Hidup bergelimang harta, punya jabatan, dan dihormati adalah dambaan semua orang. Sebagian dari mereka menempuh segala cara demi mengejar obsesi menjadi crazy rich, bahkan rela mengorbankan apa saja atau siapa saja. Untuk mewujudkan kejayaan dunia, manusia berlari dalam putaran roda kehidupan yang cepat. Kesibukan yang seperti ini seolah-olah dinamis, tetapi sebenarnya monoton. Dari hari-ke hari mereka hanya menari-nari dalam nyanyian hedonisme dan tenggelam dalam obsesi kemenangan jangka pendek.
Syekh Abdul Qadir Jailani mengingatkan tentang bahaya mabuk dunia. “Barang siapa menghendaki akhirat, wajib baginya zuhud, dan untuk itu harus mencampakkan dunianya demi akhirat. Lalu mencampakkan akhirat demi Tuhannya.” Sebagai sufi besar yang dijuluki Sulthanul Auliya, ia melihat lebih dalam tentang hakikat hidup di dunia. “Bila kau tenggelamkan dirimu dalam sesuatu selain Allah, berarti kau telah menyekutukan-Nya”.
Kitab ini bukan tulisan Syekh Abdul Qadir Jailani langsung tetapi bunga rampai materi pengajian yang dikumpulkan oleh murid-muridnya. Materi-materi yang semula terserak itu dikumpulkan oleh Zain al-Marshafi ash-Shayyad menjadi sebuah karya besar warisan sang penghulu para wali.
Syekh Abdul Qadir lahir di Iran tahun 1077 M dan meninggal di Bagdad, Irak 1166 M. Selama hidup di Baghdad, beliau mengajar murid-muridnya dalam berbagai pengajian, di antaranya tentang sufisme. Ia menyerukan pemurnian tauhid dengan tidak “menuhankan” apapun selain Allah saja. Menuhankan dalam terminologi sufi bukan hanya berarti menyembah, tetapi juga menggantungkan diri. Orang yang mengandalkan selain Allah sudah termasuk syirik.
Agama Islam membimbing manusia menuju ridha Allah yang endingnya nanti dapat bertemu zat-Nya di akhirat. Untuk menuju derajat itu membutuhkan pemurnian jiwa secara penuh karena manusia tidak akan bertemu sang khaliq dengan jiwa yang kotor.
Maka dari itu beragama Islam tidak sekedar diperintahkan menjalankan syari’at. Lebih dari itu adalah tazkiyatun nafs atau penyucian jiwa. Caranya cukup lengkap dipaparkan dalam kitab setebal 270 halaman terbitan Turos Pustaka ini.
Meskipun dalam keyakinan hati manusia selalu menyembah Allah, namun alam materialistiknya masih suka mengandalkan sesuatu selain Dia. Segala bentuk ketergantungan terhadap mahluk (termasuk harta, jabatan, raja, dan lain-lain), dalam dunia sufi dianggap telah lalai dari Tuhan.
Syekh Abdul Qadir mengingatkan, sejatinya segala sesuatu selain sarana menuju Allah itu tidak dibutuhkan. Tetapi manusia pada kenyataannya membutuhkan banyak hal dalam dunia ini hanya untuk keinginan dan kesenangan.
Jika seseorang telah mencapai kesadaran bahwa tidak ada satupun yang ia butuhkan selain Allah, maka ia akan dikarunia kemampuan mewujudkan “mencipta”. Maksudnya, apapun yang dia inginkan akan tercapai. Derajat ini dapat dicapai apabila kehendaknya telah selaras dengan kehendak Tuhan.
Reputasinya sang wali dalam hal sufisme tidak ada tandingannya. Kisah hidupnya, yang tertulis dalam Manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jailani masih sering dibaca oleh muslim sunni di Indonesia.
Di antara yang menonjol darinya adalah karamah, yaitu keistimewaan yang diberikan Allah khusus untuk para wali. Karamah muncul tanpa dipelajari karena itu hanyalah buah yang tumbuh dari taqarrub ilallah. Di antara karamah Syekh Abdul Qadir adalah menghidupkan kembali ayam yang sudah dimakan hingga tinggal tulang belulang.
Kitab Futuhul Ghaib berisi pengalaman ruhani dan penyingkapan-penyingkapan tabir ilahiyah yang dialami Syekh Abdul Qadir sebagai waliyullah. Terdapat 78 pembahasan yang semuanya merupakan metode penyucian diri. Metode itu berisi langkah-langkah praktis dan jurus berkelit dari materialisme dan nafsu basyariyah (kemanusiaan), yang meliputi bidang akhlak, syariat, dan menuju hakikat. Terdapat pula hal-hal tentang derajat kewalian, ilham, dan lain-lain.
Menurut Abdul Qadir, tugas utama guru spiritual adalah membimbing murid melepaskan diri dari ikatan-ikatan makhluk dan nafsu keduniaan. Lepas dari tali dunia sangat penting agar dapat memurnikan cinta kepada Sang Maha Kasih dengan semurni-murninya.
“Guru dibutuhkan selama si murid masih terbelenggu hawa nafsu dan kehendak, dalam rangka menghancurkan keduanya. Tetapi begitu keduanya musnah, maka keberadaan sang guru tak lagi dibutuhkan. Sebab pada dirinya tak ada lagi noda dan kekurangan.”
Agama Islam memiliki tujuan utama menyempurnakan akhlak manusia. Maka output para pembelajar sufi adalah akhlaqul karimah, dalam hubungan horizontal sesama manusia, apalagi vertikal. Salah satu wasiat utama kitab Futuhul Ghaib adalah agar manusia senantiasa bersikap rendah hati. Syekh Abdul Qadir tidak pernah melihat orang lain kecuali orang lain itu dianggap memiliki kelebihan atas dirinya.
Judul: Kitab Futuhul Ghaib, Pembuka Rahasia Hidup Melampaui Hati dan Pikiran
Judul Asli: Futuhul Ghaib
Penulis: Syekh Abdul Qadir al-Jailani
Penerbit: Turos Pustaka
Genre: Islam/ Spiritual
Edisi: Cet 1, April 2022
Tebal: 270 halaman
ISBN: 978-623-7327-660