“Kita tidak dapat mengubah angin, tetapi kita bisa menyesuaikan layar perahu kita.”
— Aristoteles
Ada saat-saat dalam hidup ketika badai datang tak terduga. Kita bisa memilih untuk tenggelam dalam kegelapan atau menemukan secercah harapan dalam kekacauan. Di sinilah positivity atau berpikir positif memainkan peran yang mendalam—bukan hanya sebagai perasaan meringankan persoalan, tetapi sebagai kekuatan spiritual yang memberi makna di tengah segala ketidakpastian.
Positivity bukan sekadar harapan kosong; ia adalah pilihan sadar untuk mengubah luka menjadi pelajaran, untuk menatap jauh ke dalam kekacauan dan menemukan permata tersembunyi di dalamnya. Tiga penelitian ilmiah utama mendukung pentingnya positivity dalam menciptakan kebahagiaan dan makna hidup.
Teori Broaden and Build dari Barbara Fredrickson menunjukkan bahwa emosi positif memperluas cakrawala pemikiran kita, memungkinkan kita untuk membangun sumber daya mental, sosial, dan fisik yang lebih kuat. Seperti matahari yang menyinari bumi setelah badai, positivity memperkuat daya tahan kita terhadap tantangan yang mungkin masih datang.
Penelitian dari Harvard School of Public Health juga menemukan bahwa orang-orang yang memelihara pandangan hidup positif cenderung hidup lebih lama dan sehat. Hati yang positif, seperti jantung yang kuat, mampu mengalirkan energi kehidupan yang stabil. Ketika kita menjaga pikiran tetap positif, sistem kardiovaskular kita pun ikut terlindungi dari kerusakan.
Pikiran yang positif bukan sekadar penghibur; ia adalah penyembuh fisik yang bekerja dari dalam. Studi yang dipublikasikan di Journal of Happiness Studies menambah bukti bahwa mereka yang mampu menerima emosi negatif dengan pendekatan positif, seperti mengubah perspektif atau menerima kenyataan, memiliki tingkat kepuasan hidup yang lebih tinggi.
Positivity di sini bukan berarti menyangkal kesedihan, tetapi menjadikannya sebagai ladang untuk tumbuh. Ia seperti akar yang meresap jauh ke dalam tanah kekecewaan dan melahirkan pohon harapan yang baru.
Positivity adalah keputusan sadar untuk memandang dunia bukan melalui lensa keputusasaan, tetapi melalui cahaya kemungkinan. Kita tidak selalu bisa mengontrol apa yang terjadi pada kita, tetapi kita bisa mengendalikan bagaimana kita bereaksi. Positivity mengajarkan kita bahwa badai akan berlalu, dan ketika langit cerah kembali, kita akan lebih kuat karena telah melewatinya.
Salah satu contoh kasus populer dari tokoh yang mendapatkan berkah dari positivity setelah kejatuhannya adalah Steve Jobs, pendiri Apple Inc. Steve Jobs mengalami kejatuhan besar ketika pada tahun 1985 ia dipecat dari perusahaan yang ia dirikan sendiri, Apple. Pada saat itu, ia mengalami krisis pribadi dan profesional yang mendalam.
Namun, alih-alih terjebak dalam kesedihan atau kemarahan, Jobs menggunakan positivity untuk memandang situasi tersebut sebagai peluang untuk tumbuh dan menemukan jalan baru.
Setelah kejatuhannya, Jobs mendirikan perusahaan komputer baru bernama NeXT dan membeli Pixar, sebuah studio animasi kecil yang saat itu tidak terlalu dikenal. Pixar kemudian menjadi salah satu studio animasi paling sukses di dunia dengan film seperti Toy Story, yang merupakan film animasi komputer pertama yang mencapai kesuksesan besar.
Keberhasilan Pixar membuat Jobs menjadi miliarder. Tahun-tahun berikutnya Jobs dipanggil kembali ke Apple, yang saat itu sedang mengalami penurunan tajam. Dengan visi dan semangat positifnya, Jobs memimpin kebangkitan Apple melalui inovasi-inovasi revolusioner seperti iMac, iPod, iPhone, dan iPad.
Transformasi yang dibawanya tidak hanya menyelamatkan Apple dari kebangkrutan, tetapi juga menjadikannya salah satu perusahaan teknologi terbesar dan paling berpengaruh di dunia. Jobs sendiri pernah menyatakan dalam pidato wisuda di Stanford University bahwa dipecat dari Apple adalah salah satu hal terbaik yang pernah terjadi padanya.
Ini memungkinkan dia untuk berpikir lebih kreatif dan bebas dari tekanan perusahaan besar. Sikap positivity-nya, yang memandang kejatuhannya sebagai peluang untuk memulai lagi dan tumbuh, menjadi kunci keberhasilannya yang luar biasa. Kisah Steve Jobs menunjukkan bahwa positivity dalam menghadapi kejatuhan dapat menghasilkan berkah yang tak terduga dan menjadi fondasi untuk sukses yang lebih besar di masa depan.
Mengapa Positivity Penting?
Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, positivity memberi kita kekuatan mental untuk bertahan. Positivity adalah bumbu rahasia bagi kehidupan yang penuh makna. Ia membangkitkan harapan di saat putus asa dan menginspirasi kita untuk melangkah maju bahkan ketika dunia tampak suram.
Para pemimpin yang mempraktikkan positivity mampu memotivasi tim mereka, menjaga semangat tetap tinggi, dan membawa inovasi di tengah ketidakpastian. Namun, positivity tidak luput dari kritik. Istilah “toxic positivity” muncul untuk menggambarkan pemaksaan untuk selalu berpikir positif, bahkan dalam situasi sulit.
Banyak yang merasa bahwa ini dapat menyebabkan seseorang menekan emosi negatif yang sah, seperti kemarahan atau kesedihan. Tidak setiap perasaan harus diabaikan atau diganti dengan senyum. Dalam beberapa kasus, emosi negatif adalah sinyal yang perlu didengar, dipahami, dan diatasi.
Tetapi kritik ini sebenarnya menekankan pentingnya positivity yang lebih otentik. Positivity sejati tidak mengabaikan realitas—ia adalah penerimaan yang bijaksana terhadap emosi negatif tanpa membiarkan diri tenggelam di dalamnya.
Orang yang benar-benar positif merasakan setiap luka dan air mata, namun tetap memilih untuk berjalan dengan keyakinan bahwa badai yang mereka hadapi akan membawa pelangi. Ini bukanlah bentuk pelarian; ini adalah kekuatan untuk bertahan dan berkembang.
Positivity dalam Agama dan Filsafat
Positivity bukanlah konsep baru. Ia telah ada selama ribuan tahun dalam berbagai ajaran spiritual dan filsafat di seluruh dunia. Dalam Islam, husnudzon (berprasangka baik) mengajarkan kita untuk selalu berprasangka baik kepada Tuhan dan sesama manusia. Meski cobaan datang, umat Muslim diajarkan untuk percaya bahwa setiap kesulitan memiliki hikmah tersendiri.
Dalam agama Kristen, positivity tercermin dalam ajaran kasih dan pengampunan. Yesus Kristus mengajarkan kita untuk mencintai bahkan musuh kita. Sikap ini adalah puncak positivity—pengampunan adalah kebesaran jiwa yang hanya mungkin dicapai melalui pandangan positif yang mendalam terhadap manusia dan kemanusiaan.
Buddhisme mengajarkan metta atau cinta kasih tanpa syarat, di mana kita memelihara pikiran positif terhadap semua makhluk. Positivity dalam Buddhisme bukan sekadar perasaan baik, tetapi merupakan latihan harian dalam memberikan cinta kasih dan kebaikan kepada diri sendiri dan orang lain, melampaui ego dan batas diri.
Dalam ajaran Hindu, konsep santosh (kepuasan batin) mengajarkan positivity dalam bentuk penerimaan—bukan pasrah, tetapi penerimaan yang aktif dan sadar akan apa yang terjadi, sambil terus berusaha menuju kebaikan yang lebih besar.
Konfusianisme mengajarkan pentingnya harmoni sosial, yang hanya bisa dicapai dengan sikap positif terhadap hubungan dengan orang lain. Melalui tindakan yang etis dan bertanggung jawab, positivity menciptakan keharmonisan dalam hubungan antarindividu dan masyarakat.
Bahkan dalam tradisi non-agama seperti Stoikisme, positivity hadir dalam bentuk kendali diri. Stoik seperti Epictetus menekankan bahwa meskipun kita tidak bisa mengendalikan apa yang terjadi pada kita, kita bisa mengendalikan bagaimana kita bereaksi.
Ini adalah esensi dari positivity—penerimaan yang bijak terhadap dunia yang tak selalu bisa dikendalikan, sambil terus berfokus pada apa yang bisa kita lakukan. Positivity adalah kekuatan yang mengakar dalam kehidupan yang bermakna. Meskipun sering disalahartikan sebagai ilusi atau penolakan terhadap realitas, positivity sejati adalah kekuatan mental dan spiritual yang memungkinkan kita untuk tumbuh, bertahan, dan menemukan makna di tengah badai kehidupan.
Kritik terhadap positivity hanya mempertegas perlunya keseimbangan emosional, bukan penolakan terhadap realitas. Pada akhirnya positivity bukanlah sekadar pilihan; ia adalah kompas yang menuntun kita menuju kebahagiaan yang lebih dalam, kesehatan yang lebih baik, dan hubungan yang lebih harmonis dengan dunia di sekitar kita.
Seperti bunga yang tumbuh di celah-celah batu, positivity adalah kekuatan yang memungkinkan kehidupan berkembang meskipun di tempat yang paling tidak terduga.
Bacaan sebelumnya:
Menghidupkan Sisi Spiritualitas Manusia (3): Hidup Bermakna, Hubungan Personal
Menumbuhkan Sisi Spiritualitas Manusia (2): Wahai Para Esoteris, Berkumpullah
Menghidupkan Sisi Spiritualitas Manusia (1): Makna Hidup di Era Algoritma
Mengatasi Kegelisahan, Kisah-Kisah Inspiratif Menemukan Kebahagiaan
Kehidupan Sejati dan Kebahagiaan Terdalam ala Syekh Nawawi al-Bantani