Sabtu, 24 Mei 2025
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
Jakarta Book Review (JBR)
  • Beranda
  • Resensi
  • Berita
    • Berita Utama
    • Berita Buku
  • Kolom
  • Pegiat Buku
  • Ringkasan
  • Kirim Resensi
  • Beranda
  • Resensi
  • Berita
    • Berita Utama
    • Berita Buku
  • Kolom
  • Pegiat Buku
  • Ringkasan
  • Kirim Resensi
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
Jakarta Book Review (JBR)

Bukan Sekadar Kutukan (Inspirasi dari Serial “100 Years of Solitude”)

Hadirnya serial film berdasarkan novel García Márquez segera menjadi favorit. Selama 8 jam, dalam dua hari, saya fokus hanya menonton serial ini.

Oleh Denny JA
27 Desember 2024
di Film
A A

“Gabriel García Márquez telah memberikan kita Amerika baru—bukan melalui peta, tetapi melalui kata-kata yang hidup.”

— Pablo Neruda

Kata-kata Pablo Neruda ini terngiang di benak saya sebelum menonton serial delapan episode di Netflix. Ini adaptasi dari novel legendaris One Hundred Years of Solitude karya Gabriel García Márquez. Baik Neruda maupun Márquez, keduanya peraih Nobel Sastra. Karya mereka membentuk lanskap sastra dunia dengan nilai tinggi.

“Kata-kata yang hidup,” yang dikatakan Neruda, menyoroti kemampuan luar biasa Márquez dalam menggambarkan realitas Amerika Latin. Melalui gaya realisme magis, Márquez menyajikan fantasi dan kenyataan berpadu tanpa batas. Ia menciptakan narasi yang kaya dan mendalam.

“Kata-kata yang hidup” merujuk pada prosa Márquez yang penuh warna dan imajinatif, mampu menghidupkan budaya, sejarah, dan pengalaman masyarakat Amerika Latin.

BACA JUGA:

Khotbah Filsafat Hidup lewat Lagu

Saat Elphaba dan Glinda Menyihir Penonton

Kembali ke Koloseum

The Intern: Bekerja untuk Ibadah

Saya sendiri membaca berkali-kali beberapa bagian novel ini untuk mengerti esensinya. Juga membaca review atas novel itu. Hadirnya serial film berdasarkan novel itu segera menjadi favorit. Selama 8 jam, dalam dua hari, saya kalahkan kegiatan lain, fokus hanya menonton serial ini saja.

Terhidanglah perjalanan keluarga Buendía di kota fiktif Macondo. Ini kota yang didirikan oleh pasangan José Arcadio Buendía dan Úrsula Iguarán. Dari generasi ke generasi, keluarga ini mengalami siklus kebahagiaan dan tragedi, cinta dan pengkhianatan, kemakmuran dan kehancuran.

José Arcadio Buendía dan Úrsula Iguarán, pasangan penuh idealisme, memimpin sekelompok kecil untuk meninggalkan kampung halaman. Mereka terobsesi membangun kota baru bernama Macondo di tengah hutan belantara. Mereka berharap dapat menciptakan masyarakat utopis yang bebas dari dosa masa lalu. Namun, bayang-bayang kutukan keluarga terus menghantui mereka.

Ibu Úrsula memperingatkan bahwa keturunan mereka mungkin lahir dengan ekor babi sebagai tanda dosa inses. José dan Úrsula adalah sepupu. Masih ada ikatan darah keluarga di antara mereka. Meskipun ketakutan itu tidak terwujud secara harfiah, penderitaan muncul dalam bentuk lain. Anak-anak mereka mewarisi obsesi dan kesepian yang mendalam.

Kolonel Aureliano Buendía, salah satu putra mereka, menjadi pejuang revolusi yang terasing, menghabiskan hari-harinya membuat ikan emas dalam kesendirian. Saudaranya, José Arcadio, terjerumus dalam kehidupan liar yang berakhir tragis. Generasi berikutnya pun tidak luput dari penderitaan, soal cinta terlarang dan takdir yang berulang menandai kehidupan mereka. Seolah-olah kutukan itu menemukan cara lain untuk mewujudkan dirinya.

Macondo, yang dibangun sebagai tempat harapan, perlahan menjadi panggung tragedi keluarga Buendía. Di sana, kesepian dan penderitaan diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kutukan ternyata punya 1000 wajah. Ia tidak selalu berbentuk fisik, tetapi dapat hadir dalam jiwa dan takdir yang tak terelakkan.

