Setelah Turki Usmani jatuh pada abad ke-20, negara-negara baru bermunculan. Turki Usmani berubah menjadi Republik Turki yang sekuler. Arab dipecah menjadi sejumlah negara. India juga terpisah menjadi Sri Lanka, Pakistan, dan Bangladesh. Kemudian sejumlah kawasan mayoritas Muslim seperti di Afrika dijajah Barat.
Dalam keadaan seperti itu, sejumlah gerakan bermunculan. Ada yang ingin menyatukan negara-negara yang terpecah di bawah naungan Islam. Ini adalah gerakan yang berupaya membangkitkan kekuatan Islam. Tokohnya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho di Mesir.
Kemudian muncul pula gerakan Muslim ekstrem. Mereka ingin mengubah sistem kenegaraan yang sudah berjalan dengan khilafah yang kaku. Strateginya jauh dari syariat Islam untuk mewujudkan hal tersebut. Contohnya dengan menebar teror, melakukan aksi pembunuhan, dan pengeboman. Juga menggambarkan syariat Islam secara menakutkan kepada dunia.
Buku Haedar Nashir
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir meneliti hal tersebut pada saat menempuh pendidikan doktoral di Universitas Gadjah Mada tahun 2006. Melalui desertasi, dia membahasakan upaya semacam itu dengan reproduksi salafiyah ideologis. Namun harus diingat, penggunaan kata salafiyah di sini terdistorsi. Bukan dalam maksud tradisi klasik warisan orang-orang saleh yang kental dengan riyadhah batin. Ini adalah salaf yang mengeklaim sebagai gerakan yang memurnikan ajaran agama. Tapi kenyataannya bukan memurnikan. Malah justru menodai agama dengan pemahaman yang sempit dan perbuatan biadab.
Desertasi itu dibukukan dengan judul Islam Syariat : Reproduksi Salafiyah Ideologis Di Indonesia. Dalam buku tersebut terdapat pengantar yang ditulis oleh (alm) Prof Dr Ahmad Syafii Maarif. Selain itu terdapat juga komentar positif dari Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) M. Mahfud MD.
Lokasi Peneltian
Haedar Nashir menjelaskan, buku yang disusunnya mengambil penelitian di Aceh, Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan.
“Saya mengkaji gerakan Islam yang militan. Yang mengeklaim ingin kembali menghadirkan Islam yang menurut mereka adalah kaffah tetapi coraknya berbeda dengan mainstream yang selama ini sudah hidup seperti Muhammadiyah, NU, Al Irsyad dan seterusnya.”
Haedar Nashir
Ia menggunakan istilah Islam Syariat untuk menyebut kelompok Islam yang ingin menegakan syariat Islam dengan karakter militan, keras, kaku, eksklusif dan monolitik. Bahkan Haedar menyebut pandangan kelompok tersebut melahirkan neo puritanisme yang lebih rigid.
“Gerakan ini ternyata di Saudi juga ditolak. Padahal Saudi negaranya Islam tapi bentuknya mamlakah, kerajaan. Kemudian di Mesir juga diusir karena berbeda dengan pandangan Mesir. Jadi jangankan di negara yang seperti Indonesia yang memilih Pancasila sebagai dasar negara yang sebenarnya sejalan dengan islam, di negara-negara itu juga dianggap sebagai gerakan yang menimbulkan masalah, bahkan ilegal,” katanya.
Dalam kesimpulannya, Prof Haedar mengatakan bahwa gerakan kelompok militan yang disebut dengan istilah reproduksi Salafiyah Ideologis dalam bukunya itu memiliki banyak masalah. Jika pola gerakan atau kelompok tersebut yang menjadi rujukan Islam di Indonesia atau bahkan di dunia, maka justru akan mengerdilkan pandangan tentang Islam. Selain itu kelompok tersebut juga memungkinkan banyak orang menjadi tidak nyaman dengan Islam, sehingga memilih agama lainnya sehingga muncul konversi agama.