca-Cola, Hewlett Packardm dan General Electric (h 22).
Kebanyakan owner perusahaan besar mengambil langkah transformasi dimulai dari sebuah ide besar, lalu mencari orang yang tepat. Itu salah besar. Yang benar adalah “Siapa”, baru “Apa”, karena mendapatkan orang orang yang high-quality dan high-talent itu harus dilakukan terlebih dahulu sebelum strategi dibuat.
Pada kenyataannya “Siapa dulu” adalah ide sederhana yang sulit diterapkan. Saat CEO Fannie Mae, David Maxwell, menghadapi masa sulit, ia tak langsung bertindak. Meski ada tekanan besar dari dewan komisaris agar ia segera membuat aksi kongkrit, Maxwel tak mau gegabah. Ia menegaskan, hanya ada kursi bagi pemain kelas A, dan itu butuh waktu menemukannya (h 56).
Apa yang dibutuhkan dari pemain kelas A itu bukanlah melakukan banyak hal, tetapi melakukan satu hal lebih baik dari orang lain di seluruh dunia. Konsepnya mirip landak. Binatang ini hanya menunduk dan melingkarkan badannya bagai bola. Dengan begitu ia bertahan walaupun pemangsanya sangat pintar.
Di sini terdapat beberapa pembahasan yang identik dengan buku Built to Last. Terutama dalam mengupas faktor faktor apa saja yang menentukan suatu perusahaan dapat bertahan dalam jangka waktu panjang. Rata-rata perusahaan itu memiliki tujuan jauh, lebih dari sekedar mencari profit. Memang benar, buku ini adalah kelanjutan dari Buit to Last yang ditulis Jim Collins sebelumnya. Collins adalah konsultan bisnis yang sudah menulis beberapa buku mengenai rahasia sukses perusahaan raksasa. Bukunya yang lain adalah How the Mighty Fall (2009) danGreat by Choice (2011).
Judul: Good to be Great
Penulis: Jim Collins
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Genre: Bisnis
Edisi: Cet 8, Juni 2020
Tebal: 360 halaman
ISBN: 9786020304434