Setiap anggota keluarga tampaknya ditakdirkan untuk mengulangi kesalahan pendahulunya. Mereka terperangkap dalam lingkaran takdir yang tak terelakkan. Kisah keluarga Buendía mencerminkan bagaimana sejarah cenderung mengulangi dirinya ketika pelajaran dari masa lalu diabaikan. Setiap generasi mengulangi kesalahan yang sama.

José Arcadio Buendía, pendiri Macondo, awalnya adalah seorang visioner yang penuh semangat. Ia bertekad membangun masyarakat utopis di tengah hutan belantara. Namun, obsesinya terhadap alkimia dan penemuan ilmiah perlahan mengisolasinya dari keluarga dan komunitas. Kegagalan eksperimen dan tekanan batin akibat dosa masa lalu, seperti pembunuhan Prudencio Aguilar, memperparah keterasingannya.

Akhirnya, José kehilangan kewarasannya. Ia terjebak dalam delusi waktu yang berulang, meyakini bahwa hari yang sama terus berulang tanpa henti. Keluarganya, demi keselamatannya, mengikatnya di bawah pohon kastanye di dekat rumah mereka. Di sana, ia menghabiskan sisa hidupnya dalam kesepian mendalam, berbicara dalam bahasa Latin yang hanya dipahami olehnya, terputus dari realitas dan orang-orang tercinta.

Tragedi José Arcadio Buendía menggambarkan bagaimana pencarian pengetahuan tanpa batas dan tanpa keseimbangan dapat menjerumuskan seseorang ke dalam jurang kesepian dan kegilaan. Hal itu mengubah seorang pemimpin karismatik menjadi sosok yang terasing dan dilupakan.

Dalam serial film ini, hadir figur yang paling misterius: Melquíades. Ia seorang gipsi yang menjalin persahabatan dengan José Arcadio Buendía, pendiri Macondo. Sebagai pengelana yang membawa pengetahuan dan penemuan dari dunia luar, Melquíades memperkenalkan José Arcadio pada ilmu pengetahuan dan alkimia.

Pertemuan dengan Melquíades mengubah hidup José. Ia menjadi obsesif, antusias mendalam terhadap penemuan ilmiah. Ia mulai melupakan keluarga, tak ingin diganggu. José bukan lagi suami dan ayah yang dulu, yang hangat, yang bertanggung jawab.

Melquíades menjadi bagian integral dari keluarga Buendía, bahkan setelah kematiannya. Ia meninggalkan manuskrip yang ditulis dalam kode rumit. Namun saat itu, tak ada yang mampu membaca kode nubuat. Padahal manuskrip tersebut berisi nubuat yang meramalkan nasib seluruh keluarga Buendía, termasuk kutukan kesepian yang akan mereka alami selama seratus tahun.

Nubuat dalam manuskrip Melquíades menekankan tema kesepian dan siklus takdir yang tak terhindarkan. Keluarga Buendía berusaha keras untuk membangun kehidupan yang lebih baik, tapi mereka tidak dapat melepaskan diri dari pola perilaku destruktif yang berulang di setiap generasi.

Kata-kata Melquíades menjadi cerminan tragis dari nasib keluarga ini: “Keluarga yang terkutuk ini akan hidup seratus tahun dalam kesendirian dan tidak akan memiliki kesempatan kedua di muka bumi ini.”

Novel One Hundred Years of Solitude karya Gabriel García Márquez yang menjadi basis serial film ini dianggap puncak dari sastra genre realisme magis, genre yang menggabungkan realitas dengan elemen fantastis secara harmonis. Karya ini tidak hanya memperkaya sastra dunia tetapi juga menawarkan perspektif unik tentang realitas dan imajinasi. Salah satunya adalah hujan bunga kuning yang turun saat José Arcadio Buendía meninggal, simbol penghormatan alam terhadap pendiri Macondo.

Selain itu, ada karakter Pilar Ternera, seorang pelacur dengan kemampuan meramal masa depan, yang memengaruhi nasib keluarga Buendía melalui wawasan mistisnya. Elemen-elemen ini memperkaya narasi dengan keajaiban yang menyatu dalam realitas, menciptakan dunia di mana yang magis dan yang nyata berdampingan tanpa batas.

Mengapa genre Magical Realisme sangat kuat untuk melukiskan takdir dan rasa kesepian? Genre ini menyatukan realitas dan fantasi, menciptakan dunia di mana yang tak terlihat menjadi nyata. Elemen magis, seperti nubuat atau fenomena alam yang melampaui logika, mencerminkan kekuatan takdir yang tak terhindarkan, melampaui kendali manusia.

Dalam kerangka ini, kesepian menjadi metafora universal, hadir dalam setiap individu dan generasi. Magical realisme memungkinkan narasi takdir dan kesepian diterjemahkan secara simbolis, seperti kota yang lenyap atau hujan bunga kuning, menciptakan resonansi emosional mendalam. Dengan mengaburkan batas realitas, genre ini memaksa pembaca merenungkan makna eksistensi di luar pengalaman sehari-hari.

Lama saya terdiam di tengah film. Ia mengajak saya merenung soal takdir dan rasa kesepian. Seolah sebebas apa pun dan sehebat apa pun kita melangkah, takdir dan rasa sepi selalu datang. Tentu saja umumnya film tak bisa mengangkat keseluruhan kekayaan novel aslinya.

Serial 100 Years of Solitude di Netflix memang telah berusaha mengadaptasi mahakarya Gabriel García Márquez. Namun tak bisa menghadirkan keseluruhan kedalaman novel asli. Meski secara visual memukau, serial ini menyederhanakan narasi yang kompleks, mengubah refleksi mendalam Márquez tentang waktu, takdir, dan kesepian menjadi drama yang mudah dicerna.

Realisme magis, yang menjadi jiwa novel ini, terasa dekoratif daripada organik, kehilangan harmoni antara mitos dan realitas. Karakter yang begitu kaya dalam sastra, direduksi hingga kehilangan kedalaman emosionalnya. Dengan ambisi besar, serial ini lebih mengutamakan aksesibilitas daripada keaslian.

Ini adaptasi yang indah namun kurang mendalam dari eksplorasi abadi Márquez tentang siklus kehidupan manusia. Tapi sebagai sebuah pengantar untuk masuk ke karya asli, serial film ini sudah sangat memadai. Ia sudah mampu menyentak kita soal takdir dan kesepian.

“Seperti bayangan yang setia, takdir dan kesepian selalu mengikuti, meski kita berlari secepat angin.” *

Jakarta, 27 Desember 2024

Topik: Gabriel García Márquezkutukanserial di Netflix
SendShareTweetShare
Sebelumnya

Memuluskan Jalan Pertobatan di Gang Dolly

Selanjutnya

Protes Keras Sultan Dipsiq kepada Raja Juli Antoni

Denny JA

Denny JA

Konsultan politik, pengusaha, penulis buku dan artikel. Pendiri banyak lembaga survei, salah satunya Lingkaran Survei Indonesia (LSI).

TULISAN TERKAIT

Khotbah Filsafat Hidup lewat Lagu

Khotbah Filsafat Hidup lewat Lagu

2 Maret 2025
Saat Elphaba dan Glinda Menyihir Penonton

Saat Elphaba dan Glinda Menyihir Penonton

23 November 2024
Kembali ke Koloseum

Kembali ke Koloseum

18 November 2024
Film The Intern

The Intern: Bekerja untuk Ibadah

9 Juli 2024
Selanjutnya
Selanjutnya
Protes Keras Sultan Dipsiq kepada Raja Juli Antoni

Protes Keras Sultan Dipsiq kepada Raja Juli Antoni

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Mengenang Harry Wibowo: Jejak Langkah Aktivis-Pemikir yang Tak Pernah Mundur

Mengenang Harry Wibowo: Jejak Langkah Aktivis-Pemikir yang Tak Pernah Mundur

19 Mei 2025
Mengupayakan Keadilan di Bumi  [Timbangan atas Buku “Just Earth” Tony Juniper ]

Mengupayakan Keadilan di Bumi [Timbangan atas Buku “Just Earth” Tony Juniper ]

23 April 2025
Paus Fransiskus: Antara Keberanian, Kasih, dan Visi Masa Depan

Paus Fransiskus: Antara Keberanian, Kasih, dan Visi Masa Depan

22 April 2025
Perginya Pengusung Agama yang Ekologis Penuh Kasih [Obituari Paus Fransiskus]

Perginya Pengusung Agama yang Ekologis Penuh Kasih [Obituari Paus Fransiskus]

22 April 2025
PELAN TAPI SUKSES; FILOSOFI KUNGKANG MIRIP “OJO KESUSU”

PELAN TAPI SUKSES; FILOSOFI KUNGKANG MIRIP “OJO KESUSU”

21 April 2025
menemukan cinta

PELUKAN HANGAT BAGI YANG “TERSESAT”, PENAT, DAN INGIN MENEMUKAN CINTA

21 April 2025

© 2024 Jakarta Book Review (JBR) | Kurator Buku Bermutu

  • Tentang
  • Redaksi
  • Iklan
  • Kebijakan Privasi
  • Kontak
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
  • Masuk
  • Beranda
  • Resensi
  • Berita
    • Berita Utama
    • Berita Buku
  • Kolom
  • Pegiat Buku
  • Ringkasan
  • Kirim Resensi

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In